Membaca Tingkat Keberhasilan Pilkada Serentak

Oleh: Samudera Wibawa, Pemerhati Masalah Politik, aktif di Kajian Analisa Kebijakan Politik Nusantara.

Dewasa ini pemerintah pusat sedang serius mencanangkan program Pilkada serentak secara nasional. Sesuai jadwal yang dicanangkan oleh KPU RI bersama Pemerintah bahwa Pilkada serentak akan dilakukan sejak Desember 2015  dan serentak secara nasional pada tahun 2027.

Terkait hal tersebut, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa tujuan Pilkada serentak adalah untuk menghemat anggaran proses demokrasi, menghindari konflik politik dan sosial di masyarakat.

Pernyataan tersebut pun sejalan dengan penjelasan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, dalam Acara Rapat Koordinasi (Rakor) Persiapan dan Pengelolaan Anggaran Pemilihan Serentak Tahun 2015 yang mengatakan bahwa tujuan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak supaya tercipta efektivitas dan efisiensi anggaran.

Disamping itu, hal penting lainnya adalah adanya manuver para pemimpin lokal untuk melanggengkan politik dinasti. Kemungkinan tersebut dapat saja terjadi mengingat adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin daerah. Bahkan meskipun pemerintah telah berupaya untuk mencegah hal tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf yang mengatakan bahwa tafsiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap petahana di Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak cukup mencegah politik dinasti. Padahal, tujuan munculnya pasal itu untuk mencegah politik dinasti.

Pasal 1 Angka 6 menyebutkan, calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Konflik kepentingan berarti petahana tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. KPU kemudian menafsirkan petahana sebagai kepala/wakil kepala daerah yang sedang menjabat. Ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan.

Tafsiran petahana oleh KPU itu telah memunculkan ada sejumlah petahana yang mencoba menyiasati larangan dengan mundur dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Ini semata-mata agar keluarganya bisa maju dalam pilkada.

Sebagai argumentasi hukum, bisa digunakan putusan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 58 Huruf o UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tahun 2009.

Putusan itu menyebutkan, kepala/wakil kepala daerah yang telah menjalani 2,5 tahun atau lebih masa jabatannya dikategorikan sudah menjalani satu periode masa jabatan. Itu bisa saja dimaknai kepala/wakil kepala daerah yang berhenti dari jabatannya setelah menjalani 2,5 tahun atau lebih masa jabatannya tetap disebut sebagai petahana.

Terkait dengan hal diatas, selain masalah efektivitas dan efisiensi anggaran serta adanya kemungkinan politik dinasti, pilkada serentak juga perlu memperhatikan adanya ancaman money politik yang semakin massif, profesionalitas penyelenggara baik dari hulu hingga hilir dan bahkan kemungkinan terjadinya kegaduhan politik.

Strategi Politik

Argumentasi ini muncul mengingat dalam pilkada serentak untuk pemilihan Kepala Daerah tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi ada kemungkinan diikuti oleh calon dari koalisi partai politik yang sama. Dengan demikian, para kandidat tersebut tentu berharap dapat memenangkan pilkada ditingkatan masing-masing. Disadari atau tidak, strategi politik yang akan digunakan tentu tidak akan jauh berbeda.

Kita pun menyadari bahwa hingga saat ini para stakeholder belum dapat merumuskan strategi jitu untuk melumpuhkan tingkat pragmatisme masyarakat. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menanti momentum pilkada untuk memperkaya diri sendiri dengan menjual nama rakyat. Melalui momentum pilkada serentak, tentu nilai nominal yang akan di berikan kepada masyarakat menjadi semakin besar.

Melalui pilkada serentak, secara otomatis honorium penyelenggara menjadi semakin kecil. Bagi calon kepala daerah yang nakal, Dia akan mencoba memainkan situasi ini untuk mengiming-imingin penyelenggara untuk memanipulasi data pemilu. Pada situasi inilah tingkat idealisme penyelenggara pemilu di uji.

Terakhir adalah masalah kegaduhan politik. Pilkada serentak memaksa para kandidat kepala daerah untuk bekerja secara lebih intens. Tim sukses yang semakin terstruktur, alat peraga kampanye yang berkeliaran dan mungkin saja dalam tataran tertentu pola Black Campaign menjadi senjata alternatif yang paling ampuh. Apabila hal itu terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kegaduhan politik menjadi pilihan utama, seperti pencurian atau pembakaran kotak suara yang dilakukan oleh salah satu kandidat yang merasa kalah.

Namun, terlepas dari hal tersebut, kita semua tentu berharap pilkada serentak yang dilakukan mulai tahun ini dapat berjalan lancar, aman, kondusif, efisien dan berkualitas sesuai harapan masyarakat. Untuk itu, peran perangkat aturan hukum menjadi hal yang sangat penting. Masyarakat pun tidak dapat menangguhkan keberlangsungan pilkada serentak hanya kepada penyelenggara pemilu. Dibutuhkan kerjasama seluruh elemen masyarakat untuk mendukung keberhasilan pilkada serentak tersebut.

Apabila masyararakat selalu bersikap apatis terhadap proses pilkada, maka apapun upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas hanya akan berujung sia-sia. Semoga masyarakat Indonesia mampu memaknai Pilkada Serentak ini sebagai proses perubahan bangsa yang semakin berkuaitas. Hal ini merupakan tantangan demokrasi, dimana rakyat Indonesia telah memilih pilihannya untuk sebuah sistem demokrasi, untuk itu mari bertanggung jawab mewujudkan demokrasi yang damai dan bertanggungjawab guna mensukseskan kepentingan nasional, semoga demokrasi membawa kebaikan bagi kita semua. Amin

 

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…