Kebijakan Linglung Pajak Impor Barang Mewah

NERACA

Jakarta - Mungkin saja situasi ekonomi yang kurang menggembirakan seperti saat ini, membuat pemerintah sedikit kebingungan. Hasilnya, ketika membuat kebijakan pun seperti orang linglung. Contohnya kebijakan soal penghapusan pajak barang mewah. Baru-baru ini Kementerian Keuangan memang mengumumkan dua kebijakan terkait pajak yang dalil resminya adalah demi mendorong tingkat konsumsi demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu di angka 4,7 persen pada kuartal pertama ini.

Untuk kebijakan mendongkrak tingkat konsumsi, pemerintah penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sementara untuk mengoptimalkan pendapatan pajak, pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 terkait impor dari 7,5 persen ke 10 persen. Lewat kebijakan ini, pemerintah berharap mampu mendongkrak pendapatan pajak yang tak kalah loyonya.

Alasan pemerintah menerapkan dua kebijakan ini memang sepertinya masuk akal. Di satu sisi menghapus pajak impor barang mewah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, di sisi lain menaikkan tarif pajak penghasilan kepada para importir agar penerimaan pajak negara tak hilang.

Hanya saja, menurut Direktur Executive Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, kebijakan ini sebenarnya mirip kebijakan orang linglung. Menurut dia, penghapusan pajak impor barang mewah dan pengenaan pajak penghasilan kepada importir untuk impor barang tertentu, hanya menggeser penagihan pajak dari konsumen ke importir. Impaknya secara nyata terhadap peningkatan penerimaan pajak, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan industri kata Yustinus, nyaris tak ada.

Apalagi, kata dia, barang-barang mewah yang dihapus pajak impornya tidak semua tepat untuk dihapus terutama barang-barang bermerek seperti wewangian, tas, pakaian, jam, barang dari logam mulia, dan alas kaki."Pengenaan pajak atas barang bemerek itu sejatinya tetap diperlukan untuk mengatur pola konsumsi masyarakat sekaligus menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli barang itu," kata Yustinus di Jakarta, Sabtu (20/6).

Di sisi lain, kebijakan Kemenkeu menaikkan pajak penghasilan importir untuk setiap impor barang tertentu dari 7,5 persen menjadi 10 persen, diakui memang bisa dijadikan instrumen untuk menumbuhkan industri dalam negeri.

"Hanya saja, persoalannya, industri itu tidak sekali jadi, perlu waktu panjang untuk bertumbuh. Jangan sampai kita belum bisa mengembangkan industri dalam negeri, tapi di sisi lain tidak ada barang subsitusi yang masuk," jelasnya.

Sehingga mau tidak mau akhirnya tetap harus dilakukan impor dengan konsekuensi barang akan menjadi lebih mahal dan berdampak pada menurunnya konsumsi.

Kedua kebijakan itu, menurut Yustinus, tidak memiliki efektifivitas yang besar untuk menarik pajak maupun menggenjot pertumbuhan ekonomi karena industri dalam negeri terlanjur tidak baik. Sehingga upaya pemerintah untuk menggenjot pajak tidak akan terealisi dalam jangka pendek, setidaknya sampai tahun 2015.

Ia memperkirakan dari sektor ini pajak yang bisa ditarik tidak lebih dari Rp1 triliun, namun ada terdapat juga potensi kehilangan Rp1 trilun dari sektor penerimaan pajak impor barang mewah."Dari sisi ini kan sudah impas, sehingga yang saya lihat upaya pemerintah ini lebih pada mendorong peningkatan konsumsi. Tujuannya memang baik, tapi karena ini sudah dipertengahan tahun menyebabkan efektifitasnya rendah dan tidak relevan," tegasnya.
Mohar

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…