Sejak mencuat berita tentang iklan obral Pembantu Rumah Tangga (PRT) dari Indonesia di negeri jiran Malaysia dan pasca kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Malaysia, Brunei dan Filipina beberapa waktu lalu, muncul wacana dari Presiden Jokowi untuk segera menghentikan pengiriman PRT ke luar negeri. Wacana penghentian pengiriman PRT ini menurut Jokowi terkait dengan harga diri dan martabat bangsa. Sebagai sebuah bangsa yang besar tidak pantas rasanya “menjajakan” warga negaranya untuk menjadi pembantu di negeri orang.
Maka atas dasar itu presiden memberikan target kepada Menteri Tenaga Kerja untuk segera menghentikan pengiriman PRT ke luar negeri. Tak tanggung-tanggung, tahun 2017 rencananya tidak ada lagi pengiriman PRT, Indonesia hanya akan mengirim tenaga kerja terampil yang akan dibayar mahal karena keterampilannya. Tahun 2017 itu berarti dua tahun lagi, hanya dalam dua tahun Indonesia akan menghentikan seluruh pengiriman PRT ke luar negeri. Tahun ini bahkan Indonesia mulai untuk menghentikan pengiriman ke Timur Tengah. Bukan main.
Kalau kita cermati rasanya memang ada banyak sekali warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Di sekitar tempat tinggal penulis saja misalnya, di Kabupaten Serdang Bedagai, Kecamatan Tanjung Beringin, ada banyak sekali orang yang bekerja di Malaysia. Tidak jelas bekerja sebagai apa, sesekali pulang menjenguk orangtua dan membawa oleh-oleh. Dan rasanya, adalah suatu kebanggaan bisa bekerja di luar negeri meski tidak jelas legalitas dan pekerjaannya.
Faktanya ada 2,3 juta penduduk Indonesia yang menjadi tenaga kerja dan sebanyak 1,2 juta di antaranya illegal. Belum lagi kasus demi kasus yang melanda TKI, khususnya PRT yang terus terjadi, mulai dari diobral bak barang murah, sampai penganiayaan yang diterima PRT menjadi media pencoreng martabat bangsa, peruntuh harga diri negara. Pantas saja Presiden Jokowi merasa malu, dan kita sebagai warga negara pun pantasnya malu.
Pernah pula dalam satu scene film Hongkong bergenre humor yang sempat penulis tonton—penulis lupa judul filmnya, ada pula yang secara terang-terangan menyebut pembantu rumah tangga dari Indonesia. kira-kira ceritanya ada sebuah keluarga yang bermasalah, namun pembantunya malah menambah masalah karena tidak becus bekerja. Sang Ayah dalam keluarga tersebut bilang, “Pecat dia, dan panggil pembantu dari Indonesia”. Sontak itu membuat penulis terbengong. Entah itu sebuah pujian atau hinaan. Pujian karena mungkin maksud pria itu pembantu dari Indonesia lebih becus atau penghinaan bahwa Indonesia disebut hanya sebagai penyalur pembantu rumah tangga.
Muncul pertanyaan bagaimana sebenarnya negara-negara pengguna jasa PRT Indonesia ini. Di satu sisi mereka sangat bergantung pada PRT Indonesia, karena sebagai negara maju dengan kesejahteraan rakyat yang tinggi, serta pendapatan masyarakat yang besar, tidak mungkin mereka melakukan segalanya sendiri dan pun tidak ada warga dengan yang begitu rendah hingga mau menjadi pembantu rumah tangga, dengan catatan PRT selama ini dipandang sebagai pekerja tingkat rendah. Di sisi lain negara yang menyuplai PRT ke negara mereka dianggap sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia yang berlimpah namun tidak terampil sehingga warga neraganya di supply kemana-mana meski hanya mampu bekerja sebagai pembantu.
Mungkin akan sedikit menyakitkan jika penulis menyamakan kondisi Indonesia dewasa ini dengan Kerajaan Habsyah di masa perbudakan. Kerajaan Habsyah merupakan kerajaan yang besar pada zamannya, orang-orang Quraisy jazirah Arab banyak melakukan perniagaan hingga ke Habsyah, pada awal masa kebangkitan Islam, orang-orang mukmin pun berhijrah ke Habsyah di bawah perlindungan Raja Najashi yang bijaksana.
Ketika mengadakan perjalanan ke Habsyah penduduk Arab begitu memuji kerajaan Habsyah dan raja Najashi namun begitu penduduk Habsyah sendiri banyak yang menjadi budak di Mekkah. Salah satunya Bilal bin Rabbah. Orang-orang Arab pada masa itu memandang budak dari Habsyah sangat rendah, satu-satunya yang mereka hargai dari budak Habsyah adalah kekeluargaan mereka satu sama lain sesama bangsa Habsyah. Apakah hal itu juga terjadi pada Indonesia saat ini? Di depan kepala negara Indonesia dipuji sebagai salah satu negara besar yang hebat akan tetapi di belakang itu para TKI dipandang sedemikian rendah pun negara sebagai penyalur warganya sebagai pembantu.
Butuh Solusi
Kembali pada masalah penghentian pengiriman PRT tadi, tentu hal ini bagai pisau bermata dua. Penghentian pengiriman PRT tentu menyelesaikan masalah dan menimbulkan masalah baru. Masalah harga diri dan martabat bangsa barangkali terobati dengan penghentian ini, namun masalah yang muncul harus pula diantisipasi. Masyarakat banyak yang menjadi TKI atau PRT karena banyak alasan di antaranya minimnya lapangan pekerjaan di negeri sendiri; tidak punya keterampilan yang memadai; gaji yang lebih besar dan lain sebagainya.
Maka negara wajib menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan untuk menampung warga yang selama ini menjadi PRT dengan kapasitas keterampilan mereka masing-masing. Atau memberikan keterampilan yang lebih memadai agar mampu bersaing di dunia pekerjaan.
Kedua, penghentian pengiriman PRT boleh jadi meningkatkan angka TKI illegal khususnya PRT. Sebab mau tidak mau sebagian masyarakat tersebut butuh pekerjaan walau minim keterampilan. Mafia-mafia penyalur TKI illegal bertebaran di mana-mana mencari korban-korban untuk meraup pundi-pundi uang untuk kantong mereka pribadi. Maka Kementerian Tenaga Kerja pun patutnya mengawasi agar hal ini tidak terjadi. Jika tidak di awasi dengan ketat maka tidak akan ada perubahan, yang ada justru kerugian yang lebih besar.
Tentang kesejahteraan, tidak ada PRT yang bekerja di luar negeri lalu pulang dengan membawa segepok uang yang bisa membuat hidupnya menjadi berubah secara signifikan. Cukup, mungkin. Tapi agaknya masih jauh dari kata sejahtera. Setidaknya itu yang penulis lihat dari tetangga-tetangga penulis yang menjadi TKI di Malaysia.
Dan yang terpenting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana penerapan kebijakan ini berlangsung. Tentu yang kita inginkan dari penghentian pengiriman PRT ini adalah murni menghentikan warga Indonesia untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga secara total. Bukan hanya mengganti nama PRT menjadi lebih terdengar professional seperti asisten rumah tangga misalnya. Sebab dari Keputusan Menteri No 1 Tahun 2015 tentang jabatan yang dapat diduduki oleh TKI di luar negeri untuk pekerjaan domestik adalah jabatan spesialisasi di sektor rumah tangga seperti pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, supir keluarga, tukang kebun dan lain-lain. Jika demikian penulis pikir akan tidak ada bedanya. Toh warga Indonesia tetap bekerja di rumah warga negara asing dan membantu urusan rumah tangga mereka. Tetap saja akan dipandang rendah.
Belum lagi pengawasan yang minim, meski nama jabatan atau deskripsi pekerjaan terkesan lebih professional bukan tidak mungkin akan tetap dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Tetap tidak bisa memperbaiki martabat dan harga diri bangsa.
Bagaimana pun nantinya diterapkan, keinginan Presiden Jokowi untuk menghentikan pengiriman PRT ini patut diapresiasi, tentu kita berharap kelak ini bisa membawa perubahan bagi bangsa dan masyarakat. Bukan sekadar keputusan emosional sesaat tanpa solusi atau wacana-wacana pencitraan, janji-janji palsu yang kemudian dilupakan dan tak direalisasikan. (analisadaily.com)
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…