Dilema Subsidi dan Inflasi

 

Oleh : Insani Arif Situmorang, Mahasiswa FEUI, Peserta Generasi Bank Indonesia

 

Subsidi telah menjadi polemik di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, di era pemerintahan yang baru, harga bahan bakar minyak (BBM) seakan dilempar ke pasar sehingga terjadi fluktuasi harga yang menyebabkan ketidakpastian dalam perekonomian. Terlepas dari ketidakpastian tersebut, subsidi BBM menjadi beban bagi pemerintah. Realisasi subsidi BBM di tahun 2014 adalah sebesar Rp 240 triliun atau sebesar 13,6% dari realisasi belanja negara. Nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai yang dianggarkan yakni sebesar Rp 246 triliun. Padahal pada tahun sebelumnya, nilai realisasi membengkak dibandingkan pagunya.

Kementerian Keuangan menilai kebijakan penyesuaian harga BBM membuat target subsidi dapat tercapai.  Tekanan pengurangan subsidi BBM dinilai akan menambah penderitaan masyarakat dengan meningkatnya indeks harga konsumen dikarenakan kenaikan indeks harga barang yang diatur pemerintah. Namun, berdasarkan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, meningkatnya subsidi BBM juga ditenggarai mampu meningkatkan level harga, namun melalui transmisi yang berbeda yakni melalui jalur nilai tukar.

Ketika harga minyak dunia meningkat, disparitas harga antara minyak dunia dan dalam negeri akan semakin besar sehingga menaikkan nilai subsidi. Harga minyak dalam negeri yang murah relatif terhadap harga minyak dunia memicu terjadinya peningkatan konsumsi masyarakat terhadap BBM.  Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak sehingga kenaikan pada harga BBM akan menaikkan nilai impor minyak sehingga mengakibatkan terjadinya defisit transaksi berjalan dan menurunnya cadangan devisa.

Alhasil, terjadi depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Depresiasi nilai tukar ini akan menyebabkan kenaikan tingkat harga (imported inflation) dikarenakan tingginya konsumsi impor Indonesia. Pada akhirnya, ekonomi akan melemah sehingga meningkatkan kemiskinan dan pengangguran. Jadi, baik itu menaikkan ataupun menurunkan subsidi BBM, akan memicu naiknya tingkat harga. Lalu, dimana letak perbedaan kedua pilihan ini ?

Melalui kacamata fiskal, penurunan subsidi akan mengurangi defisit anggaran pada pemerintah sehingga pemerintah mampu menghemat dana untuk dialokasi ke pos-pos yang tepat sasaran. Subsidi BBM dinilai sebagai pos yang tidak tepat. Sebagai contoh, 50% dari subsidi BBM sebesar Rp 246,5 triliun, ternyata dinikmati oleh mobil pribadi sedangkan angkutan umum hanya 3% nya. Penghematan oleh pemerintah dapat digunakan untuk program yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur kota dan desa, program kerakyatan lain yang dicanangkan presiden seperti Program Indonesia Sehat dan sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penurunan subsidi BBM akan menaikkan inflasi sehingga menurunkan nilai uang, oleh karena itu, agar nilai dana penghematan subsidi harus segera diinvestasikan atau dengan instrumen sederhana sekalipun seperti simpanan berjangka. Hal ini sebagai upaya melindungi nilai uang yang tergerus akibat inflasi. Pada dasarnya, suku bunga simpanan berjangka cenderung mengikuti tingkat inflasi. Dana hasil penghematan subsidi sebaiknya dialokasikan untuk pembangunan infrastuktur di desa dan perkotaan sehingga tercipta sinergi antara desa dan kota. Salah satu hal yang menyebabkan tingginya harga barang adalah biaya distribusi. Infrastruktur yang memadai akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya sehingga menurunkan biaya produksi dalam jangka panjang. Subsidi bisa saja menurunkan biaya produksi dikarenakan murahnya biaya bahan bakar namun, ekonomi akan berjalan secara semu dan tidak memberikan manfaat untuk jangka panjang.

Penurunan subsidi memang mengakibatkan kenaikan tingkat harga, namun, perlu diketahui bahwa tingkat harga bukan hanya dipengaruhi oleh faktor subsidi semata melainkan faktor lain seperti permintaan dan penawaran serta peran otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia (BI). Keseimbangan permintaan dan penawaran ditentukan tingkat harmonisasi antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah dan BI dalam hal pencapaian inflasi yang stabil di daerah.

Selain itu, untuk meminimumkan efek subsidi, BI mampu menggunakan instrumen moneternya dalam mengatur laju inflasi sesuai dengan targetnya. Pengurangan subsidi akan menaikkan level harga, BI mampu menstabilkan level harga dengan mengurangi tingkat peredaran uang. Sejauh ini, pemerintah melempar harga BBM ke pasar. Metode ini memiliki kelebihan yakni mengatasi adanya disparitas harga sebagai pokok permasalahan pembengkakan subsidi. Namun, di sisi lain metode ini menyebabkan masyarakat dan pasar tidak mampu memprediksi kebutuhan pendanaannya di masa depan karena risiko fluktuasi harga barang yang disebabkan fluktuasi harga BBM. Sebaiknya, pemerintah melakukan pengurangan subsidi secara berkala.

Apabila subsidi dikurangi secara periodik, maka masyarakat akan mampu membentuk ekspektasi dan secara psikologis, masyarakat akan menjadi terbiasa. Selain itu, dengan frekuensi perubahan level harga yang terjadi selama setiap bulan, kebijakan moneter diduga tidak akan berjalan efektif karena adanya time lag.

Pengurangan subsidi memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi membawa harapan, di sisi lain membawa ketakutan. Inflasi memang selalu hadir membayangi untuk setiap penghematan subsidi. Namun subsidi BBM memang sebaiknya dikurangi untuk mendorong pembangunan di masa depan. Tanpa pembangunan, Indonesia akan terjebak dalam ekonomi semu.

Hal ini menjadi urgen mengingat Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tanpa pembangunan, Indonesia akan sekedar menjadi pasar. Oleh karena itu, dibutuhkan harmonisasi antara pemerintah dan BI mewujudkan pembangunan berkelanjutan sembari mewujudkan perekonomian yang stabil.

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…