UU Perbankan Baru: Ke Mana Arahnya?

Oleh: Eko B. Supriyanto

HARI-HARI ini Komisi XI DPR-RI tengah sibuk mencari masukan  dari masyarakat perbankan dan berbagai asosiasi. Itu tak lain karena mereka hendak menyelesaikan rancangan undang-undang (RUU) perbankan yang sempat terhenti pada periode sebelumnya. Undang-undang (UU) perbankan merupakan salah satu UU yang menjadi prioritas bersamaan dengan UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).

Saat ini memang ada UU yang saling terkait, yaitu UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Bank Indonesia (BI), UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU JPSK, dan tentunya UU perbankan sendiri. UU tersebut harus saling terkait dan saling memberi ruang.

Pembahasan tentang UU perbankan sangat seru dan bahkan penuh tarik-menarik. Para anggota DPR masih belum mempunyai pandangan yang sama terhadap beberapa pasal, salah satunya pasal-pasal tersebut dinilai terlalu lebar dan banyak mengandung hal-hal teknis setingkat peraturan OJK (POJK) atau peraturan BI (PBI). Harusnya, UU perbankan memuat yang prinsip-prinsip saja.

Banyak usulan atau masukan yang tertulis. Salah satunya dari Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas). Usulannya antara lain (1) menyusun UU perbankan sebaiknya dimulai dengan menyusun dan menyepakati Arsitektur Keuangan Nasional, lalu menyepakati Cetak Biru Perbankan, (2) sebaiknya kepemilikan asing maupun domestik tidak dicantumkan dalam UU perbankan. Pencantuman persentase akan membuat UU perbankan kurang fleksibel. Masukan Perbanas lainnya, (3) kepemilikan asing di perbankan diukur dengan asas manfaat atas kehadirannya—apakah bank asing memberikan kontribusi yang baik atau tidak terhadap pembangunan nasional, bisa dilihat dari peran kredit, pembayaran pajak, serta akses keuangan.

Perbanas juga menggarisbawahi (4) jenis bank, apakah bank umum dan bank khusus. Menurut Perbanas, (5) bank boleh melakukan jasa keuangan asal usaha itu mendukung dan masih ada hubungannya dengan bisnis utama bank, misal memiliki anak perusahaan di bidang teknologi informasi (TI).

Usulan Perbanas tentang kepemilikan asing boleh jadi melawan arus. Ada usulan kepemilikan asing harus dibatasi, ada yang menyebut maksimal 40%, ada pula yang mengatakan 49%. Jika usul pembatasan asing ini dikabulkan, tentunya pasar akan kelebihan saham asing. Hitungan Perbanas, untuk tujuh bank terbesar yang dimiliki pihak asing saja dibutuhkan dana dalam negeri minimal Rp59,6 triliun. Angka ini minimal, bahkan pernah dihitung secara keseluruhan dengan bilangan Rp70 triliun-Rp80 triliun dengan price book value (PBV) paling rendah dua kali.

Itu jumlah yang tidak sedikit dan belum tentu juga setelah dimiliki investor dalam negeri akses perbankan akan bertambah baik atau pengelolaan bertambah baik. Pengalaman sebelum krisis 1998, banyak bank dimiliki investor dalam negeri, tapi justru hal itu malah menimbulkan bencana perbankan hingga menelan Rp650 triliun biaya krisis.

Dalam hal ini, kepemilikan asing memang tidak perlu dilakukan pembatasan. Yang perlu didorong ialah bagaimana membuka akses perbankan bagi masyarakat yang lebih luas. Mengenai pembagian dividen untuk bank asing atau perusahaan asing perlu dibuat aturan tersendiri. Yang perlu ditekankan ialah asas resiprokal yang sekarang sudah dilakukan OJK. Misalnya, kalau di Indonesia ada dua bank milik Malaysia, dengan asas yang sama Malaysia pun membolehkan bank Indonesia membuka akses di sana dengan jumlah yang sama.

Sementara itu, menyangkut konglomerasi keuangan, OJK sudah lebih dulu membuat terobosan dengan membuat POJK tentang pengawasan dan manajemen risiko bagi konglomerasi sektor keuangan. Dalam ini, bank memang sebaiknya tidak merambah ke bidang TI atau bidang lain yang selama ini mendukung bank. Sebaiknya bank fokus pada sektor keuangan dan tidak melebar ke mana-mana. Selain karena bank tidak punya kompetensi untuk itu, merambah ke mana-mana akan lebih banyak risikonya serta tidak memberi ruang bagi tumbuhnya perusahaan-perusahaan lain yang boleh jadi menjadi debitor bank.

Itulah usulan Perbanas dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR-RI yang membahas tentang RUU perbankan. Itu inti dari pertemuan Perbanas dengan DPR yang disampaikan secara konstitusional. Jadi, tidak ada pihak yang harus tersinggung dengan sikap Perbanas karena Perbanas merupakan stakeholder terbesar dalam UU perbankan yang baru. Apalagi, Perbanas dimintai masukan/usulan untuk kemajuan perbankan Indonesia. Jadi, harusnya perbankan Indonesia “berutang” kepada Perbanas atas sikap yang lebih fair.

Saat ini memang masih terjadi tarik-menarik, terutama mengenai kepemilikan dan jenis-jenis bank. Kita mengamini apa yang diusulkan Perbanas mengenai kepemilikan bank yang tidak perlu dicantumkan dalam UU perbankan. Yang harus dilakukan ialah pengawasan yang lebih ketat. Sikap membela kepentingan asing di perbankan ini bukan berarti antinasionalis, melainkan lebih karena memilih manfaat yang lebih besar.

Apakah kepemilikan asing di bank ini merugikan? Kalau jawabannya merugikan, wakil rakyat yang sedang mengusulkan dana aspirasi sebesar Rp20 miliar setahun ini tentunya perlu membatasi keberadaan kepemilikan asing. Namun, jika sebaliknya, keberadaan asing di perbankan membantu akses perbankan, menyerap tenaga kerja, membayar pajak dengan benar, mendorong kredit produktif, ya tentu mereka perlu diberi karpet merah di Indonesia.

UU perbankan yang baru juga harus bisa melindungi bank-bank kecil yang tidak tergabung dalam konglomerasi. Jika tidak, minimal pihak otoritas dapat memberi jalan untuk tetap tumbuhnya bank-bank kecil milik investor dalam negeri dan tidak tergabung dalam konglomerasi.

Apakah bank itu milik asing, Aseng atau Asep, yang paling penting ialah dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi perekonomian Indonesia dan tidak menjadi beban bagi negara jika terjadi krisis. Semoga diskusi tentang UU perbankan juga mengaitkannya dengan UU LPS, UU BI, UU OJK, dan UU JPSK. Orang-orang perlemen tentu tidak menghilangkan satu atau dua pasal berdasarkan kepentingan sesaat para politisi.

Ini bank, Bung! Bukan perusahaan rokok yang pasalnya juga bisa hilang ditelan hantu yang sampai sekarang tidak pernah ketemu hantunya. (www.infobanknews.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…