Sekolah Jangan Lagi sebagai Beban Siswa - Oleh: Fahrin Malau, Pemerhati Pendidikan

Cerita Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, gambaran bagaimana menciptakan suasana menyenangkan di sekolah dengan latar belakang siswa yang berbeda satu sama lainnya. Ikal anak yang pandai meski berada diurutan kedua setelah Lintang, bocah terpandai di dalam kelas mereka. Si Ikal menaruh minat yang besar pada sastra. Hal ini terlihat dari kegemarannya menulis puisi. Lain lagi dengan tokoh Lintang. Dia di­gambarkan sebagai anak yang sangat jenius. Orangtuanya seorang nelayan, yang miskin dan hanya tidak memiliki pe­rahu. Mereka memiliki keluarga da­lam jumlah yang melimpah yang 14 orang. Lintang sangat suka ma­te­matika. Namun, cita-citanya menjadi se­o­rang ahli matematika harus terpangkas dengan tuntutan mem­ban­tu orangtua menafkahi keluarga. Terlebih saat ayahnya meninggal.

 

Tokoh lainnya adalah Sahara. Dia merupakan anak perempuan satu-satunya dalam cerita ini. Dia berpen­diri­an kuat dan cenderung keras kepala. Sementara Mahar, dia digam­barkan bertubuh ceking dan mencintai seni. Dia suka menyanyi dan gemar pada okultisme. Tokoh berikutnya ada­lah A kiong. Dari namanya sangat jelas kalau ia merupakan keturunan Tiong­hoa. Ia sangat menyukai Mahar dan mengi­kutinya kemanapun. Ia digam­barkan tak rupawan tetapi hatinya “tampan”.

 

Syahdan perangainya ceria meski dia tak pernah menonjol dalam kelas. Sementara itu Kucai, adalah tokoh dalam cerita yang didaulat menjadi ketua kelas. Dia digambarkan mende­rita penyakit rabun jauh sebab dia ke­kurangan gizi. Borek, Trapani dan Ha­run adalah anggota laskar` pelangi yang terakhir. Borek digambarkan se­bagai anak yang terobsesi dengan otot. Dia ingin menjadi lelaki yang paling macho. Trapani, dia tampan dan pandai. Dia lengket dengan sang ibu. Terakhir, Harun. Dia istimewa sebab berbeda dengan anak-anak lainnya.  Dia mengalami keterbelakangan mental. Namun Harun digambarkan dengan cukup manis sehingga banyak yang jatuh cinta pada sosoknya.

 

Perbedaan latar belakang siswa ibu Musliman dan pak Harfan sebagai guru mampu melakukan interaksi dengan baik dan memposisikan masing-masing siswa sesuai dengan ke­mam­puannya. Meski dihadapi ber­bagai rintangan, siswa tetap memiliki semangat untuk pergi ke sekolah.

 

Suasana sekolah pada cerita Laskar Pe­­langi sangat bertolak belakang de­ngan kondisi sekarang. Setiap pagi orang tua di Indonesia disibukkan dengan anaknya. Mulai dari memba­ngun­kan tidur, menyuruh mandi, ber­pakaian, makan sampai pakai sepatu lalu mengantarkan ke sekolah. Selain harus mengingatkan anaknya ke se­kolah, orang tua juga harus meng­ingat­kan anak belajar, mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru. Aktifitas rutin yang setiap hari dilakukan - kecuali hari libur - tidak serta merta dilakukan dengan kesa­daran sendiri tanpa harus diingatkan. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak anak-anak memiliki kesadaran mempersiapkan diri pergi ke sekolah tanpa diingatkan orang tua. Diper­ki­rakan jumlah anak yang harus di­ingat­kan orang tua untuk pergi ke sekolah lebih banyak daripada yang tidak.

 

Ketika anak memasuki usia sekolah adalah sesuatu yang mengembirakan. Li­hat saja ketika tahun ajaran baru, sis­wa kelas satu sekolah dasar lebih da­hulu datang ke sekolah daripada siswa lama (kelas dua, tiga dan se­terusnya). Dilihat dari raut wajah, sis­wa kelas satu lebih ceria bila di­ban­dingkan dengan siswa lama. Meski kesimpulan ini hanya bersifat obser­vasi, menunjukkan bahwa pada dasar­nya orientasi siswa awalnya sekolah tem­pat yang menyenangkan.

 

Ketidakmampuan sekolah mencip­ta­­kan suasana menyenangkan secara per­lahan-lahan merubah orientasi siswa. Siswa mulai merasa bosan dan ma­las untuk pergi ke sekolah. Tidak se­dikit siswa menganggap sekolah suatu beban yang setiap hari harus di­lakukan. Ini tercermin dari ekspresi sis­wa ketika ada hari libur atau ada ra­pat guru sehingga jadwal pulang di­percepat, siswa bersorak kegira­ngan. Berbeda ketika anak berada di suatu taman. Ekspreasi keceriaan terpancar. Di Taman anak bisa berlari, bermain dan menikmati keindahan. Tidak ada rasa bosan untuk berlama-lama dan ingin kembali datang kembali.

 

Ambisi orangtua dan sekolah yang mem­bebani untuk mendapatkan nilai ter­tinggi menjadikan siswa sebagai ob­jek. Orang tua memaksa anak untuk be­lajar. Tidak cukup belajar di se­ko­lah, orang tua memaksa anak belajar di luar jam sekolah. Akibatnya setelah pulang sekolah, anak kembali belajar dengan mengikuti les. Pada malam hari orang tua kembali menyuruh anak be­lajar di rumah mengerjakan peker­jaan yang diberi­kan guru. Selain am­bisi orang tua yang harus dipikul, anak juga harus me­mikul beban ambisi sekolah. Se­kolah banyak menyo­dorkan berbagai buku. Untuk satu mata pelajaran, buku yang harus dimi­liki tidak cukup satu. Akhir­nya setiap hari siswa harus membawa tas berisi buku yang beratnya lebih dari tiga ki­lo­gran.

 

Ambisi orang tua dan sekolah berorientasi nilai bukan tanpa alasan. Kebijakan pemerintah yang meng­harus­kan mendapatkan nilai 4,0 untuk semua mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional sebagai syarat kelulusan menimbulkan kekhawatiran. Untuk da­pat melewati nilai yang ditetapkan pada ujian nasional satu satunya jalan yang dilakukan orang tua dan sekolah dengan memaksa anak belajar dan belajar. Anak tidak diberi kesempatan untuk bermain dan bersosilisasi dengan teman sebaya di lingkungan rumah dan sekolah.

 

Beratnya beban anak untuk seko­lah, pemerintahan Jokowi-JK meru­bah orientasi pendidikan dari nilai ke berkarakter. Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah sebelumnya dirubah. Ujian Nasional yang sebe­lum­nya menjadi penentu kelulusan, menjadi tidak penentu kelulusan. Sekolah diberi wewenang untuk menentukan kelulusan siswa. Menun­da pelaksanaan kurikulum 2013 yang disusun pemerintah sebelumnya yang dinilai terlalu membebani guru dan siswa. Perubahan orientasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Jokowi-JK yang dilaksanakan Kementerian Pen­didikan dan Kebudayaan untuk men­capai revolusi mental yang ber­karakter. Pendidikan tidak saja mem­peroleh nilai tinggi, tapi berkarakter.

 

Managemen Sekolah

 

Revolusi mental yang dicanangkan pemerintah Jokowi-JK melalui pendi­di­kan berkarakter bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Apalagi orientasi nilai dalam dunia pendidikan di Indonesia sudah berlangsung lama. Siswa sudah terlalu lama terbebani dengan berbagai mata pelajaran. Image sekolah bagi siswa menjadi beban yang telah menjauhkan mereka dari dunia bermain.

 

Jalan panjang yang harus dilalui untuk mewujudkan pendidikan berkarakter di­sadari Menteri Pendidikan dan Kebu­da­yaan Anies Baswedan. Kesadaran ini pernah disam­paikan Anes Basweda pada Kon­fe­rensi Kerja Nasional II Persatuan Guru Re­publik Indonesia (PGRI) 2015. Pada waktu itu Anies meminta seluruh pendidik di tanah air menjadikan sekolah sebagai tem­pat yang menyenangkan bagi siswa. Per­mintaan Anies belajar dari filosofi yang digagas bapak pendidikan Ki Hajar De­wan­tara, menamakan lembaga pendidi­kan­nya Taman Siswa yaitu tempat yang penuh keba­hagian dan menyenangkan karena anak butuh bermain. “Jangan jadikan sekolah tempat yang kalau pagi hari membuat siswa menjadi stres dan takut, buat suasananya seperti ta­man, semua anak pasti senang pergi ke taman,” kata dia.

 

Jalan panjang yang harus dilalu, tidak ser­ta merta perubahan pendidikan ke arah yang lebih baik tidak dilakukan. Anies me­nyadari untuk mengubah itu harus dijalani de­ngan kesabaran dan jangan berharap ha­silnya segera terlihat. Secara perlahan per­baikan dilakukan secara bertahap baik seca­ra fisik maupun phisikis.  Disadari kondisi fisik sekolah di Indonesia masih mem­pri­hatinkan. Berdasarkan data Direktorat Jen­deral Pendidikan Dasar Kementerian Pen­didikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pada 2015, jumlah ruang kelas yang rusak 149.552. Jumlah ini terdiri dari 117.087 ruang kelas di sekolah dasar dan 49.074 ruang di antaranya rusak berat. Di jenjang sekolah menengah pertama ada 32.465 ruang kelas yang rusak dan 13.107 ruang di antaranya rusak berat.

 

Melihat masih banyak infrastruktur seko­lah di Indonesia yang rusak, dapat me­ng­u­rangi minat siswa untuk belajar. Bagaimana mungkin siswa dapat belajar dengan nyaman dengan kondisi ruang kelas rusak dan meubeler ruang kelas tidak layak pakai. Dibutuhkan infrastruksi sekolah yang baik untuk memberikan suasana nyaman da­lam proses belajar mengajar. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran agar per­soalan infrastruktur sekolah dapat dibenahi.

 

Menanti pemerintah melakukan per­baikan infrastruktur sekolah, pembenahan ma­nagemen sekolah yang selama ini bero­rientasi pada nilai ke berkarakter harus dila­kukan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan res­mi, secara sistematis melakukan program bimbingan belajar, membantu siswa mengembangkan potensinya.Sekolah men­jadi penentu bagi perkembangan ke­pri­ba­dian siswa dalam cara berpikir, bersikap ma­upun cara berperilaku untuk me­ngan­tarkan siswa ke alam kedewasaan.

 

Otoritasi guru yang selama ini meman­dang siswa sebagai  objek dan sebagai tabu­­larasa. Proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai guru. Lingkungan sekolah ter­­masuk ruang kelas yang kumuh dan pena­taan yang monoton. Aturan sekolah yang menun­tut banyak terhadap siswa, menjadikan se­kolah sebagai tempat yang tidak me­nye­nang­kan bagi siswa. Guru yang langsung berin­teraksi dengan siswa penentu me­nye­nang­kan atau tidak siswa di sekolah. Guru ber­peran sebagai desainer yang me­wujudkan atmosfir mengembirakan kepada siswa pada waktu pro­ses belajar me­ngajar. Guru sebagai fasi­lita­tor, dina­misator dan motivator harus mam­pu melakukan dengan baik. Dalam tahap evaluasi guru membe­ri­kan umpan balik. Guru dan siswa sejajar sebagai manusia yang saling berinteraksi tanpa adanya otoritas pada salah satu pihak. Selain itu, dalam proses pem­belajaran me­man­dang siswa secara merata, artinya tidak ada siswa yang pandai dan bodoh.

 

Lingkungan sekolah perlu didesain de­ngan pendekatan natural. Misalnya, kerin­dangan, kebersihan dan kerapian ling­ku­ngan sekolah. Selain itu ruang kelas juga dibuat bersih, dingin, dan tidak monoton.  Peraturan sekolah tidak dibuat begitu detail. Jangan sampai ada aturan yang memak­sa siswa harus begin-begitu.(analisadaily.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…