NERACA
Jakarta - Presiden Joko Widodo didesak untuk berpihak kepada rakyat dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Sembilan tahun lalu, tepatnya 29 Mei 2006, terjadi semburan pertama Lumpur Lapindo yang hingga saat ini telah menenggelamkan 16 Desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Puluhan ribu jiwa dipaksa pindah. Momentum ini dijadikan sebagai bentuk solidaritas korban pertambangan di seluruh Indonesia sebagai Hari Anti Tambang (HATAM). Kasus lumpur Lapindo adalah fakta monumen pengabaian negara Terhadap korban pertambangan yang terjadi di seluruh lokasi pertambangan.
Jokowi pernah mengatakan dengan lantang di depan ribuan warga korban Semburan Lumpur Lapindo."Dalam kasus seperti ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat," janji Jokowi ketika itu.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Hendrik Siregar mengatakan, jelas dalam komitmen yang diucapkan Jokowi dalam kampanye Pilpres tersebut, pemerintahan yang dia pimpin akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan. Sayang kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi-JK berbagai harapan publik seolah berputar balik.
Baru sebulan dilantik, presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur."Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan sumberdaya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat," kata Hendrik dalam keterangan tertulisnya kepada Neraca, Sabtu (30/5).
Bagaimana tidak, pengerukan sumberdaya secara masif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri. Dalam kebijakan energi pun pemerintah jokowi-JK semakin jauh dari kata Kedaulatan.
"Penetapan harga BBM saat ini malah dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun Pemerintah masih malu-malu mengakuinya," tegas Hendrik.
Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik dan LPG. Padahal jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 002/PUU-I/2003, melarang pemerintah berkiblat pada mekanisme pasar dan pelaku usaha dalam penetapan harga BBM.
Permasalahan energi di Indonesia tidak hanya soal pengalihan subsidi, tapi juga sejauh mana pengembangan energi bersih dan terbarukan untuk lepas dari ketergantungan energi fosil. Namun hal tersebut malah diabaikan oleh pemerintah jokowi – JK dengan mencanangkan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, yang 94% di antaranya bersumber dari energi fosil (Batubara: 20.000 MW, Gas: 13.000 MW).
Apa lagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata "Negara hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat". Dalam kasus lumpur Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, Pemerintah Jokowi–JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp781 miliar. Mohar
NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…
NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…
NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…
NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…