OJK Awasi 50 Industri Konglemerasi Keuangan

 

NERACA

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi sebanyak 50 industri konglomerasi yang bergerak dalam beberapa jenis usaha keuangan di Indonesia. "Sebanyak 50 konglomerasi keuangan itu terdiri dari 229 lembaga jasa keuangan, dengan rincian 35 entitas utama dari sektor perbankan, satu sektor pasar modal, dan 13 entitas sektor industri keuangan non-bank," ujar Deputi Komisioner Pengawas Bank Dua OJK Boedi Armanto di kompleks perkantoran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat.

Konglomerasi keuangan adalah lembaga jasa keuangan yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan yang usahanya meliputi bank, asuransi, perusahaan efek, dan perusahaan pembiayaan. Menurut dia, untuk melakukan pengawasan yang konsisten dan efektif terhadap kelompok usaha ini, OJK telah menyediakan beberapa langkah.

Dari sisi internal, OJK menyiapkan infrastruktur pengawasan yang akan mendukung mekanisme kontrol pada sejumlah konglomerasi keungan. Sedangkan dari eksternel, otoritas telah mengeluarkan peraturan-peraturan dan surat edaran OJK mengenai manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi terhadap konglomerasi keuangan kepada industri.

Selain itu, OJK juga tengah menyiapkan ketentuan yang mengatur tentang permodalan terintegrasi bagi himpunan usaha keuangan tersebut, yang direncanakan dapat diterbitkan pada 2015. "Pengembangan pengawasan terintegrasi terhadap konglomerasi, dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko, di mana dalam proses pengembangan tersebut tidak saja menuntut komitmen dari otoritas tetapi juga pemangku kepentingan," katanya.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur mengenai konglomerasi keuangan di Indonesia, di mana hal ini berkaitan dengan manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi. Peraturan OJK No 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan dan POJK No 18/ POJK.03/2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan, juga telah diterbitkan regulator guna menjadi dasar hukum kegiatan ini. Kewajiban yang tertera dalam dua POJK tersebut, efektif berlaku pada Juni 2015 untuk Bank Buku empat dan Desember 2015 untuk selain Bank Buku empat.

Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus benar-benar mengawasi konglomerasi keuangan yang kini tengah gencar dilakukan lembaga tersebut.

Sigit mengatakan, konglomerasi keuangan seharusnya tidak diperbolehkan seperti di negara-negara lain. "Sengaja atau tidaknya, kelahiran OJK yang memperbolehkan mahzab konglomerasi keuangan ini harus dengan catatan pengawasan yang lebih. Jelas-jelas di negara lain konglomerasi itu dilarang tapi kita malah dilegalkan," ujarnya.

Sigit menuturkan, konglomerasi keuangan pernah dilakukan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), namun akhirnya konglomerasi keuangan ini dilarang pemerintah dan otoritas setempat. Hal itu terjadi karena adanya konglomerasi keuangan yang mengakibatkan persaingan semakin tidak sehat, khususnya pada bank-bank besar yang memiliki bisnis asuransi. "Mazab itu pilihan. Kalau di AS mereka dulu pernah mengeluarkan UU, itu dulu bank-bank itu gak boleh masuk ke asuransi, lalu mereka melonggarkan, lalu dibolehkan dan sekarang tidak diperbolehkan kembali," ucapnya.

Sigit menuturkan, ia sendiri tidak menyetujui adanya konglomerasi keuangan. Ia lebih setuju agar perbankan hanya fokus pada bank saja dan tidak memilih untuk memiliki lini bisnis industri keuangan lainnya seperti asuransi maupun multifinance. "Kalau saya ditanya lebih baik tidak ada konglomerasi keuangan, saya lebih milih bank ya bank saja gak usah mikir-mikir asuransi lagi. Sudahlah bank fokus ke bank saja. Tapi sekali lagi itu hanya pendapat saya dan terserah industri," ujarnya.

Pengamat ekonomi Aviliani menilai konglomerasi keuangan yang menerapkan manajemen risiko dan tata kelola terintegrasi dengan efektif dapat meningkatkan kapasitas bisnis atau permodalannya. "Memang ada keuntungan dalam konglomerasi di mana ada cross selling antarperusahaan anak atau perusahaan anak dengan induknya," ujar Aviliani.

Menurut Aviliani, konglomerasi keuangan memang bertujuan untuk aliansi bisnis, namun juga untuk diversifikasi risiko, serta sinergi. "Integrasi yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kapasitas bisnis maupun permodalan yang akhirnya dapat meningkatkan pertahanan nasional dari segi ekonomi," kata Aviliani.

Ia menambahkan, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN di mana pasar akan semakin terbuka, Indonesia memerlukan perusahaan konglomerasi keuangan nasional yang kuat. "Hal ini agar dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan yang besar untuk proyek yang penting bagi negara dan berskala besar, misalnya infrastruktur, energi, alutista, industri strategis dan sebagainya," kata Aviliani.

 

BERITA TERKAIT

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…