KEKHAWATIRAN ANCAMAN INFLASI MENINGKAT - BI Rate Diprediksi Tetap 7,5%

Jakarta – Di tengah kekhawatiran ancaman inflasi meningkat jelang Puasa dan Lebaran, berbagai kalangan memprediksi tingkat bunga acuan (BI Rate) akan bertahan di level 7,5%. Bank Indonesia juga memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi akan mulai meningkat pada triwulan II-2015, setelah pada triwulan I-2015 hanya mencapai 4,7%.

NERACA

Mengacu pada perkembangan ekonomi global, menurut anggota dewan komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Fauzi  Ichsan, tidak melihat adanya kemungkinan Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan. Terlebih saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan.

"Negara-negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, seperti Brasil, India, Turki, Afrika Selatan, dan Indonesia, tidak mungkin menurunkan suku bunga," ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

Bahkan dia memprediksi suku bunga The Fed naik pada semester II-2015  sebesar 25-50 basis poin dari 0,25% menjadi 0,5-0,75%,  lebih rendah dibanding perkiraan analis global yang memprediksi kenaikan 75 basis poin.

Fauzi mengibaratkan defisit neraca berjalan suatu negara dengan utang perusahaan. Semakin besar kebutuhan utang suatu perusahaan, kata dia, semakin besar bunga yang harus dibayar. Bila defisit transaksi berjalan semakin tinggi, negara harus semakin menomboki defisit ini. "Semakin besar penombokannya, semakin tinggi suku bunga yang ditawarkan negara supaya aliran modal masuk ke negara tersebut," ujarnya.

Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan, menilai saat ini Bank Indonesia menghadapi dilema, menggerakkan pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga yang rendah atau tetap melakukan kebijakan moneter yang ketat.

Dia mengatakan, di satu sisi, pemerintah menginginkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan meminta Bank Indonesia menurunkan tingkat BI Rate. Namun, saat yang sama, BI tidak bisa menurunkan suku bunga dengan mudah. "Ini memang dilema Bank Indonesia," ujarnya.

Terkait dengan tekad Presiden Jokowi supaya pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun, menurut Fauzi, jika pertumbuhan ekonomi ditarget setinggi itu, otomatis impor modal dan bahan baku juga akan meningkat. Kondisi ini otomatis mendorong defisit neraca transaksi berjalan Indonesia semakin melebar. "Rupiah bisa semakin terdepresiasi," ujarnya.
Kemudian pada saat yang sama, nilai ekspor Indonesia tidak bisa dinaikkan secara tajam karena 60% ekspor Indonesia dalam bentuk komoditas. Padahal harga komoditas juga diperkirakan tidak akan naik tajam.

Karena itu, kata Fauzi, satu-satunya cara mengelola ekonomi dengan baik adalah mengerem laju pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, BI menerapkan suku bunga yang cukup tinggi, yakni 7,5%.

Namun, dengan anjloknya harga komoditas, neraca perdagangan Indonesia ikut terpuruk, sehingga neraca transaksi berjalan menjadi defisit. Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan sekitar US$ 28 miliar, sedangkan pada 2014 sekitar US$ 25 miliar. Hal itu menjadi penyebab rupiah melemah tajam pada 2013, 2014 hingga kuartal I-2015.

BI sendiri sempat menahan suku bunga acuan di level 7,5% dalam tiga bulan terakhir ini. Meski demikian, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi akan mulai kembali meningkat pada triwulan II-2015, setelah pada triwulan I hanya tumbuh 4,71%.

"Pengeluaran pemerintah diprakirakan meningkat mulai triwulan II-2015 dan seterusnya sehingga menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara di Jakarta, baru-baru ini.

Tirta menuturkan, pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat pada triwulan II-2015 dan triwulan-triwulan berikutnya seiring dengan semakin meningkatnya belanja modal pemerintah pada proyek-proyek infrastruktur. "Hal ini sejalan dengan pemantauan kemajuan tahapan konstruksi dari berbagai proyek infrastruktur yang ada," ujarnya.

Namun, lanjutnya, masih ada risiko bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2015 dapat mengarah ke batas bawah kisaran 5,4-5,8%. Pencapaian tingkat pertumbuhan tersebut akan dipengaruhi seberapa besar dan cepat realisasi berbagai proyek infrastruktur yang direncanakan Pemerintah, selain konsumsi yang tetap kuat dan ekspor yang secara gradual akan membaik.

"Bank Indonesia akan terus memonitor berbagai perkembangan baik domestik maupun eksternal dan memastikan agar perekonomian nasional ke depan berjalan dengan sehat dan berkelanjutan," ujar Tirta.

Dorong Biaya Produksi

Sebelumnya tim riset DBS Bank yang berbasis di Singapura, memperkirakan Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5%, meski data ekonomi makro menunjukkan pelambatan selama triwulan I-2015.

"BI kemungkinan akan memberikan sinyal untuk mempertahankan (kebijakan moneter) bias ketat," kata ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi  di Jakarta, akhir pekan lalu. .
Stabilitas makro menjadi orientasi kebijakan BI dengan sejumlah langkah, yaitu menjaga laju inflasi di 4% plus minus 1%, mengendalikan nilai tukar rupiah dengan kondisi fundamentalnya, dan menurunkan defisit neraca transaksi berjalan yang masih mendekati 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Inflasi April 2015 tercatat 0,36%, sementara inflasi tahunan (yoy) di level 6,79%. Laju inflasi tersebut menunjukkan kenaikan dibanding Maret 2015 yang tercatat 0,17 dengan inflasi (yoy) tercatat 6,38%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi kembali terkontraksi hingga 4,71% pada triwulan I-2015, karena belum optimalnya eksekusi belanja pemerintah, dan tekanan perekonomian global yang berdampak negatif terhadap kinerja ekspor.

Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan demi meredam inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

"Menghadapi inflasi dengan menaikkan bunga itu sama dengan membersihkan sesuatu dengan lap kotor," ujar JK di Jakarta, belum lama ini.

Menurut JK, menaikkan BI Rate untuk menekan inflasi bukan langkah tepat. Sebab, kenaikan suku bunga pada akhirnya akan mendongkrak biaya industri dan masyarakat. Jika hal ini terjadi, inflasi berpotensi melambung semakin tinggi. Hal lain yang harus dilakukan, menurut dia, adalah memperbaiki anggaran, pengolahan subsidi, dan efisiensi belanja negara. mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…