UTANG INDONESIA MELEJIT RP 2.600 TRILIUN - Kendalikan Rasio DSR!

 

Jakarta - Seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi dan melemahnya penerimaan devisa ekspor hingga kuartal I-2015, kalangan akademisi dan pengamat meminta pemerintah untuk tidak menarik pinjaman luar negeri mengingat rasio DSR (debt to service ratio) cenderung meningkat melewati batas toleransi yang diizinkan DPR yaitu maksimal 30%.

NERACA

Menurut guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Prof Dr  Ahmad Erani Yustika, angka DSR yang pada 2014 pernah mencapai 46,31% sudah dalam kondisi yang membahayakan. Ini dikarenakan sudah berada di atas batas aman. Tahun ini rasio bahkan berisiko meninggi mengingat pemerintah konon menarik utang lebih besar untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

"Bahaya sekali, karena DSR seharusnya di bawah 30% sesuai aturan DPR,” ujarnya kepada Neraca, akhir pekan lalu.

Dia menganggap angka DSR yang tinggi itu sebagai akibat dari merosotnya penerimaan devisa ekspor, dan makin besarnya jumlah cicilan utang jatuh tempo yang harus dibayarkan. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut ada dua cara, yakni  menaikkan ekspor dan mengurangi utang luar negeri.

"Fokus saja menaikkan ekspor, syukur-syukur ditambahi dengan penurunan impor. Sekurangnya akhir tahun DSR bisa jadi 30% sudah bagus," ujar Erani.

Namun hal tersebut, lanjut Erani, tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek."Dalam jangka pendek nampaknya ini tidak bisa dilakukan, setidaknya butuh setahun," jelasnya.

Mengenai implikasi terhadap nilai tukar (kurs) rupiah, menurut dia, hal yang terpenting adalah ketentuan rasio utang perusahaan terhadap modal/ekuitas atau laba, yang besarannya disepakati oleh Bank Indonesia (BI) dan perusahaan. Rasio utang yang dapat ditentukan sesuai kesepakatan BI dan perusahaan, diharapkan dapat mengantisipasi beban perusahaan ketika nilai tukar terhadap valuta asing terus fluktuatif dan berisiko.

"Begitu juga terkait apakah besaran utang itu dibandingkan dengan modal atau laba perusahaan. Jika sudah melebihi besaran yang ditentukan, utang perusahaan itu harus dihentikan," ujarnya.

Erani pun mengatakan, BI juga perlu mengatur lebih seksama mekanisme kesehatan perusahaan terkait dengan risiko nilai tukar. Risiko nilai tukar adalah risiko yang menjadi beban korporasi sebagai peminjam, jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, ketika rupiah melemah, perusahaan harus menanggung beban utang yang lebih besar, meskipun dalam dollar AS, besarannya sama.

"Jadi terkait risiko nilai tukar ini, harus dijaga agar perusahaan tidak gagal bayar jika beban utang terlalu besar," tambah dia.

Di sisi lain, Erani mengatakan, besarnya utang swasta, dikarenakan likuditas yang ketat di dalam negeri. Padahal, perusahaan swasta sangat memerlukan kemudahan akses pembiayaan untuk mengembangkan usahanya.

"Maka dari itu selama ini, kebijakan pemerintah tentang suku bunga belum memadai bagi pebisnis," ujarnya.

DSR merupakan indikator kemampuan sebuah negara membayar utang. Semakin besar DSR, kemampuan negara itu membayar utang semakin lemah. Konsensus DPR menyebutkan, DSR aman di posisi 30%.

Presiden Jokowi pun mengakui posisi utang Indonesia hingga April 2015 mencapai Rp 2.600 triliun. Jelas, hal ini mengindikasikan rasio utang terhadap PDB saat ini relatif cukup tinggi. Menurut data BI, rasio DSR pada 2014 pernah mencapai 46,31%, lebih tinggi dibandingkan posisi 2013 sebesar 43,38%. 

Indikasi utang LN Indonesia pada 2015 terus meningkat terlihat dari “lampu hijau” pinjaman Rp 645 triliun dari dua bank asal Tiongkok, China Development Bank dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), yang sudah meyetujui membiayai pembangunan infrastruktur di negeri ini. Namun, Tiongkok tentu akan menetapkan persyaratan yang tidak ringan, minimal sama dengan persyaratan Bank Dunia atau ADB. Karena yang namanya dana pinjaman selalu memiliki risiko yang patut diperhitungkan secara cermat oleh negara pemberi kredit.

Di sisi lain, peningkatan risiko utang luar negeri (ULN) tercermin dari kenaikan beban bunga dan proporsi utang jangka pendek yang akan jatuh tempo pada tahun ini. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh pada tekanan nilai tukar rupiah akibat beban pembayaran bunga dan utang pokok yang ditanggung APBN-P 2015.

Beban Bertambah Tinggi

Direktur Centre For Budget Analysis  (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, utang luar negeri pemerintah yang kini sudah menembus angka Rp. 2.600 trilliun akan membuat beban bunga utang makin meningkat, dan terus menggerus keuangan negara yang diambil dari APBN setiap tahunnya untuk bayar bunga utang.

Apalagi utang yang berbentuk dolar pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap mata uang  saat ini sedang tidak menentu dan cenderung melemah."Utang yang berbentuk valuta asing akan terus menjadi beban keuangan negara. Apalagi bunganya nanti bertamabah tinggi seiring dengan pelemahan rupiah yang tidak menentu," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus berpikir ulang kegunaan utang sebelum melakukan pinjaman, khususnya dalam mata uang asing. Sebab, jika dana tersebut sudah berada di kas negara tetapi tidak produktif, hanya akan membuat beban bunga semakin meningkat. "Bunga pinjaman kan akan terus berjalan, apalagi jika rupiah kian terdepresiasi bebannya terus bertambah tinggi," ujarnya.

Apalagi, Uchok memproyeksikan kondisi rupiah di tahun ini bakal terjungkal, mengingat ketergantungan impor kita masih tinggi. Mulai dari impor minyak, pangan, dan yang lain, sedangkan ekspor sendiri kecil mengingat harga komoditas di pasar global sedang rendah. Disamping itu juga, investasi portopolio di Indonesia kebanyakan jangka pendek, meski banyak masuk, tapi gampang keluar. Makanya kebutuhan dollar akan terus tinggi. "Tahun ini rupiah tidak menentu, bahkan lebih cenderung terus melemah," ucapnya.

Untuk itu, dia meminta agar pemerintah jangan terlalu banyak utang, apalagi utang itu tidak produktif. Karena sebenarnya pembiayaan pembangunan bisa diefektifkan dari dana APBN saja dimanfaatkan secara optimal. "Yang sudah-sudah dana APBN saja penyerapannya rendah, terus buat apa banyak utang, kalau ujung-ungnya dana itu tidak terpakai sedangkan bunga utang jalan terus. Makanya stop utang lebih baik," tandasnya.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…