Tanda-Tanda Krisis Bermunculan: Yunani Merupakan Awal dari Terulangnya Resesi 1929

Oleh: Theo Fransisco, Pengamat Pasar Uang

Sementara para pengamat barat memfokuskan mata mereka ke Yunani, tanpa disadari sebetulnya ada hal yang jauh lebih serius sedang terjadi. Di belahan bumi lain, sebuah perkembangan teramat penting untuk diwaspadai, sementara berlangsung.

Dalam beberapa kuartal terakhir, gelombang fluktuasi yang terjadi di lantai bursa China, mengakibatkan beberapa kalangan muncul dengan istilah “China 1929” –periode dimana terjadinya The Great Depression di Amerika-.

Jika hal seperti ini terjadi dalam keadaan dunia normal, maka anjloknya saham sebesar 30%, pasti akan langsung menjadi headlines seluruh dunia. Pasar akan heboh. Gonjang ganjing pasti terjadi. Trader dan investor mungkin akan langsung menekan tombol panik dan melakukan aksi jual, untuk mencegah massive loss.

Pasalnya angka 30% itu, sama dengan total output ekonomi Inggris tahun 2014 lalu. Belum lagi jatuhnya harga saham ini, justru terjadi di tengah-tengah solidnya lantai bursa China. Buktinya, dalam satu tahun terakhir, harga-harga saham China meningkat dua kali lipat. Sebab itu, ketika tiba-tiba jatuh sebesar 30%, harusnya semua panik.

Menjadi menarik untuk mengamati apa yang dilakukan pemerintah China.

Tentu saja jika intervensi dilakukan, maka itu merupakan solusi “text book therapy” yang normal dilakukan ketika pasar bergejolak. Dan memang ketika ekonomi diputar ala kasino, intervensi merupakan hal yang paling masuk akal. Tapi apakah itu berhasil meredam kepanikan pelaku pasar China? Jawabannya tidak.

Pertanyaan besarnya adalah, jika intervensi Beijing tidak berhasil menyusutkan kepanikan, kenapa mimpi buruk tersebut tidak menjadi headline dunia?

Sederhana. Gonjang ganjing China kalah populer dengan sandiwara yang tengah dipentaskan Yunani. Apakah Yunani akan terlempar dari Uni Eropa atau tidak, kemudian aksi “Oxi” masyarakat Yunani terhadap bail out IMF, ternyata jauh lebih laku ketimbang berita besar gejolak ekonomi China. Padahal tercatat sudah 940 perusahaan –lebih dari sepertiga- telah menghentikan transaksi mereka di lantai bursa.

Amerika tahun 1929 dan China hari ini, bisa dikatakan memiliki kemiripan. Khususnya jika dicermati pergerakan dan fluktuasi saham-saham yang diperdagangkan. Setelah lebih dari satu dekade mengalami pertumbuhan fantastis, munculnya taipan-tapian serta miliarder baru, ekonomi Amerika dan China, kini bergerak dengan diagram kembar. Pertumbuhan ekonomi kedua negara sangatlah mirip.

Semua booming yang terjadi, terlihat dengan jelas lewat kemudahan kredit property dan sektor lain. Jumlah kredit sangatlah luar biasa. Kelihatannya semua sektor bertumbuh pesat. Tapi banyak yang tidak menduga, ini seperti balon yang ditiup, besar tapi di dalamnya kosong. Sekali saja kena tusuk, meletus dan habislah semua yang tadinya dilihat indah dan menawan.

Tidak ada yang menyangsikan bagaimana kredit menjadi booming di negeri Tirai Bambu tersebut. Pinjam uang, atau investasi margin, memainkan peranan penting munculnya transaksi-transaksi spekulatif.

Benar bahwa gonjang ganjing pasar saham China hanya merupakan proses yang terjadi dalam setahun terakhir. Sangat jauh jika dibandingkan dengan resesi besar Amerika tahun 1929, dimana tanda-tanda akan terjadinya crash, sudah terlihat lama sebelum The Great Depression akhirnya terjadi. Bahkan seorang ekonom, J.K Galbraith, waktu itu menegaskan sinyal krisis sudah mulai ada sejak tahun 1927.

Satu tahun sebelum terjadinya krisis –atau pada tahun 1928-, harga-harga saham meroket sampai 50%. Perhatikan bahwa dalam hal ini, time line antara Amerika 1929 dan China 2015, itu sangat mirip. Harga saham meroket dan dalam sejarah China, tidak pernah hal seperti itu terjadi: kenaikan dua kali lipat.

Akhir tahun 1928, perdagangan di lantai bursa Wall Street seperti menjadi “tidak berarti apa-apa”, karena dikalahkan oleh pertumbuhan pesat ekonomi Amerika di berbagai sektor ekonomi. Semua melonjak gila-gilaan, sebelum tiba-tiba berubah dalam sekejab pada tanggal 24 Oktober 1929, ketika ekonomi mengalami “hari kiamat’.

Sektor properti Amerika waktu itu berkembang sangat fantastis. Tapi lagi-lagi, semua “terbakar habis”,  ketika krisis menghempas.

Apa yang terjadi pada Amerika dalam kurun waktu 1920-1929, itulah yang kini dialami oleh China.

Magnet Raksasa

Pasar saham China booming. Properti ciamik, seperti sedang berada di alam impian. Semua kelihatan sangat dahsyat. Postur ekonomi terlihat begitu sexy. Munculnya “Ghost Cities” di China akibat pembangunan luar biasa cepat, adalah bukti nyata. Ekonomi China seperti sedang berlari kencang. Tapi kembali lagi, semua hanya “bubble” atau balon saja.

Kaum pekerja dari wilayah pedesaaan, ramai-ramai bermigrasi ke kota-kota besar, karena Ghost Cities harus memiliki populasi. Industri yang berkembang pesat di berbagai kota di China, menjadi magnet raksasa yang menyedot penduduk desa untuk berangkat ke kota mencari penghidupan yang lebih layak.

Perkembangan ekonomi China dalam beberapa tahun terakhir, bisa dibilang mengalahkan semua negara di dunia. Tak heran, jika China digadang-gadang akan menjadi Boss baru dunia, menggantikan Paman Sam yang “sudah teralalu tua” dan terlalu lama “berkuasa”. Barang-barang “Made in China” menyerbu masuk ke semua pasar di seluruh penjuru dunia. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja, China kelabakan saking tergila-gilanya dunia melihat hasil produksi China.

Kembali ke tahun 1920, Amerika juga mengalami hal yang sama. Dari industry baja, automotif, kemudian muncul tekhnologi radio, semua berkembang fantastis. Hal ini menginspirasi keluarga-keluarga Amerika ramai-ramai melakukan investasi dalam sektor-sektor tersebut, untuk mengejar keuntungan yang memang sangat menggiurkan di depan mata.

Bukankah ini yang sedang terjadi di China?

Namun sisi koin yang lain, tidak disadari tanda-tanda perlambatan ekonomi sudah mulai terlihat. Persis sama seperti yang terjadi di Amerika tahun 1928. Harga komoditas yang mulai jatuh, serta perdagangan global yang mulai limbung.

Ekonomi China tak ubahnya seperti karakter kartun Donald Bebek. Melesat terlalu kencang, sampai hampir menabrak tebing, ngerem sebisanya sampai akhirnya lega bisa berhenti di tepian tebing. Kemudian kembali berlari kencang, hanya untuk masuk ke dalam jurang yang menganga.

Memang antara Amerika 1929 dan China 2015, tidak semua menunjukkan kemiripan. Ada juga perbedaannya. Sistem pemerintahan federal dan komunis kapitalis, merupakan faktor pembeda yang nyata. Paling tidak, sistem komunis China menempatkan negara itu dalam kontrol dan kendali yang lebih baik, ketimbang dengan sistem federal Amerika.

Tapi ada sebuah konsensus. Begini.

Mungkin jika saham terus anjlok, dampaknya tidak akan lebih buruk dari krisis 2007-2008 silam, ketika Shanghai Composite jatuh sampai dua pertiga. Setelah adanya stimulus fiskal dan moneter, ekonomi China ternyata bisa kembali bangkit. Waktu itu, pemerintah China tidak sedikitpun memperlihatkan kepanikan mereka. Kontrol masih di dalam genggaman pemerintah.

Namun saya akan berkata, Anda bisa saja memilih untuk percaya skenario tersebut. Tentu tidak ada salahnya.

Namun secara pribadi, saya tidak percaya.

Saya tidak melihat para teknokrat China kali ini memiliki kontrol atas apa yang sedang terjadi. “Percikan api” kali ini, kelihatannya sudah terlalu sulit untuk dikendalikan. Ini mirip dengan apa yang terjadi tahun 1929. Hanya saja perbedan kali ini adalah, jika tahun 1929 ekonomi coba diselamatkan oleh dana swasta, kali ini di China, dana pemerintahlah yang dipergunakan untuk melakukan intervensi.

Tahun 1929, berbagai upaya penyelamatan ekonomi secara spektakuler mengalami kegagalan besar.

Hari ini, gejolak di China memang terlihat bisa sedikit diredam, tetapi sayang tidak menghentikan kobaran api berikutnya yang siap menyala. Sangat mungkin, akan muncul kobaran-kobaran api baru, yang nantinya tidak akan bisa lagi dipadamkan.

Lagi pula, tidak mungkin bagi China untuk “berakting” seperti Allan Greenspan, yang menciptakan gelembung baru, untuk mengakali gelembung yang telah pecah. Pertama emas, kemudian menyusul property. Ketika bubble property meletus, bubble lain segera ditiup dalam bentuk intervensi pasar, dengan cara menggelontorkan dana segar di lantai bursa.

Awalnya, pemerintah mungkin bisa membeir toleransi karena tren bullish yang terjadi, dengan harapan akan mengubah hutang menjadi modal equitas. Tapi untuk saat ini, kelihatannya harapan itu sulit terjadi.

Booming di stock market, malahan hanya menambah jumlah hutang.

Apakah China juga akan menyeret seluruh dunia masuk ke dalam The Great Depression Jilid II, akan sangat bergantung pada respon penguasa negeri tersebut. Pembelajaran dari apa yang dialami Amerika, seharunya menjadi prioritas pemerintah Xi Jinping saat ini. Kita sekarang tahu bahwa bankrutnya suatu negara, ternyata terjadi ketika sektor perbankan ambruk.

Stock market hanyalah salah satu tanda saja, bahwa kontraksi di sektor kredit akan segera terjadi.

Saya sendiri ragu apakah China mampu untuk mengatasi krisis, jika sektor perbankan negeri itu runtuh, termasuk juga sistem “Shadow Banking” yang saat ini mereka banggakan. Selama ini China menganggap mereka bisa, tapi rasanya tidak demikian faktanya!

Satu lagi pemikiran. Jika ujung tombak pertumbuhan China saat ini yaitu eksport, nantinya mengalami kegagalan, Presiden Xi Jinpin pasti akan kembali mengandalkan permintaan pasar dalam negeri untuk terus memutar roda perekonomian. Ia sendiri telah berjanji untuk terus melanjutkan reformasi ekonomi, dalam koridor sistem pasar bebas. Namun sayang sekali, transisi ini kelihatannya berjalan tersendat-sendat.

Masalah dari sistem free market adalah, tidak bisa dikontrol oleh pemerintah, melainkan oleh pasar. Semua dilepas ke mekanisme pasar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan sistem pemerintahan ala komunis China –meskipun saat ini mengusung sistem komunis kapitalis-.

DNA dari sistem komunis, sejatinya tidak akan pernah hilang dari tata kelola pemerintahan China.

Bisa dikatakan, dalam waktu yang tidak lama lagi, China akan masuk ke dalam pusaran maut krisis ekonomi. (www.jokowinomics.com)

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…