PERLU PENDALAMAN INSTRUMEN MONETER - Hot Money Sensitif Isu Negatif

Jakarta – Besarnya portofolio dana asing (hot money) yang menguasai surat berharga nasional (SBN) hingga sekitar Rp 400 triliun dinilai rentan menghadapi fluktuasi ekonomo global yang setiap saat bisa terjadi. Untuk itu, Bank Indonesia perlu meningkatkan kembali pendalaman instrumen moneter untuk menangkal dampak negatif aliran dana asing tersebut.

NERACA

"Salah satu cara adalah pemerintah harus memberikan insentif fiskal kepada investor asing yang mau melakukan reinvestasi foreign direct investment (FDI)-nya di Indonesia, sehingga tidak memulangkan (repatriasi) hasil investasinya ke negara asal,"ujar A Prasetyantoko, staf pengajar Universitas Atmajaya saat dihubungi Neraca, akhir pekan lalu.

Menurut dia, Bank Indonesia  juga agar memperbanyak instrumen investasi. Karena BI ikut menjaga rasio defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2,5%-2,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan.

"Pemberian insentif reinvestasi FDI bukanlah hal berlebihan. Kebijakan ini sudah lazim dilakukan oleh negara-negara lain. Bagi Indonesia, insentif fiskal memang dibutuhkan guna menahan repatriasi FDI yang belakangan terjadi dan membuat nilai tukar rupiah melemah,"ujarnya.

Prasetyantoko mengatakan, pemberian insentif untuk reinvestasi FDI penting dilakukan tidak hanya untuk menahan aliran repatriasi, tetapi juga untuk menjaga investasi tidak turun dan pertumbuhan tidak terkoreksi terlalu jauh. Sejumlah insentif yang dapat diberikan, yakni berupa penundaan atau pengurangan pajak agar investor asing tertarik untuk reinvestasi. Insentif tersebut bisa diberikan untuk semua sektor usaha. Salah satu sektor yang penting untuk diberikan insentif adalah sektor migas mengingat investasi di sektor ini dikuasai asing.

"Menjaga aliran modal asing tidak keluar tidak hanya dalam bentuk insentif. Insentif hanya akan menjadi pemanis atau lips service saja selama masalah fundamental tidak dibenahi. Pemerintah harus bisa menyediakan kebutuhan yang paling mendasar bagi investor seperti infrastuktur, kepastian hukum, dan iklim investasi yang kondusif. Infrastuktur harus dibenahi untuk menjaga kelancaran proses produksi dan distribusi,"kata dia.

Menurut dia, kepastian hukum harus ditegakkan untuk memberi rasa aman kepada investor. Iklim investasi pun harus kondusif agar investor nyaman berinvestasi di Indonesia. Tanpa adanya semuanya itu, insentif apa pun yang diberikan akan menjadi kontraproduktif.

"Pembatasan keluarnya dana asing harus dilakukan secara hati-hati agar tidak melanggar undang-undang. Dana asing dalam bentuk hot money maupun FDI bisa keluar kapan saja jika berinvestasi di Indonesia tidak memberikan keuntungan yang besar. Pendalaman pasar keuangan dibutuhkan sehingga investor lebih memiliki banyak pilihan dan hanya tidak tergantung pada jenis investasi konvensional seperti saham dan obligasi,"kata dia.

Imbal hasil (return) yang besar, menurut dia,  tidak selalu menjadi daya tarik bagi dana asing tetap bertahan di suatu negara jika risiko investasi lebih besar. Biasanya, hot money di pasar modal sangat sensitif terhadap isu-isu negatif yang berujung pada risiko investasi. Untuk menghindari risiko, dana asing akan keluar sejenak dari suatu negara jika di negara tersebut dipenuhi isu negatif, dan akan masuk lagi jika isu negatif itu telah sirna.

Bagaimanapun, upaya menjaga kondisi fundamental ekonomi Indonesia tetap solid mutlak dilakukan agar tidak goyah diterpa isu-isu negatif dan dana asing tetap bertahan. “Tidak hanya pemberian insentif, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk menahan capital outflow dengan menyerap arus modal asing ke sektor riil,” ujarnya.

Seperti diketahui hingga akhir 2014 kepemilikan asing atas SBN mencapai sekitar Rp 400 triliun, atau hampir 40% dari total surat berharga negara yang beredar. Mengapa?

Investor asing sangat tertarik membeli SBN karena faktor imbal beli (yield) obligasi RI bertenor 10 tahun saat ini mencapai 7,98%, lebih tinggi dari Thailand (3,4%), Malaysia (4,06%) dan Filipina (4,1%). Dengan yield yang cukup tinggi itu, risiko berinvestasi portofolio masih bisa dikategorikan rendah.

Potensi Pembalikan Dana

Pengamat ekonomi yang juga Rektor Kwik Kian Gie School of Business Prof Dr Anthony Budiawan mengatakan, sudah semestinya kepemilikan asing dalam SBN mesti dikurangi mengingat rentannya kondisi ekonomi Indonesia sehingga dengan mudah asing melakukan capital outflow.

"Misalnya jika terjadi guncangan di Indonesia, maka akan ada potensi pembalikan arah investasi atau asing secara berbondong-bondong keluar. Langkah ini tentunya akan merugikan ekonomi Indonesia terlebih kepemilikan asing di SBN cukup tinggi maka akan rentan," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah mesti mewaspadai capital outflow seperti indikasi kenaikan suku bunga The Fed, meski saat ini masih ditunda.  "Respon lainnya juga mesti disiapkan seperti nilai tukar, penurunan harga beberapa komoditas seperti CPO. Kalau tidak direspon penanganannya dengan baik seperti dari sisi moneter dan fiskal maka hal itu akan berakibat fatal untuk perekonomian Indonesia," ujarnya.

Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan, di tengah kondisi AS yang mulai membaik, tentu patut diwaspadai mengingat kondisi ini akan membuat investor lari, atau dana di Indonesia balik lagi ke sana. Apalagi sampai dengan akhir tahun 2014 lalu kepemilikan dana asing masuk ke Indonesia besar sekali hingga mencapai Rp 400 triliun.

Oleh karena itu, ke depan dominasi kepemilikan asingitu harus dikurangi, karena akan sangat menggunjang dalam pengelolaan utang negara. "Patut di catat dominasi asing terhadap SBN sangat tinggi, jika terus dibiarkan akan berdampak buruk, oleh karenanya ke depan harus dibalik, agar jika terjadi guncangan dampaknya tidak terlalu besar," katanya.

Ryan mengatakan, salah satu indikator masih akan diterapkannya kebijakan moneter ketat yakni tingkat suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,5%. "Indonesia masih terpenjara suku bunga tinggi untuk menjaga likuiditas, harapannya minimal bertahan di level 7,5%, kalau bisa turun, tapi jangan naik lagi," tandasnya.

Pengamat pasar modal Universitas Pancasila Agus S. Irfani mengatakan, porsi kepemilikan investor asing di SBN harus dikurangi. Pasalnya, jika terjadi guncangan terhadap kondisi perekonomian domestik, terdapat potensi pembalikan arah investasi dan hal ini tentunya akan merugikan Indonesia.

"Besarnya porsi kepemilikan investor asing di SBN akan berdampak negatif bagi Indonesia khususnya dalam hal pengelolaan utang negara," kata dia.

Menurut Agus, dengan aliran modal asing bagi perekonomian suatu negara memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, adalah modal asing dapat menambah likuiditas perekonomian serta menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan perekonomian yang tidak seluruhnya dapat dibiayai oleh dana dari dalam negeri. jika modal masuk dalam bentuk komitmen jangka panjang, modal asing ini akan sangat bermanfaat bagi pembiayaan pembangunan nasional. iwan/bari/agus/mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…