MESKI INDONESIA BELUM SEPERTI YUNANI - Rupiah Merosot Ancam Ekonomi

Jakarta – Guru Besar Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) mengungkapkan, nilai tukar rupiah yang merosot memang memberikan peluang dan keuntungan, tetapi kemerosotan itu bisa mengancam perekonomian secara keseluruhan. Meski demikian, Indonesia masih jauh dari krisis ekonomi seperti yang terjadi di Yunani saat ini.

NERACA

"Oleh karena itu, pencermatan atas keberlanjutan kemerosotan itu harus dilakukan secara serius," ujar Prof Dr Edy Suandi Hamid, guru besar ekonomi UII pada diskusi perekonomian Indonesia di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakata (UMY), Jumat.

Menurut dia, pencermatan itu bukan hanya oleh Bank Indonesia (BI), tetapi juga pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan para pelaku ekonomi yang langkah-langkahnya bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.

"Pengalaman kemerosotan ekonomi yang parah yang terjadi pada 1998 juga diawali oleh kemerosotan nilai tukar rupiah, yang menjelang pertengahan 1998 sempat menyentuh Rp17 ribu per dolar AS," ujarnya seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan nilai tukar rupiah sejak dua bulan terakhir jauh di atas asumsi dasar Rp12.500, bahkan sudah terdepresiasi di atas Rp13.300 per US$. Hal itu menggambarkan adanya instabilitas makro ekonomi Indonesia.

Selain itu, menurut dia, harga minyak mentah Indonesia ternyata juga di bawah asumsi dasar. Harga minyak mentah Indonesia rata-rata hanya US$53 per barel dari asumsi dasar sebesar US$60 per barel.

"Melemahnya nilai tukar rupiah dan melesetnya harga dan produksi minyak akan banyak pengaruhnya pada makro ekonomi secara keseluruhan. Hal ini bisa berpengaruh pada target atau sasaran kesempatan kerja, pengangguran, kemiskinan, distribusi pendapatan, dan variabel makro ekonomi lain," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, langkah-langkah untuk menata kebijakan ekonomi termasuk isu perombakan (reshuffle) kabinet ekonomi bisa dipahami sepanjang dilakukan untuk mengoreksi kebijakan yang dalam semester pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terkesan masih jalan sendiri-sendiri, dengan arah yang belum sepenuhnya jelas.

Diskusi yang dihadiri sekitar 200 peserta itu merupakan kerja sama antara Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan UMY.

Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menuturkan, Indonesia kini masih jauh dari krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada 1998 akibat melemahnya mata uang rupiah.

"Kalau dilihat angka sepertinya sudah dekat, dulu Rp15.000 sekarang kita sudah Rp13.400. Meskipun angkanya mirip, tetapi situasinya sangat berbeda," ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

Pada 1998, kata dia, inflasi mencapai 78% karena rupiah melemah sehingga orang-orang berlomba menarik dana dari perbankan dalam bentuk tunai dan BI mencetak uang dalam jumlah besar.

Sedangkan sekarang, Tony mengatakan inflasi year on year sebesar 7,15%, jauh dibanding pada 1998. Selanjutnya, suku bunga deposito pada 1998, tutur dia, mencapai 60% hingga 70% sehingga bunga deposito lebih tinggi dari bunga kredit yang hanya 24%.

"Akibatnya terjadi negatif spread, maka bank-bank kolaps, termasuk bank-bank besar pemerintah. Sedangkan sekarang tidak ada bank yang kolaps. Jadi kondisi 1998 jauh lebih dahsyat jeleknya dibandingkan 2015," ujarnya.

Tony mengatakan perbandingan tersebut dilihat dari faktor-faktor objektif, yakni suku bunga, inflasi dan kesehatan bank.

Selain itu, dari segi politik pada 1998 sangat tidak stabil dan sebagian besar orang menginginkan adanya pergantian presiden, ujar dia, sedangkan sekarang tidak ada yang berkeinginan untuk mengganti presiden hingga setidaknya pada 2019.

Sementara itu, melemahnya rupiah kini selain karena faktor struktural dan sentimen pasar, tutur dia, juga dipengaruhi membaiknya kondisi perekonomian AS.

"AS membaik seperti raksasa bangkit, indikasinya sekarang muncul 200.000 hingga 370.000 lapangan pekerjaan sehingga pengangguran turun dari 10% menjadi 5,5%. Selain itu, penjualan mobil year on year 17 juta unit, sedangkan Indonesia hanya 1,1 juta unit," kata dia.

Meski kini ekonomi Indonesia kurang baik, Tony memprediksikan ekonomi Indonesia  pada semester II-2015 akan membaik menjadi 5,1% hingga 5,2% dari hanya 4,7% dan pertumbuhan kredit bank dalam kisaran 10% hingga 12%.  

Surplus Anggaran

Sementara itu, nilai tukar rupiah yang stabil di kisaran Rp 13.300 per US$ justru disyukuri oleh Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro. Menurut dia, rendahnya nilai tukar ini justru akan menambah surplus anggaran. 

Hal tersebut disebabkan saat ini pemerintah sudah tidak memberi subsidi pada bahan bakar minyak (BBM). Sebagaimana diketahui, lebih dari separuh kebutuhan BBM domestik didatangkan dari impor. 

Rendahnya nilai tukar rupiah bisa berbahaya bagi defisit anggaran jika BBM-nya masih banyak mendapatkan subsidi dari APBN. “Tahun ini karena subsidi BBM-nya sudah tidak ada, kalau ada pelemahan rupiah kita tidak mengalami pelebaran defisit. Malah surplusnya tambah,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.  

Bambang menjelaskan, surplus anggaran tersebut berasal dari tambahan penerimaan seperti ekspor minyak dan gas bumi serta pertambangan. Ekspor komoditas tersebut dilakukan dalam bentuk dolar AS. Memang, bunga utang pemerintah akan meningkat.

Namun dia memastikan bahwa peningkatan penerimaan dari sektor migas dan pertambangan akan lebih besar dari peningkatan bunga utang pemerintah yang harus dibayar. “Jadi ujungnya di budget, surplus. Saya tidak bisa mengarang karena ini data. Dolar melemah justru surplus di anggaran bertambah,” kata Bambang. 

Meski dia tidak menyebut berapa surplus anggaran yang diperoleh dari pelemahan rupiah, dampak pelemahan rupiah terhadap APBN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Tahun lalu ketika pemerintah masih mengalokasikan subsidi sebesar Rp 250 triliun untuk BBM, pelemahan rupiah sangat beresiko pada pelebaran defisit anggaran. 

“Kenapa? Karena BBM kan impor. Makin lama subsidinya makin besar. Sehingga kalau ada pelemahan rupiah, APBN kita defisitnya nambah,” ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…