Pemimpin Bukan 'Petugas' - Oleh: Zaenal A Budiyono, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta

Kongres PDIP IV di Bali belum lama ini mengirim pesan mengejutkan. Pesan ini dikirim oleh sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk menyindir para elite dan kader PDIP, termasuk Presiden Joko Widodo.

"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" Itulah kutipan pidato Mega yang setidaknya menggambarkan sikap politik PDIP terhadap jabatan publik.

Idiom petugas partai bukan kali pertama ini muncul sebagai isu nasional. Sejak memenangi Pilpres 2014, polemik "petugas partai" sudah muncul dari Mega dan Puan Maharani. Kedua tokoh kunci PDIP saat itu menggambarkan posisi politik Presiden Jokowi dan relasinya dengan partai.

Adalah benar kader partai merupakan pengikut, pelayan, atau petugas partai. Sebagaimana dikatakan Gabriel Almond, salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik. Partai melakukan penyeleksian kader partai untuk mengisi jabatan di pemerintahan. Dalam perkembangannya, partai menunjukkan sikap dan pengakuan adanya "batas antara kekuasaan partai dan kekuasaan rakyat".

Seperti yang terjadi di Partai Demokrat AS awal 1960. Saat itu, John F Kennedy, kader Partai Demokrat, memenangkan Pilpres 1961. Sesaat setelah terpilih, Kennedy mengatakan, "My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins." Sikap tegas Kennedy menunjukkan dia bisa memisahkan antara ruang publik dan ruang partai, kepentingan negara dan kelompok.

Meskipun saat kampanye presiden ia didukung Partai Demokrat, Kennedy merasa tidak ada salah dengan sikapnya itu. Partai Demokrat AS pun mendukung penuh loyalitas Kennedy ke negara di atas loyalitas ke partai. Partai Demokrat pada kongres partai atau acara lainnya tak pernah menyindir Kennedy terkait loyalitasnya. Sebaliknya, Demokrat justru menjadi kekuatan utama pendukung presiden di parlemen.

Sikap atau ijtihad demokrasi Kennedy sangat besar pengaruhnya. Pandangan politik Kennedy mengilhami banyak elite partai di negara-negara demokrasi untuk menghargai dan memisahkan antara "tugas negara" dan "tugas partai". Tak terkecuali di Indonesia pasca-Orde Baru ketika demokrasi mulai tumbuh dan mekar.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada Pemilu 1999 tidak pernah menunjukkan sikap tunduk terhadap partainya, PKB, maupun koalisi pendukungnya. Sampai saat ia diturunkan oleh MPR yang di dalamnya termasuk koalisi partai pendukungnya, 2002, Gus Dur tak pernah menunjukkan tanda-tanda tunduk kemauan partai. Walaupun untuk itu, ia membayar mahal sikap kerasnya dengan terusir dari istana.

Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur juga tak pernah terlihat ditekan partainya dan koalisi. Ini karena Mega—sama seperti Gus Dur—juga memiliki pengaruh politik di atas elite PDIP manapun. Begitu pun dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa pada 2004-2014, tidak kesulitan mengendalikan Demokrat dan koalisi pendukungnya.

Elite Partai Demokrat justru "memprotes" minimnya perhatian dan waktu SBY untuk partainya dibandingkan mengurus negara. Kendati kemudian, Demokrat mulai terbiasa dengan gaya kepemimpinan SBY yang mementingkan tugas negara dibandingkan partai.

Bila ketiga pemimpin Indonesia terdahulu tidak banyak hambatan dalam relasi presiden-partai, tidak demikian dengan Presiden Jokowi. Publik melihat Mega dan PDIP seakan-akan mengintervensi Jokowi. Kalau ini benar terjadi, tentu ada sesuatu yang mis di PDIP, khususnya dalam manajemen konflik dan komunikasi politik internal antarkader yang biasanya berjalan harmonis, dengan Mega sebagai faktor tunggal.

Manajemen konflik menjadi tema menarik untuk menggambarkan "pertarungan" pengaruh antara Mega dan Jokowi. Meskipun pengaruh Mega secara formal tak tergoyahkan hingga kini—kembali terpilih secara aklamasi di kongres—faksi pro-Jokowi di PDIP terus menguat. Faksi ini menganggap Jokowi lebih layak memimpin PDIP. Hal ini linier dengan temuan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai ketum PDIP pilihan rakyat. Hasil survei menunjukkan Jokowi diunggulkan dibandingkan Megawati dengan 36,8 persen, sedangkan Mega 23,9 persen.

Meskipun memiliki modal sosial lebih dari cukup, faktanya Jokowi tak menggunakan itu untuk memperbaiki PDIP ke depan. Ia memilih diam dan menerima dominasi Mega meskipun ia "teralienasi" di tengah kongres lalu.

Sudah menjadi konvensi bila presiden atau wapres hadir di kongres parpol, ia akan mendapat panggung untuk pidato. Parpol pun merasa terhormat bila RI-1 hadir dan memberikan sambutan. Namun, hal ini tidak terjadi di Bali.

Presiden Jokowi yang sudah menyiapkan draf pidato tidak diberikan waktu pidato. Padahal, awalnya pihak Istana mengonfirmasi Jokowi akan tampil (Majalah Tempo, 13 April 2014). Seolah Presiden Jokowi "tak dianggap" oleh Mega dan PDIP. Dan puncaknya—sebagaimana awal tulisan ini—Mega menegaskan pentingnya loyalitas "petugas partai". Mega juga menyinggung pihak yang ia istilahkan "menyalip di tikungan" dan "pemimpin yang tidak taat konstitusi". Ketiga frasa di atas sulit untuk tidak dikaitkan dengan Presiden Jokowi.

Menyoal penekanan Mega agar pemimpin taat konstitusi dan penggunaan logika "kehendak partai sejalan dengan kehendak rakyat", itu terlalu menyederhankan masalah. Faktanya, keinginan rakyat kerap berseberangan dengan agenda parpol.

Pencalonan Kapolri Komjen Budi Gunawan yang mendapat penolakan masyarakat memaksa Presiden Jokowi tunduk pada tekanan publik. PDIP justru menyerang kebijakan Jokowi dan memaksa mengangkat BG karena penolakan Jokowi tak berdasarkan konstitusi. Namun, Jokowi terlihat gamang, dengan tidak segera mengambil keputusan yang membuat kegaduhan politik. Kegamangan Presiden Jokowi disinyalir akibat tekanan partainya sendiri, bahkan sempat muncul isu Jokowi akan menyeberang ke Koalisi Merah Putih (KMP).

Apa yang terjadi pada Jokowi saat ini bukanlah sesuatu yang baru dalam politik. Di politik dikenal istilah populer, "tak ada lawan dan kawan abadi, yang ada kepentingan abadi". Dari sana Presiden Jokowi seharusnya bisa menyimpulkan dukungan dari Mega, PDIP, dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bukanlah sesuatu yang mutlak. Semuanya sangat dinamis tergantung dari kepentingan masing-masing pihak.

Sebaliknya, oposisi KMP juga bukanlah perlawanan tanpa akhir, selama kepentingannya bisa didamaikan. Dengan kata lain, meskipun mendapat tekanan dari Mega dan PDIP, sejatinya jalan Presiden Jokowi untuk menegaskan dirinya sebagai pemimpin 250 juta rakyat Indonesia sangat terbuka. Tinggal menunggu keberanian dan sikap tegas Jokowi untuk memilih dan mementingkan loyalitas kepada rakyat (pemilihnya) atau loyalitas kepada partai yang menganggapnya hanya seorang petugas. (haluankepri.com)

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…