NERACA
Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak revisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait syarat pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang mereka anggap setengah hati dan terkesan asal-asalan.
"Kalau revisinya hanya mengatur pekerja terkena PHK, maka bisa dipastikan akan ditolak oleh masyarakat karena tidak menyelesaikan tiga esensi masalah yang diprotes dari PP tersebut," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (4/7).
Menurut dia, tiga esensi tersebut adalah, pertama, waktu pengambilannya yang terlalu lama mengingat JHT merupakan tabungan buruh yang dibutuhkan ketika ada kebutuhan mendesak. Kedua, terkait dengan nilai dana JHT yang bisa diambil 10 persen dari saldo atau 30 persen dari JHT untuk perumahan dan sisanya diambil saat usia 56 tahun.
"Ini juga yang ditolak karena masyarakat dan buruh ingin dana JHT diambil sekaligus 100 persen dari saldo JHT, karena apabila diambil bertahap maka akan menjadi tidak bermanfaat," ucapnya.
Ketiga, perihal buruh yang terkena PHK saja yang boleh langsung mengambil dana JHT."Bagaimana dengan buruh yang mengundurkan diri? Bagaimana dengan 20 juta buruh kontrak yang putus kontrak sementara? Mereka semua juga ingin ambil dana JHT mereka sendiri," kata Said.
Menurut dia, revisi PP JHT harus memuat tiga esensi masalah tersebut dan meminta pasal 37(3) UU Nomor 40 Tahun 2004 ditunda dulu pemberlakuannya sampai kondisi masyarakat dan buruh siap.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan telah sepakat untuk mencari cara termasuk kemungkinan merevisi PP terkait syarat pencairan dana JHT dari kepesertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 37 Ayat 1-5 dan berkenaan dengan PP yang keluar pada Juli 2015 maka untuk ketentuan program Jaminan Hari Tua berlaku untuk masa kepesertaan 10 tahun.
Aturan itu memaksa BPJS Ketenagakerjaan mengubah syarat pencairan JHT dari 5 tahun jadi 10 tahun, sehingga JHT baru bisa cair jika seseorang sudah bekerja selama 10 tahun, tidak lagi 5 tahun plus 1 bulan seperti ketika BPJS ini masih bernama Jamsostek. Pengambilan seluruh saldo JHT hanya dapat dilakukan setelah usia 56 tahun, meninggal dunia atau cacat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan Pemerintah sudah sepakat untuk mencari jalan sebagai penyesuaian atau masa transisi dari aturan lama soal syarat pencairan dana JHT."Kita akan cari jalan supaya kebiasaan masyarakat, paling tidak ada masa transisilah. Karena JHT misalnya ada yang kena PHK, kan lebih penting sekarang daripada hari tua. Kita sedang merevisi aturan itu," kata Sofyan Djalil.
Menurut dia, seorang pekerja yang terkena PHK idealnya bisa mengambil langsung dana miliknya agar lebih adil atau bisa juga diperuntukkan bagi uang perumahan.
Raja-raja Kecil
Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan peraturan baru mengenai pencairan jaminan hari tua (JHT) mengindikasikan masih adanya "raja-raja kecil" di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan."Direksi BPJS Ketenagakerjaan secara sengaja telah mengabaikan hak pekerja untuk dapat memperoleh manfaat dengan menafsirkan sendiri peraturan yang ada," kata Mirah Sumirat melalui siaran persnya di Jakarta.
Mirah mengatakan Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara tegas menyatakan bahwa dana jaminan sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta, dalam hal ini pekerja dan buruh.
Peraturan baru mengenai pencairan JHT yang baru bisa dilakukan setelah 10 tahun kepesertaan, dan hanya bisa diambil 10 persen sementara sisanya setelah usia 56 tahun, telah mengabaikan hak dari peserta sebagai "pemberi amanat".
"Keputusan pembatasan pencairan dana JHT juga mengesankan direksi BPJS Ketenagakerjaan lebih memprioritaskan aspek pengembangan dana jaminan sosial pada instrumen investasi dibandingkan memaksimalkan pemberian manfaat kepada peserta," tuturnya.
Apabila itu yang terjadi, maka ada potensi penyelewengan dana amanat milik peserta. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu melakukan pengawasan dan pemeriksan terhadap pengelolaan keuangan BPJS Ketenagakerjaan. Ant
Oleh: Togap Marpaung Untuk memahami judul berita di atas, silahkan ditelaah rencana penulisam 11 (sebelas) buku yang meruapakan suara hati…
NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menegaskan komitmen kementeriannya untuk mengawal ruang digital guna mendukung Pemilihan…
NERACA Jakarta - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung masih terus menelusuri aset 16 tersangka perkara…
Oleh: Togap Marpaung Untuk memahami judul berita di atas, silahkan ditelaah rencana penulisam 11 (sebelas) buku yang meruapakan suara hati…
NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menegaskan komitmen kementeriannya untuk mengawal ruang digital guna mendukung Pemilihan…
NERACA Jakarta - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung masih terus menelusuri aset 16 tersangka perkara…