KELIRU, NILAI RUPIAH MEROSOT BUKAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH - Mungkinkah BI Rate Turun?

Jakarta –Turunnya tingkat inflasi komponen inti (yoy) pada Juli 2015 dapat menjadi peluang Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah belakangan ini bukan tanggung jawab pemerintah.

NERACA

"Kalau melihat inflasi inti yang turun, yang sekarang sudah kepala empat persen, bisa menjadi peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo kepada pers di Jakarta, Senin (3/8).

Sasmito mengatakan kemungkinan penurunan suku bunga acuan, akibat inflasi komponen inti yang tercatat saat ini 4,86% tersebut, bisa mendorong kegiatan investasi yang dalam jangka panjang ikut membantu kinerja pertumbuhan ekonomi.

"Kalau tingkat bunga menurun, saya kira akan membantu mendorong investasi, karena tingkat bunga pinjaman ikut menurun dan bisa membantu pertumbuhan ekonomi. Sekarang kita lihat reaksi Bank Indonesia terhadap pengumuman ini," ujarnya.

Dia membantah penurunan inflasi inti pada Juli 2015 tersebut disebabkan daya beli masyarakat yang menurun, karena konsumsi rumah tangga terhadap barang-barang impor yang harganya sedang jatuh, tetap terjaga.

"Barang impor dalam bentuk valas kita turun, makanya mereka sale (banting harga). Sehingga, kita tetap mampu membeli sepanjang harganya murah. Kalau harga murah dan kita bisa membeli banyak, sebetulnya daya belinya masih bagus," ujarnya.

Menurut Sasmito,  kemungkinan inflasi inti bisa kembali turun, karena inflasi Juli diperkirakan merupakan puncak tertinggi inflasi sepanjang tahun 2015, sepanjang tidak ada kejadian luar biasa hingga akhir tahun, seperti kekeringan akibat El Nino berkepanjangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi Juli 2015 sebesar 0,93% atau sama dengan tingkat inflasi pada Juli 2014, dengan inflasi tahun kalender Januari-Juli mencapai 1,9% dan inflasi secara tahunan (yoy) 7,26%.

Sedangkan, inflasi komponen inti pada Juli 2015 tercatat mencapai 0,34%,  dan secara tahunan (yoy) mencapai 4,86%, yang berarti beberapa indikator ekonomi dalam kondisi stabil baik dan stabil.

Inflasi inti merupakan komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor fundamental seperti diantaranya interaksi permintaan dan penawaran.

Selain itu, inflasi komponen inti tersebut dipengaruhi lingkungan eksternal seperti nilai tukar rupiah, harga komoditas internasional dan inflasi mitra dagang serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

Kondisi Rupiah

Secara terpisah, Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon menilai, pernyataan Menkeu Bambang Brodjonegoro yang menyatakan depresiasi rupiah bukan tanggung jawab pemerintah adalah sikap yang sangat keliru, bahkan berbahaya.

Dia sangat menyayangkan hal tersebut. Apalagi, nilai tukar dolar AS yang sangat tinggi telah melemahkan perekonomian nasional, terutama saat ini nilai tukar dolar terhadap rupiah telah mencapai Rp13.500 per US$.

"Ini menunjukan tidak adanya koordinasi antara pemerintah dengan Bank Indonesia," kata Fadli, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, kemarin. Dia mengingatkan pemerintah terkait kondisi ekonomi nasional yang sudah dalam situasi yang berbahaya, salah satunya ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin nyata.

Menurut dia, kondisi ekonomi yang seperti sekarang ini menyebabkan akan banyak pelaku ekonomi yang semakin tidak percaya pada pemerintah karena dianggap tidak bisa mengendalikan situasi ini. Kondisi ekonomi saat ini sudah lampu merah dan dalam tanda bahaya. Pemerintah jangan lagi hanya melepas tanggung jawab dan membuang badan atas situasi ini.

Sebelumnya Menkeu Bambang Brodjonegoro menanggapi terpuruknya nilai tukar rupiah  yang makin dalam, menjelaskan bukanlah tugas pemerintah untuk mengeluarkan rangkaian kebijakan untuk mengamankan level rupiah.

Bambang mengatakan, rupiah yang terdepresiasi lebih dalam ini merupakan tanggung jawab otoritas moneter yakni Bank Indonesia. Menurut dia, BI  lah yang seharusnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Kebijakannya ada di Bank Indonesia, nilai tukar bukan tanggung jawab kita, utamanya adalah tanggung jawab Bank Indonesia," ujarnya kepada media elektronik,  Minggu (2/8).

Menurut dia,  pelemahan rupiah tidak membawa risiko pada sisi fiskal negara. Yang bisa terkena dampaknya kata dia yakni lebih konsen pada sektor riil yang pasti terpukul. Dia pun menegaskan, melemahnya rupiah bukan karena faktor kesengajaan pemerintah untuk menaikkan ekspor. Pasalnya ekspor kini kian tergerus, surplus neraca dagang pun semakin menipis.

"Kita enggak membiarkan (rupiah jatuh karena) segala macam. Tanggung jawab mata uang di Bank Indonesia, jadi tanya arahnya di Bank Indonesia," ujarnya.

Untuk diketahui, bahwa BI  memang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Selain itu, Bambang  menegaskan belum ada tanda-tanda yang mengindikasikan Indonesia dalam krisis finansial, meskipun nilai rupiah terhadap dolar AS cenderung terus melemah. "Kita lihat kondisi fundamentalnya, saat ini masih aman terkendali dan tidak ada indikasi krisis," katanya.

Menkeu menjelaskan, setelah beberapa kali pertemuan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) terlihat kondisi fundamental ekonomi saat ini stabil dan belum terlihat adanya tanda-tanda krisis.

Menurut dia, saat ini situasinya berbeda ketika terjadi krisis moneter pada 1998, karena fenomena perlemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini juga dialami negara-negera berkembang lain, dan laju inflasi juga masih relatif terkendali hingga akhir tahun.

"Inflasi saat ini terkendali. Ketika rupiah melemah tajam, inflasi luar biasa pada 1998. Waktu 1998, rupiah melemah, pertumbuhan ekonomi juga negatif minus 14%.  Kalau sekarang pertumbuhan aman meski melambat," ujarnya.

Menkeu kembali menegaskan perlemahan rupiah terjadi akibat penguatan dolar AS karena rencana normalisasi kebijakan moneter The Fed  yang terus menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian perekonomian global. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…