Rasio Utang Indonesia Sudah Tak Aman

 

 

NERACA

 

Jakarta - Direktur Eksekutif sekaligus Ekonom dari Core Indonesia Hendri Saparini menegaskan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia yang mengalami kenaikan sebesar 7,8 persen pada April 2015 atau telah menembus angka US$299,8 miliar sudah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan dari sisi debt service ratio yaitu rasio total pembayaran pokok dan bunga ULN relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan.

Hendri Saparini menegaskan bahwa DSR utang luar negeri Indonesia sudah mencapai lebih dari 50 persen. "DSR sudah di atas 50 persen, bukan berarti itu masuk dalam ketegori aman," ucap Hendri di Jakarta, Selasa (28/7). Lanjutnya, kekhawatiran ini semakin besar karena ekspor Indonesia belum diproyeksikan membaik mengingat sebagian besar ekspor Indonesia ke luar negeri adalah komoditas primer. Sementara, sambung dia, harga komoditas primer masih tertekan. “Jadi tidak bisa catch up kalau ada recovery dunia, sementara beban utang semakin berat. Beban pembayaran yang tinggi akan menggerus devisa," tegas Hendri.

Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) mengumumkan utang luar negeri Indonesia pada April 2015 bertumbuh 7,8 persen (YoY) dibanding realisasi bulan sebelumnya 7,6 persen. Dengan kenaikan tersebut, posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir April 2015 tercatat sebesar US$ 299,8 miliar, terdiri dari utang luar negeri di sektor publik US$ 132,9 miliar (44,3 persen dari total utang luar negeri) dan utang luar negeri di sektor swasta US$ 167,0 miliar (55,7 persen dari total utang luar negeri).

Sementara itu, pemerintah pusat mencatatkan total utang naik sekitar Rp 21 triliun dari Rp 2.843,25 triliun hingga Mei 2015 menjadi Rp 2.864,18 triliun hingga Juni 2015. Total utang tersebut outstanding dari 2010 hingga Juni 2015. "Beban fiskal semakin berat dan rawan terdampak risiko pasar. Tapi penerimaan negara kurang, perlu dibiayai utang," pungkas Hendri. 

Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi makro, Badan Kebijakan Fiskal Luky Alfirman mengatakan, secara fiskal indikator yang dipakai Pemerintah adalah debt to GDP ratio. “Dimana kalau kita punya utang kita ukur lihat aman atau tidaknya dibandingkan dengan PDB, intinya masih aman,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, sampai saat ini tidak ada masalah terkait utang luar negeri pemerintah dan swasta tersebut. Dari sisi pemerintah, sudah ada anggaran dalam APBN-P 2015 untuk pembayaran bunga sebesar Rp 150 triliun. Dia juga memastikan pemasukan tetap terjaga. “Indonesia nggak ada masalah soal utang. Yang penting cash flow terjaga,” kata Bambang.

Masih amannya posisi utang Indonesia, lanjut dia, terbukti dari masih tingginya minat investor terhadap surat utang negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah. Pada lelang empat seri SUN, 7 Juli lalu misalnya, dari target indikatif Rp 10 triliun, jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 26,4 triliun. Kelebihan permintaan ini, kata Bambang, bisa menurunkan imbal hasil (yield) sehingga mengurangi beban bunga utang pemerintah.

Pemerintah pun berencana meningkatkan serapan utang dari SUN (up size). Menurut dia, hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk up size karena mengindikasikan pandangan pasar terhadap Indonesia masih baik. Padahal, masih ada risiko pasar dari ketidakpastian kenaikan suku bunga AS (Fed Rate) dan negosiasi di Yunani. “Tergantung kebutuhan. Kami up size kalau kondisi bagus. Oversubscribes dan yang tawar banyak. Kami hitung karena kondisi bagus nggak terjadi selamanya,” tutur dia.

Menurut ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih, pemerintah harus berhati-hati dengan tingkat utang saat ini. Belajar dari pengalaman di beberapa negara, utang bisa membuat suatu negara bangkrut seperti Yunani. Dia berharap Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan berhati-hati dalam mengelola utang ini. “utang luar negeri swasta agresif. Sementara, ada faktor eksternal, ada risiko nilai tukar. Tidak ada yang mengukur risiko (utang) swasta. BI sudah mengeluarkan aturan hedging, tapi sangat mahal ketika kurs sangat tinggi. Barangkali ada kewaspadaan tentang risiko eksternal,” kata Lana.

 

BERITA TERKAIT

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…