Gejolak Rupiah: Indonesia Saved By The Bell, Bisakah "Anugerah" Ini Terulang Kembali

Oleh: Theo Fransisco, Pengamat Pasar Uang

Apakah Indonesia benar-benar bisa menanggung beban, jika gejolak kurs terjadi dalam jumlah besar, akibat rupiah yang terus menukik tajam? Mampukah Bank Indonesia melakukan intervensi pasar menghadapi guncangan rupiah?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul melihat tren rupiah yang terus bergejolak saat ini. Setelah menembus strong resistancenya di level 13.500, rupiah memang sedikit menguat pagi ini (Selasa, 4/8). Akan tetapi berapa lama ketahanan rupiah terhadap guncangan, sehingga bisa terhindar dari terkaman tren bearish yang kian mengganas?

Saya pernah prediksi bahwa akan sangat rentan jika rupiah berhasil menerobos level 13.500. Pasalnya, jika hal itu terjadi maka 15.000 sudah ada di depan mata. Kemarin semua terbukti.

Dua pertanyaan di awal tulisan ini sudah barang tentu  merupakan pertanyaan yang sangat layak dilontarkan, karena lambat atau cepat turbulensi yang lain akan datang juga. Mengapa datang? Karena yang namanya faktor psikologis itu sangat berperan dalam menentukan pergerakan kurs -setidaknya dalam jangka pendek-.

Masih jelas dalam ingatan, ketika kurs dolar AS pernah merosot hingga ke angka 90 yen per dolar AS. Menurut perkiraan ekonom, angka itu diperkirakan merupakan angka yang sudah melewati kurs yen/dolar AS yang diharapkan, yakni antara 100-110 yen per dolar AS.

Apa yang terjadi?

Sentimen pasar terlalu dahsyat untuk dihentikan. Waktu itu, nilai yen menembus hingga ke angka sekitar 87 yen per dolar AS. Ketakutan pelaku pasar terus mendorong mereka melakukan aksi jual dolar AS dan membeli yen. Mereka khawatir, kekayaan dalam dolar AS tergerogoti dan cara menghindarinya adalah membeli mata uang yang lagi menguat.

Kemudian sejumlah Bank Sentral yang biasanya terdiri dari 12 bank sentral utama dunia turun tangan dengan membeli dolar AS. Tujuannya memperkuat dolar AS. Tetapi Bank Sentral pun tidak mampu menahan dolar AS yang terus anjlok.

Mengapa? Lagi-lagi karena sentimen terhadap dolar AS sedang meningkat. Dana yang dimiliki sejumlah bank sentral itu kalah besar dibandingkan dana yang dimiliki pelaku pasar uang di dunia.

Jadi salah besar jika Bank Sentral mencoba menantang pasar. Mereka akan ditelan spekulan, karena kemampuan para “big boys” ini jauh di atas kekuatan pasar. Demikianlah faktor psikologis yang sekali lagi, tidak jelas kapan mulai dan kapan akan berakhir. Kedatangannya benar-benar bagaikan maling di malam hari, ataupun bahkan di siang hari. Tak bisa diduga kapan datangnya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia ?

Yang jelas, berapapun jumlah devisa kita, tetaplah jauh lebih kecil dari sekitar 1,23 triliun dolar AS yang dimainkan di pasar uang dunia setiap harinya. Dari segi jumlahnya saja sudah bisa dibayangkan berapa besar kemampuan melakukan intervensi pasar.

Kini memang ada kerja sama sejumlah Bank Sentral Asia untuk menolong satu negara yang mata uangnya diserbu, tetapi itu tidak ada artinya seandainya guncangan yang datang terlalu keras. Jangankan bank-bank Sentral Asia, bank sentral negara maju pun tak kuasa menahan gejolak kurs meski melakukan intervensi.

Juga masih jelas dalam ingatan, ketika krisis Meksiko sepanjang tahun 1995. Setidaknya ada empat kali rupiah mengalami guncangan. Padahal, pelakunya masih terbatas pada NatWest saja. Dia mencoba membeli dolar AS versus rupiah. Setelah dolar AS menguat terhadap rupiah, sejumlah pemain di pasar turut membeli dolar AS versus rupiah. Setelah dolar AS menguat, NatWest menjual dolar AS dan meraup untung. Pemain yang kemudian membeli dolar AS menanggung rugi karena tindakan aksi jual NatWest yang membuat kurs dolar AS melemah setelah ditinggal. NatWest keluar dari pasar sebagai pihak yang diuntungkan.

Nah, saat itu disinyalir baru ada satu bank yang mencoba memainkan dolar AS terhadap rupiah. Bagaimana jika ada sejumlah bank lain, yang turut bermain?

Dampaknya tak terbayangkan. Sekedar informasi, sebuah fund manager di pasar uang ada yang memiliki dana menganggur sebesar 500 juta dolar AS untuk dimainkan. Jika jumlah itu dimainkan, bisa saja selisih kurs jual beli dilewati dalam satu hari saja.

Pesan yang disampaikan adalah, tidak usah mengeluarkan komentar bahwa kita bisa menghadapi gejolak kurs seandainya gelombang besar menerpa. Juga tidak usahlah mengatakan gejolak kurs tidak akan berdampak pada rakyat kebanyakan. Secara langsung rakyat kecil memang tidak memiliki dana yang bisa dimainkan di pasar uang.

Tetapi cadangan devisa di BI adalah merupakan kekayaan rakyat yang bisa terimbas jika gejolak di pasar uang dan bursa menerpa.

Lalu mengapa Indonesia, sejauh ini selamat dari terpaan gejolak kurs. Itu disebabkan Indonesia bagai diselamatkan lonceng berbunyi (save by the bell). Faktor yang membuat lonceng berbunyi itu ada banyak. Antara lain faktor psiologis yang tiba-tiba reda begitu saja. Bukan karena ada bantahan bahwa fundamental ekonomi kuat, tetapi karena faktor psikologis itu menilai tindakannya cukup untuk sementara, yang seperti disebutkan datang dan pergi tak bisa diprediksi.

Faktor lain yang juga menyelamatkan rupiah adalah karena pelaku di pasar uang belum begitu berminat memainkan mata uang rupiah. Pelaku pasar AS, Eropa masih belum banyak yang memandang mata uang negara ini sebagai mata uang yang bisa diperjudikan. Dalam kondisi tidak banyak pemain, maka gairah menggoyang suatu mata uang negara juga relatif rendah.

Sementara itu yang kenal dengan rupiah secara baik adalah pihak Asia, terutama Singapura, Hongkong dan Jepang. Tidak heran jika gejolak kurs rupiah biasanya dipicu dari Singapura. Itu sudah terjadi sejak dekade 1980-an.

Juga beruntunglah Indonesia memiliki kerja sama erat dengan Bank Sentral Asia lainnya, setidaknya mereka berjanji untuk tidak menyerbu mata uang sesama “kawan”.

Faktor lain adalah Indonesia masih memiliki bank-bank pemerintah, yang turut mempengaruhi gejolak kurs dari dalam negeri jika mereka menginginkan.

Lantas bagaimana dengan bank swasta besar papan atas, yang jumlahnya semakin banyak. Kekuatan mereka juga bisa merusak nilai rupiah. Tetapi untunglah, mereka itu masih bisa didekati oleh Bank Indonesia, agar tidak turut menjual rupiah dan ditukarkan ke dolar AS. Semua faktor itulah antara lain yang membuat Indonesia diselamatkan lonceng berbunyi itu.

Pertanyaan besar sekarang adalah, apakah Indonesia masih bisa Saved By The Bell, terkait dengan rupiah yang sudah berhasil menembus strong resistance nya Senin kemarin?

Bahkan ada pernyataan resmi pemerintah bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan, karena pelemahan rupiah terhadap dolar juga ditentukan oleh pihak luar, dalam hal ini Federal Reserve yang berencana menaikkan suku bunga.

Kalau sudah begini apa yang mesti dilakukan. Solusi apa yang harus diambil, supaya peristiwa buruk 1998 ketika kita digoyang oleh badai krisis, tidak kembali terulang.

Mari sedikit melakukan flash back.

Bulan September 1992 mata uang Inggris poundsterling diserang. Untuk mengatasi serbuan terhadap poundsterling tersebut, otoritas moneter Inggris yang sangat terkenal bertangan dingin dan ditakuti di dunia melakukan apa yang disebut sebagai “rock and roll’ atas tingkat suku bunganya. Bahkan terjadi concerted intervensi atau intervensi untuk menopang mata uang Inggris yang dilakukan secara orchestrated bersama dengan sejumlah bank sentral tujuh negara terkaya dunia atau G-7 (Group of Seven) yang terdiri atas Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Kanada dan Italia.

Namun ternyata tidak cukup G-7 saja yang berperan dalam intervensi bersama tersebut. Di layar Reuters saat itu muncul nama-nama seperti Bank Sentral Belanda, Swiss, Spanyol dan bahkan Portugal dan segudang Bank Sentral besar dunia ikut nimbrung.

Apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan: pasar tetap panik dan untuk pertama kali dalam sejarah Bank Sentral sangat dilecehkan oleh ulah para spekulan. Selama ini Bank Sentral selalu ditakuti, karena mereka memiliki dana dalam bentuk cadangan devisa. Apalagi kalau bergabung bersama untuk melakukan intervensi. Sekali bank sentral masuk, pasar segera menjadi anak manis dan penurut. Tapi sayang waktu itu, usaha intervensi bank sentral gagal total.

Sejarah mencatat dan hal ini pun menjadi catatan saya sebagai kejadian yang pertama kali dalam sejarah, sejak uang menjadi komoditi yaitu sejak Plaza Accord, September 1985. Sejak Plaza Accord tersebut, maka bermain dalam valuta asing (valas) sangat menggiurkan.

Situasi Tidak Normal

Banyak pemain yang berspekulasi dalam pasar valuta asing ini yang disebut spekulan. Mereka terus menjadi besar dan muncul sebagai kekuatan baru, yang sanggup melawan kekuatan otoritas moneter negara negara kaya.

September 1992 menjadi momentum “pemberontakan”  para spekulan untuk berani melawan otoritas moneter negara-negara kaya.  Dalam peristiwa yang dikenal dengan “drama moneter Eropa”, poundsterling Inggris harus terpental keluar dari European Monetary System (Sistem Moneter Eropa/ EMS). Tragis.

Dunia tercengang. Segudang Bank Sentral intervensi membeli pound, tetapi mata uang itu terus melorot. Kejadian ini menjadi perbincangan hampir semua media masa dunia dan semua terfokus kepada fenomena baru ini.

Nama George Soros muncul ke permukaan. Waktu itu saya katakan, hati-hati. Bukan tidak mungkin orang-orang yang sama akan datang dan memporak-perandakan kawasan Asia termasuk rupiah. Luar biasa, tepat lima tahun kemudian benar-benar para spekulan tersebut datang dan memporakporandakan kawasan Asia termasuk rupiah.

Saya sangat setuju dengan apa yang dilon­tarkan Wakil Perdana Menteri Malaysia pada saat gencar-gencarnya spekulan menghan­tam kawasan Asia. Beliau mengatakan seba­gai berikut : Setiap mahasiswa di perguruan tinggi jangan lagi terlalu tergantung kepada teori dan ideology konvensional seperti Das Kapital dari Karl Marx yang akan membuat mata pelajaran mereka menjadi kuno.

Saatnya sekarang setiap mahasiswa diajarkan bagaimana beruru­san dengan spekulan mata uang dan cara-cara menyikapi masalah masalah di kemudian hari akibat ulah mereka.

Jelang terjadinya krisis 1998, sudah saya perkirakan rupiah bakal terimbas dan menuju titik terendah. Saat rupiah masih bertengger di 9.000, saya prediksi akan jatuh sampai di 18.000 dan sungguh itu menjadi kenyataan.

Lantas kembali ke kejadian akhir-akhir ini. Jika benar rupiah akan segera menuju 15.000, apa yang harus kita lakukan? Tidak ada satupun manusia Indonesia yang ingin mengulang kelamnya krisis 1998.

Sudah saatnya reaksi pemerintah untuk bertindak di luar konsep-konsep teoritis (textbook). Terapi (therapy) yang sifatnya textbook alias teori hanya cocok apabila situasi normal. Hari ini, kita sedang menghadapi situasi yang benar benar tidak normal.

Yang kaya makin kaya. Ada yang memiliki uang sebanyak jumlah cadangan devisa negara kita kok berani-beraninya terus membuka sistem devisa kita. Peringatan ini khususnya bagi pengagum pasar bebas yang masih berada di pemerintahan.

Lalu apakah Indonesia bisa terselamatkan lagi? Jawaban saya bisa.

Kita bisa menghindari “hukuman internasional” lewat serbuan pada rupiah. Indonesia bisa membuktikan kalau kita benar-benar bisa berdaulat dan berdikari baik dalam ekonomi, politik dan budaya, sesuai dengan ideologi Trisakti.

Rupiah harus dijaga. Bagaimana caranya? Refrain from convertibility untuk sementara waktu. Harus selalu ada underlying transaction, sementara di waktu bersamaan semua transaksi dengan motif spekulasi harus dihajar dengan keras.

Kemudian benahi semua inefisiensi yang masih ada, khususnya dalam penggunaan anggaran. Pemerintah juga harus memperketat investasi portofolio jangka pendek, karena sifatnya spekulatif dan tidak memiliki added value untuk bangsa kita.  Hal ini harus dilakukan untuk menghindari terjadinya crash di lantai bursa.

Setelah portofolio jangka pendek diperketat, pemerintah harus mempermudah direct investment serta investasi yang bersifat jangka panjang, kemudian harus ada insentif  berupa jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi para investor. Sudah benar apa yang dilakukan Presiden Jokowi saat ini yaitu membangun infrastruktur, pabrik, dan pengembangan industri lain, ketimbang menggunakan devisa untuk judi di pasar modal atau pasar uang.

Namun di atas semuanya, harus diingatbahwa Bank Indonesia harus sekalilagi dikuasai oleh pemerintah. Jangan seperti sekarang yang independen, menjadi negara dalam negara, sehingga yang berkuasa di republik ini bukanlah Presiden Jokowi, tetapi Gubernur Bank Indonesia.

Apapun yang nanti dilakukan oleh pemerintah, kita tetap harus cermati, jangan sampai rupiah melaju dan menyentuh level 15.000. Jika itu sampai terjadi, apakah kita akan kembali Saved by the bell? Only heaven knows. (www.jokowinomics.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…