SUKU BUNGA BI RATE MUNGKIN BERTAHAN 7,5% - Ancaman Inflasi Juni Tinggi

Jakarta – Di tengah ancaman inflasi pada momen Ramadhan dan Idul Fitri yang umumnya relatif lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya, khususnya untuk kelompok bahan makanan. Rapat Dewan Gubernur BI hari ini (18/6) tampaknya cenderung akan mempertahankan tingkat bunga acuan (BI Rate) di level 7,5%. Sementara kemerosotan nilai rupiah ditengarai adanya ulah tokoh “George Soros” lokal yang berupaya mendorong ekonomi Indonesia makin terpuruk.

NERACA

Hasil penelitian dari Center of  Reform on Economics (CORE)  Indonesia mengungkapkan, pada periode 2012-2014, inflasi di bulan Juni-Juli yang bertepatan dengan Ramadhan rata-rata mencapai 3%, paling tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Namun demikian, pada awal Juni tahun ini, kenaikan harga sejumlah bahan pangan pokok telah melebihi tinggi peningkatan harga tahun-tahun sebelumnya.

Sejumlah bahan pangan seperti cabe keriting, bawang merah, ayam ras, telur ayam ras dan gula pasir, menurut data CORE,  pada 10 hari menjelang Ramadhan tahun ini telah meningkat masing-masing 20%, 16%, 8,2%, 8,7%, dan 5,3%. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan harga pada H-10 Ramadhan jauh lebih rendah untuk semua bahan pangan tersebut kecuali bawang merah.

“CORE memperkirakan harga bahan pangan tersebut dalam beberapa minggu ke depan akan terus meningkat apabila tidak ada langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan harga tersebut,” ujar Direktur Riset CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam keterangan tertulisnya diterima Neraca, pekan ini.

Selain itu, Faisal menilai pelemahan rupiah yang terjadi selama beberapa pekan bisa berdampak pada laju inflasi. Pasalnya, salah satu penyebab inflasi yaitu kenaikan harga-harga karena konsumsi yang berasal dari barang-barang impor, baik itu dalam bentuk barang-barang kebutuhan industri, bahan baku, bahan penolong atau dalam bentuk bahan jadi.

Secara terpisah, Gubernur BI Agus Martowardojo pernah menuturkan, tingkat suku bunga acuan diyakini sulit turun jika tingkat inflasi masih tinggi. Transaksi berjalan yang juga masih defisit makin menyulitkan turunnya suku bunga.

”Kalau inflasi stabil, mungkin bunga bisa turun,” ujarnya di Jakarta baru-baru ini. Agus mengatakan, tingkat inflasi dalam dua tahun terakhir berada di kisaran 8%. Padahal, tingkat inflasi di negara-negara kawasan ASEAN, bisa ditekan di bawah angka 4%.

Penyebab tingginya inflasi di dalam negeri menurutnya antara lain adalah persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan yang bergejolak (volatile food). Di luar itu, persoalan mendasar seperti infrastruktur serta koordinasi antarpemerintah daerah juga memengaruhi tingginya inflasi.

Menurut dia, pemerintahan yang terdesentralisasi akibat otonomi daerah membutuhkan koordinasi yang kuat agar inflasi bisa stabil. ”Ketersediaan pasokan pangan, distribusi antarpemda (pemerintah daerah), kerja sama, konektivitas dalam kaitannya pembangunan infrastruktur, termasuk konektivitas digital. Semua aspek ini harus dibangun,” ujarnya.  

Persoalan lain, menurut dia, adalah transaksi berjalan (current account) yang masih defisit lumayan tinggi dapat mengganggu stabilitas rupiah sehingga ikut mendorong inflasi. Padahal, negara- negara ASEAN memiliki transaksi berjalan yang surplus. ”Kalau kita amati, beberapa negara melakukan stimulus dan menurunkan suku bunga. Tapi, negara-negara itu secara inflasi terkendali dan transaksi berjalannya juga terjaga,” kata dia.

Penurunan Impor

Tidak hanya itu. Sejumlah ekonom mulai mengkhawatirkan neraca perdagangan Indonesia. Pasalnya, surplus yang terus dibukukan selama lima bulan terakhir ini lebih disebabkan oleh penurunan impor yang lebih tinggi dibanding penurunan ekspor.

Neraca perdagangan Indonesia selama lima bulan terkahir memang terus mencatatkan surplus. Pada Mei, neraca perdagangan surplus $955 juta, didorong penurunan sejumlah komponen impor non migas. Salah satunya impor besi dan baja yang nilai impornya turun menjadi $ 392,2 juta pada Mei 2015 dari sebelumnya $ 681,3 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan pantauan mereka, nilai impor Indonesia sepanjang  hingga  Mei 2015 nilainya mencapai $60,99 miliar, turun 17,87% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara, ekspor Indonesia nilainya juga belum menunjukkan perbaikan, masih turun 11,61% menjadi $64,88 miliar.

Kepala BPS, Suryamin mengatakan, neraca perdagangan bulan Mei yang mengalami surplus tersebut, dipicu surplusnya sektor nonmigas US$ 1,66 miliar. “Sektor migas mengalami defisit US$ 0,71 miliar,” ujarnya.

Berdasarkan neraca volume perdagangan Mei 2015, Indonesia surplus 27,26 juta ton. Hal tersebut didorong surplus neraca sektor nonmigas 27,3 juta ton. “Sektor migas defisit 0,04 juta ton,” kata dia.

Periode Januari-Mei 2015, neraca nilai perdagangan Indonesia mengalami surplus US$ 3,75 miliar. Jumlah tersebut berasal dari deficit sektor migas senilai US$ 1,99 miliar dan surplus nonmigas US$ 5,74 miliar.

Dari segi nilai, ekspor Indonesia Mei 2015 mencapai US$ 12,56 miliar, atau turun 4,11% dibanding ekspor April 2015. Sedangkan nilai impor Mei 2015 mencapai US$ 11,61 miliar, atau turun 8,05% dibanding April 2015. 

Melihat neraca perdagangan yang surplus dan inflasi yang relatif rendah, menurut IGIco, bukan alasan bagi pemerintah bersikap santai. Sebab, kedua indikator tersebut hanyalah sebagian dari begitu banyak indikator ekonomi  yang sebenarnya.

Menurut ekonom Indonesia Green Investment Collectives (IGIco) Martin Panggabean,  justru menunjukkan hal sebaliknya. Menurut dia, dilihat dari berbagai leading indicator economy, Indonesia kini bisa dikategorikan dalam tren menuju resesi.

Kondisi resesi, papar Martin, tidak melulu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Resesi ekonomi juga bisa ditunjukkan oleh berbagai indikator lain, seperti pelemahan nilai tukar, perkembangan suku bunga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), harga komoditas, jumlah cadangan devisa, kondisi likuiditas, serta nilai properti.

Indikator-indikator tersebut menunjukkan, dalam satu tahun terakhir suku bunga pinjaman relatif naik, nilai tukar anjlok, bursa saham turun, pertumbuhan kredit melemah, begitu pun harga komoditas pun melorot. "Pelambatan ini sudah terindentifikasi sejak empat kuartal lalu," ujar Martin dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.

Sementara itu, pimpinan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono mengatakan ada tokoh “George Soros” di dalam melemahkan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. George Soros adalah figur taipan yang membangkrutkan Bank Sentral Inggris pada 16 Desember 1992 dengan mempermainkan Pound.

Christianto menilai motif “George Soros” adalah untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet kerja presiden Joko Widodo. Hal yang diincar dalam pelemahan mata uang rupiah untuk mempermainkan perekonomian nasional. “Soros Indonesia tengah menggempur rupiah,” ujarnya kepada pers di Jakarta, pekan ini.

Menurut dia, tokoh mirip “George Soros” lokal ini memiliki contract for difference (CFD) sebesar US$ 10 miliar. Dengan modal US$ 250 juta untuk menjatuhkan rupiah, hingga menyentuh nilai Rp 13.800 per US$. Ironisnya, pihak Bank Indonesia belum melarang adanya permainan CFD tersebut. bari/mohar/fba

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…