Indonesia, Jelang Babak Baru Asia Tenggara Tanpa Batas

Oleh: Samuel Karwur

Diluncurkan sebagai sebuah blok politik dan keamanan pasca berakhirnya perang Vietnam, Association of South East Asian Nations (ASEAN), sejak berdirinya memiliki beberapa agenda yang bisa dikatakan  ambisius, terutama agenda-agenda di bidang perekonomian. Salah satu mega proyek yang ingin dicapai adalah mendirikan apa yang dinamakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang rencananya akan diresmikan pada tanggal 31 Desember 2015. Masyarakat Ekonomi ASEAN sendiri dibangun dengan empat pilar utama yang akan menopang kelangsungan organisasi ini. Keempat pilar tersebut adalah berdirinya pasar tunggal berikut basis produksi, wilayah ekonomi kompetitif, pertumbuhan ekonomi merata dan ekonomi global yang terintegrasi.

Seperti halnya Masyarakat Ekonomi Eropa –dikenal dengan European Union atau Euro Zone-, demikian juga dengan Masyarakat Ekonomi Asean ini. Sederhananya, negara-negara Asean kini merupakan negara yang “tanpa tapal batas” lagi, sesuai dengan marwah organisasi MEA sendiri. Namun ada satu masalah serius yang dihadapi yaitu belum sepenuhnya sukses meliberalisasi semua sendi kehidupan bernegara. Alhasil peluncuran sekaligus peresmian Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sedianya bergulir di akhir tahun, terancam gagal untuk dilaksanakan.

Lantas bagaimana dengan Indonesia sendiri. Apakah kita sudah siap untuk masuk ke dalam sistem liberalisasi ini?

Di dalam MEA, kita akan bersaing di dalam bidang perdagangan barang, jasa, investasi, keuangan dan tenaga kerja terdidik (skilled labour). Sedangkan peringkat Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) dan kemudahan dalam berinvestasi masih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam. Belum lagi neraca perdagangan Indonesia di pasar Asia Tenggara ternyata selalu defisit. Artinya, Indonesia dari rekam jejak di dalam pembukaan pasar ASEAN selalu negatif.  Hanya dengan Filipina saja perdagangan Indonesia bisa mendapat surplus. Tidak heran jika Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, sangat kuatir dengan semakin mendekatnya MEA yang tinggal delapan bulan dari sekarang. Kekuatirannya sangat beralasan. Boro-boro diuntungkan, ia takut malah defisit perdagangan kita malah membengkak dua kali lipat.

Apabila Indonesia tidak siap, dikhawatirkan kita hanya akan menjadi penonton bahkan menjadi korban dari MEA. Tenaga terdidik Indonesia masih rendah. Sebanyak 40 persen tenaga kerja di Tanah Air adalah tamatan sekolah dasar (SD). Di bidang investasi persaingan akan semakin ketat. Apakah sumber daya manusia kita cukup mumpuni untuk bersaing, masih merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di sektor keuangan, bank-bank asing akan membanjiri Indonesia. Di sektor jasa, semua tenaga profesional harus kembali berkompetisi  dengan tenaga profesional asing untuk memperebutkan pasar, yang ironisnya, justru ada di dalam negeri sendiri.

Jangan-jangan masyarakat Indonesia malah indekost dan jadi kuli di negeri sendiri. Jasa akan dibanjiri tenaga asing. Dokter dari luar negeri. Dosen dari luar negeri. Penerbang dari luar negeri. Dari tingkat manager sampai direktur bisa juga dari luar Indonesia. Terus kita kebagian apa? Kita hanya bekerja di sektor informal saja. Semua kerjaan “kotor” dikerjakan orang Indonesia, sementara yang menghasilkan duit dikangkangi oleh tenaga kerja asing. Harus diakui sebagian besar SDM Indonesia tidak memiliki daya saing. Bahasa Inggris yang kian hari kian “usang” saja, masih banyak yang belum bisa. Lantas bagaimana berkomunikasi ketika pekerja asing membanjiri semua sektor di negeri ini?

Sementara itu panggilan mayday juga datang dari sektor konsultan industri yang tergabung dalam Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO). Menurut data mereka,  hanya sedikit anggota yang bersertifikat ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineers). Hanya 300 orang saja yang memiliki sertifikat kompetensi ASEAN, sangat kecil jika dibandingkan dengan angka 700 ribu total insinyur di negeri ini.  Perlu diketahui, sertifikat ACPE adalah predikat bagi tenaga ahli bidang konstruksi (insinyur, arsitek, surveyor) yang berhak melaksanakan praktek profesinya di 10 negara anggota ASEAN. Mau bersaing bagaimana dengan para insinyur negara-negara lain yang memiliki peringkat yang jauh lebih baik dari Indonesia?

Saat ini anggaran RAPBNP 2015 memberikan porsi terbesar pada sektor infrastruktur. Presiden Jokowi membuka pintu selebar-lebarnya bagi para insinyur Indonesia untuk berkarya membangun ribuan proyek. Tapi ketika tenaga asing masuk dengan kredensial yang jauh lebih kompeten dibanding insinyur Indonesia, kita hanya bisa gigit jari karena tidak mampu bersaing. Ingat bahwa pembiayaan infrastruktur itu bisa saja sebagian besar dimodali oleh investor asing pula.

Kemudian dari sendi UMKM. Ternyata pengusaha mikro, kecil dan menengah kita juga setali tiga uang dengan yang lain. Alias belum mampu untuk bersaing. Banyak pelaku usaha kita di level ini tidak memiliki pengetahuan cukup, tentang bagaimana menjalankan bisnis dengan benar. Pengetahuan manajemen operasional juga sangat minim. Selama ini mayoritas UMKM hanya bersifat informal. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan para pengusaha kecil ini. Pertanyaannya apakah kita memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal itu. Bagaimana industri UMKM kita akan bisa bertahan hidup di tengah maraknya serbuan produk-produk luar negeri yang lebih murah dan memiliki kualitas lebih baik? Tidak hanya itu saja. Ternyata banyak pengusaha kecil menengah Indonesia yang bahkan tidak tahu apa itu Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sebentar lagi akan menyapa mereka.

Pernyataan jujur datang juga dari Menteri Pariwisata, Arief Yahya. Ia mengatakan pariwisata Indonesia tidak siap untuk masuk ke dalam MEA. Sangat manusiawi karena ternyata daya saing pariwisata Indonesia saat ini bertengger di urutan 70 dari 144 negara. Sementara untuk kawasan Asean saja, Indonesia tidak mampu mengungguli Singapura, Malaysia dan Thailand. Kita terkunci pada urutan ke empat dari sepuluh negara Asean. Menurut hitung-hitungan sang menteri, untuk siap berkompetisi di MEA, Indonesia idealnya harus berada pada peringkat 30 dunia. Dari 70 ke 30? Entah berapa banyak waktu yang dibutuhkan pariwisata Indonesia sampai ke sana. Yang jelas tidak dalam kurun waktu delapan bulan!

Seperti halnya para insinyur, tenaga pariwisata Indonesia yang memiliki kompetensi standar MEA, yaitu  ASEAN Mutual Recognition Arrangements on Tourism Professionals (ASEAN MRA-TP), ternyata masih sangat minim. Saat ini tenaga kerja pariwisata Indonesia yang telah tersertifikasi kompetensi sebesar 121.520 orang. Jumlah tersebut baru mencapai 30 persen, dimana tenaga kerja yang harusnya tersertifikasi minimal berjumlah 375 ribu orang. Sangat jauh sekali.

Inti permasalahan adalah sumber daya manusia negeri ini belum siap untuk bersaing dengan negara lain. Saat ini mengurusi persoalan komunal lebih banyak menyita waktu pemerintah, ketimbang membenahi manusia-manusia Indonesia. Korupsi, DPR, Pilkada dan lain sebagainya, masih merupakan episentrum hampir semua upaya pemerintah. Indonesia seperti terjebak di dalam lingkaran setan, dimana persoalannya telah menggurita dan susah untuk dicari mana ujung pangkalnya guna dilakukan pemberesan.

Membangun satu monorail saja kita tidak pernah selesai setelah bertahun-tahun, dan bergantinya gubernur satu ke gubernur yang lain. Tengok Singapura misalnya. Dalam rentang waktu yang nyaris sama, berhasil membangun 5 MRT yang kesemuanya sudah beroperasi. Iklim MEA membuat profesional, investasi, produk menjadi free flow. Indonesia dengan 240 juta penduduknya, terlihat sebagai pangsa yang gemuk dan lemah. Sarjana-sarjana kita tidak siap pakai ketika lulus dari perguruan tinggi. Hampir semua kaget karena dunia pendidikan dan dunia kerja, terlalu dalam jurangnya. Sementara di negara-negara seperti Singapura dan Malaysia, lulusan sarjana merupakan manusia-manusia yang matang dan siap terjun ke dalam dunia kerja sesungguhnya. Kurikulum pendidikan sering berubah-ubah, sehingga membuat sarjana-sarjana kita tidak begitu siap menghadapi persaingan dunia pekerjaan. Mereka baru akan siap ketika terlebih dahulu melewati proses Management Trainee.

Tidak heran jika banyak perusahaan lokal malah ikut-ikutan hunting talent di negara tetangga. Bahkan perusahaan-perusahaan ini sudah memiliki data base yang memetakan basis mana yang jago untuk bidang manufaktur (Thailand), IT (Malaysia – Singapura), finance, dan lain sebagainya. Ironis sekali tentunya.

Sementara itu di bidang hukum, keadaan juga tidak jauh berbeda. Praktisi hukum kita banyak yang tidak siap memasuki kompetisi terbuka. Kendala terbesar adalah ketidakmampuan berkomunikasi. Sederhana sebetulnya, tetapi bisa membuat perbedaan antara pemenang dan pecundang. Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)  menilai advokat Indonesia harus meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan keahlian hukum untuk bisa bersaing secara global. Jangankan bersaing dengan praktisi hukum luar negeri. Tingkat kompetitif di dalam negeri saja masih pincang. Ada gap yang begitu besar antara praktisi hukum daerah dan rekan-rekan mereka yang bekerja di Jakarta.

“Selama 12 tahun keliling Indonesia, salah satu yang saya miris, jangankan globalisasi atau MEA, perbedaaan (gap) antara advokat Jakarta dengan daerah lain sangat luar biasa. Oleh karena itu, tidak yakin jika kita siap untuk MEA. Mungkin hanya 31 persen advokat Indonesia yang sudah siap bersaing.” Itu adalah pengakuan Sekjen PERADI, Hasanudin.

Melihat begitu banyaknya sektor dalam negeri yang belum siap, ngeri rasanya untuk Indonesia masuk ke dalam era Maryarakat Ekonomi Asean yang demikian sangat liberal. Yang kuat akan semakin kuat, yang lemah akan semakin lemah. Yang bisa bersaing, merekalah yang nanti akan berjaya. Sementara yang tidak cukup kompetitif, pasti akan tergusur dari halaman rumah sendiri. Pesan yang terkirim adalah, ada banyak pekerjaan rumah yang menggunung untuk dibenahi. Singkat kata, kita belum siap.

Bahwa ada kabar yang kencang berhembus tentang kemungkinan MEA bisa saja kembali ditunda, mungkin saja memberikan Indonesia sedikit rasa lega.

Lagi pula, jika itu benar terjadi, maka itu adalah anugerah! (www.jokowinomics.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…