PERLAMBATAN EKONOMI INDONESIA 2015 - Pemerintah Diminta Introspeksi Diri

Jakarta – Guru besar ekonomi UI Prof Dr Anwar Nasution dan mantan Gubernur BI Prof Dr Adrianus Mooy meminta pemerintah agar introspeksi diri dan jangan terlena menghadapi kondisi perekonomian Indonesia yang memprihatinkan saat ini. Sementara pemerintah sendiri mengakui kinerja pertumbuhan ekonomi hingga semester I-2015 di kisaran tak lebih 5,0%

NERACA

“Ini akibat kondisi dalam negeri yang diperparah oleh situasi luar negeri,” ujar Mooy saat memberikan tanggapan dalam diskusi “Memperkokoh Stabilitas, Mempercepat Reformasi Struktural untuk Memperkuat Fundamental Ekonomi” di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (29/4)

Selain perlu melakukan introspeksi diri, menurut Mooy, masalah dimensi kualitas di berbagai sektor perlu ditingkatkan. Seperti kualitas pertumbuhan seperti  apa yang dapat mendorong perbaikan ekonomi ke depan. “Yang perlu adalah strategi impor naik, tapi ekspornya harus meningkat lebih tinggi lagi. Bukan penurunan impor lebih besar  dari penurunan ekspornya,” ujarnya.

Sedangkan Prof Dr Anwar Nasution yang juga mantan deputi senior Gubernur BI mengatakan, pemerintahan Jokowi jangan terlena seperti yang pernah dialami Presiden Soeharto di masa lalu, dimana sebelum terjadi krisis 1998, pemerintah saat itu menyatakan kondisi ekonomi aman-aman saja. Namun ternyata beberapa waktu kemudian datang krisis secara tiba-tiba.

 Dari sisi pemerintah, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengakui kinerja pemerintah hingga kuartal I-2015 mengalami perlambatan. Indikator penurunan kinerja pemerintah terlihat antara lain perolehan penerimaan pajak yang tak mencapai target.

Suahasil mengakui tax ratio terhadap PDB saat ini masih rendah yaitu 11%, jauh dari standard Negara OECD yang sekitar 30%. Di Malaysia dan Filipina sudah mencapai 15%, bahkan Singapura lebih tinggi lagi rasio pajak tersebut.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini juga menyoroti  masalah reformasi structural yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai belum tepat sasarannya. Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun ini cenderung menurun, Hendri mengatakan kebijakan pemerintah yang belum sinkron dalam menata sektor riil akhirnya berdampak pada penurunan daya saing produk ekspor Indonesia dan penurunan daya beli masyarakat Indonesia.

“Bujet pemerintah aman, tapi bujet masyarakat kelompok bawah tidak aman,” ujarnya.  Dia menilai masih adanya ketimpangan kebijakan antarsektor membuat pemerintah kurang fokus dalam menentukan  kebijakan yang detil dan cocok untuk sektor pertanian dan manufaktur misalnya.   

Merepotkan Pengusaha

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dalam sambutannya mengatakan, pihaknya tetap menjaga konsistensi kebijakan moneter dan fiskal, sinergi kebijakan reformasi struktural dan ketepatan waktu dengan tekanan yang terukur yang dapat dijadikan pelajaran dari dinamika perekonomian nasional tahun lalu (2014).

Pertama, pentingnya menjaga konsistensi kebijakan makro ekonomi dari segi fiskal maupun moneter. Dengan demikian, perekonomian dapat konsisten pada tahun ini, sehingga menumbuhkan kepercayaan investor dan kebijakan yang kredibel. "Selanjutnya, di tengah banyak tantangan ekonomi yang kompleks serta menghadapi berbagai kerentanan, termasuk tingginya defisit transaksi berjalan (CAD) dan inflasi," ujarnya.

Ketiga,  adalah pentingnya ketepatan waktu dalam mengambil kebijakan. BI memandang baluran kebijakan sebaiknya dapat diimplementasikan secara tepat waktu. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2015 adalah 5,4-5,8%, kredit tumbuh 15-17% dan inflasi sebesar 4% plus minus 1%.

Namun dari pengalaman pengusaha di lapangan, masalah konsistensi dan waktu yang yang tepat ternyata diakui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, banyak yang meleset dalam realisasinya.  Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 memprihatinkan. Bahkan, hampir semua sektor rill mencatatkan pertumbuhan bisnis yang melambat.

"Saya sampai saat ini belum mendapatkan laporan dari teman-teman pengusaha yang dapat keuangan nya positif kok enggak ada, jadi semuanya (bisnis) turun," ujarnya.  

Dia mengatakan bahwa situsi tersebut membuat para pengusaha khawatir. Bahkan di industri otomotif, sektor yang menjadi andalan Indonesia itu ikut turun 20%, sektor perhotelan turun 40%,  dan industri makanan-minuman juga turun 10%.  

Di tengah situasi ekonomi yang lesu itu,  Haryadi  mempertanyakan berbagai hal kepada pemerintah misalnya soal penarikan pajak secara besar-besaran. Menurut Apindo, target pemerintah menaikkan pendapatan dari pajak hingga 43% dinilai terlalu ambisius.

"Kami setuju ambisi besar itu, tapi langkah ya seperti apa. Kenyataannya saat saya ketemu Pak Bambang (Menteri Keuangan) bilang ruang fiskal paling hanya Rp 100 triliun (dari pengurangan subsidi BBM). Saya sudah sampaikan bahwa target pajak itu tak masuk akal," ujarnya.  

Selain karena kondisi makro Indonesia ditekan ekonomi global, dia mengatakan bahwa kondisi dalam negeri tak begitu baik. Misalkan soal penyerapan anggaran APBN yang sampai kuartal 1 pada 2015 hanya 15%. Padahal seharusnya pada Juni nanti paling tidak penyerapan anggaran bisa mencapai 50%.

Secara terpisah, Kepala Ekonom BRI Anggito Abimanyu mengatakan, secara umum perekonomian makro Indonesia saat ini masih mengalami kondisi yang cukup stabil, terutama pada April 2015. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan beberapa faktor indikator makro. Indikator-indikator makro tersebut, antara lain pergerakan rupiah yang relatif stabil, masuknya arus modal asing (capital inflow) yang surplus, terkendalinya inflasi inti, risiko default utang yang semakin membaik, dan perbaikan kondisi neraca perdagangan.

"Namun, seiring ketidakpastian The Fed, melemahnya harga komoditas dan perekonomian negara tujuan ekspor, tekanan pada sisi domestik atau sektor riil mulai membesar," katanya.

Menurut dia, dalam proyeksinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2015 masih dalam kisaran menurun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2015 dalam kisaran 5 persen akibatnya melambatnya daya beli masyarakat dan investasi. Padahal fundamental ekonomi Indonesia sangat ditopang oleh konsumsi masyarakat. Pada saat yang sama, ekspor dan impor pun sedang melemah.

"Telah terjadi perlambatan aktivitas ekonomi yang nyata pada kuartal I- 2015 yang menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menurun sedikit di bawah 5%, terendah dalam lima tahun terakhir," ujar Anggito.

Pada bagian lain, Gubernur BI mengakui tingginya inflasi di Indonesia membuat negara ini kalah bersaing dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Inflasi tinggi tersebut menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi tinggi karena terbebdani biaya bunga dan lainnya.

Menurut dia, jika inflasi tinggi maka akan memengaruhi pendapatan masyarakat yang nilainya tetap. Termasuk meningkatkan ketidakpastian bagi pengusaha dalam menghitung harga jual produk seiring perubahan harga barang.

Data BI mengungkapkan, inflasi Indonesia pada periode 2013 dan 2014 menyentuh 8,3%, sementara inflasi tahunan Maret secara Yoy sebesar 6,3%. Sementara Filipina berhasil menekan inflasi 0,1%, Singapura 0,39% dan Thailand membukukan deflasi 0,57%.

Selain itu,  Agus mengatakan kepemilikan asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) sangat tinggi. Bahkan, persentasenya sudah hampir mencapai 40%. "Kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara saat ini tinggi yaitu 38,8% itu SBN dimiliki asing," ujarnya.  

Sebenarnya, kata Agus, beberapa tahun lalu kepemilikan asing pada SBN pernah mencapai 40%. Namun sempat turun hingga 37% dan baik kembali saat ini ke angka 38,8%, sementara  angka aman kepemilikan asing pada SBN adalah di bawah 30%. iwan/mohar/fb  


BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…