Ekonomi Indonesia Diyakini Tak Terpengaruh Bursa Tiongkok

 

 

NERACA

 

Jakarta – Pasar saham Tiongkok sedang mengalami krisis. Hampir tiap hari mengalami koreksi yang tajam, pada periode Juni saja sudah anjlok sekitar 30%. Padahal sejak awal tahun hingga awal Juni lalu Indeks Komposit Shanghai sudah melonjak hingga lebih dari 60% dan merupakan yang tertinggi di dunia. Anjloknya bursa saham Tiongkok dinilai tak berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo di Jakarta, Rabu (22/7).

Menurut Agus Marto, anjloknya saham di Tiongkok lebih banyak mempengaruhi perekonomian seperti di Hongkong, Korea, Jepang dan Singapura. Sementara untuk Indonesia, menurut mantan menteri keuangan ini dampaknya tidak secara langsung diterima. “Pasar modal di Tiongkok memang kan cukup besar koreksinya dan belum tentu selesai, tapi dampaknya ke Indonesia itu enggak langsung,” jelasnya.

Kendati demikian, pihaknya mengatakan rontoknya bursa saham di Tiongkok bisa mempengaruhi kepercayaan hubungan dagang dengan Tiongkok dengan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. "Yang harus kita antisipasi adalah confident, terhadap negara yang punya hubungan dagang dengan Tiongkok secara umum emerging market," sebutnya.

Namun pihaknya mengatakan Indonesia harus tetap optimis terhadap pertumbuhan ekonomi di semester II bisa lebih baik. "Sehingga ekonomi Indonesia bisa capai prestasi yang lebih baik yaitu di kisaran 5-5,4 persen, tapi ada di kisaran bawah," tukasnya.

Sementara itu, Analis dari Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) dan Direktur Emco Asset Management, Hans Kwee, mengatakan ada beberapa hal yang jadi faktor penentu jatuhnya pasar saham China. “Bursa mereka punya masalah sendiri. Mereka growth (tumbuh) sangat cepat. Bursa Shanghai pakai perputaran dana investasinya sangat besar. Itu kan sudah terjadi sejak Juni, dan puncaknya hari ini,” katanya.

Hans mengatakan, penyebabnya pertama adalah investasi properti China yang sangat besar. Investasi properti di beberapa kota sangat besar. “Ada banyak pembangunan dan growth-nya bagus, tetapi di beberapa kota penyangga justru sepi, jadi kota hantu," ujarnya. Kedua, kata dia, di China banyak sekali pinjaman yang berpotensi macet. Pemerintah setempat juga tidak punya rencana untuk membantu pinjaman yang berpotensi macet tersebut. “Utang dari swasta dan pemerintah daerah di China sangat besar, dan ada kemungkinan macet, sementara pemerintah nggak peduli," ujarnya.

Sementara itu pasar sahamnya bergerak ke atas terus. Nah, tiba-tiba perusahaan broker alias sekuritas melihat adanya kemungkinan gelembung alias bubble sehingga mulai membatasi transaksi marjin. “Tapi saya kira itu juga siklus mereka. Biasanya indeks komposit mereka jatuh karena ada perusahaan besar yang mau melantai, ada sell dulu, baru nanti kembali baru masuk. Makanya banyak yang jual,” ujarnya.

Hans menambahkan, dampak dari jatuhnya pasar saham China ini tidak akan terlalu besar terhadap Indonesia. Ekonomi China akan melambat, tapi memang sengaja dibuat begitu oleh pemerintahnya. “Ekonomi mereka akan slowing down, jadi pengaruhnya sebenarnya ke ekspor komoditas kita, bursa nggak terlalu terdampak. Mereka belanja komoditas akan ditahan, itu yang sangat relates dengan kita, mereka kan konsumsi komoditas terbesar komoditas kita di CPO, minyak, dan batu bara,” ujarnya.

Namun begitu, otoritas China tak tinggal diam. Bank sentral China akan mengucurkan “likuiditas yang memadai” untuk membantu bursa saham negara itu yang tengah anjlok, menurut sebuah pernyataan dalam situs bank tersebut. The People’s Bank of China (PBOC) mengeluarkan pernyataan itu setelah Indeks Shanghai Composite turun hingga 8,2% saat dibuka awal Juli lalu.

Indeks tersebut kembali melemah 0,4% pada pukul 10:14 waktu setempat setelah pengumuman tersebut. Bank sentral akan “membantu China Securities Finance Co. secara aktif untuk mendapatkan likuiditas yang memadai” melalui sejumlah saluran termasuk pinjaman dan obligasi, menurut pernyataan itu sebagaimana dikutip Bloomberg, Rabu (8/7).

PBOC akan memberi perhatian besar pada pergerakan pasar dan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko sistemik, menurut pernyataan itu. Bursa saham China mengalami pelemahan hingga 30% sejak 12 Juni meski pemerintah berupaya memperkuatnya. Salah cara memperkuatnya adalah dengan menurunkan tingkat bunga dan rasio kecukupan cadangan pada bank. “Guncangan yang hebat pada bursa saham menjadi sumber kekhawatiran para pembuat kebijakan,” ujar Zhao Yang, Chief China Economist Nomura Holdings Inc. in Hong Kong.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…