Penjualan Rendah - Dua Pabrik Keramik Terpaksa Hentikan Produksi

NERACA

Jakarta - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan, dua pabrik keramik nasional harus berhenti produksi karena meningkatnya biaya produksi dan rendahnya penjualan domestik. “2 pabrik keramik dengan kapasitas produksi terpasang masing-masing sebesar 40.000 meter persegi (m2) per hari dan 15.000 m2 per hari telah menghentikan produksinya. Beberapa faktor yang membuat dua perusahaan tersebut berhenti produksi adalah manajemen yang kurang bagus dan iklim bisnis tidak kondusif,” kata Ketua Asaki, Elisa Sinaga di Jakarta, Jumat (20/3).

Elisa berharap, pemerintah membantu industri keramik meningkatkan daya saing. “Salah satu caranya adalah menurunkan harga gas industri yang saat ini terlalu mahal. Harga gas yang dibayar industri keramik saat ini mencapai US$8 per mmbtu, jauh di atas sejumlah negara berkisar US$4 per mmbtu hingga US$5 per mmbtu dan harga gas paling ideal untuk industri keramik adalah US$5 per mmbtu,” paparnya.

Sedangkan pelemahan rupiah terhadap dolar AS, lenjut Elisa, semakin menekan industri keramik karena mendongkrak biaya produksi hingga 20%. Saat ini, biaya produksi keramik sangat tergantung pada dolar AS, karena pembelian gas menggunakan mata uang tersebut. “Ironisnya, pebisnis keramik belum berani menaikkan harga jual seiring masih lesunya kondisi pasar dalam negeri. Pebisnis takut permintaan akan melorot jika harga jual dinaikkan,” ujarnya.

Elisa memperkirakan pelemahan rupiah hanya bersifat sementara. Juni mendatang, kondisi rupiah diperkirakan sudah stabil. “Sejak pekan lalu, nilai tukar rupiah menembus level Rp13.000 per dolar AS. Hal ini dipicu beberapa faktor, antara lain penguatan ekonomi AS dan maraknya utang jatuh tempo korporasi Indonesia,” tuturnya.

Di tempat berbeda, Industri keramik yang digeluti para perajin di wilayah Dinoyo, Kota Malang, Jawa Timur, sejak puluhan tahun silam. Bisnis mereka terancam bangkrut akibat naiknya harga elpiji untuk kali kedua dalam lima bulan terakhir ini.

Ketua Paguyuban Perajin Keramik Dinoyo Samsul Arifin, mengaku beberapa waktu lalu harga elpiji sudah naik yang mengakibatkan biaya produksi sudah membengkak, dan sekarang naik lagi sehingga kondisi industri keramik sekarang benar-benar diambang kebangkrutan alias gulung tikar.

“Kondisi industri keramik sekarang ini benar-benar terjepit, bahkan pada saat kenaikan harga elpiji September 2014, sudah ada beberapa perajin yang meninggalkan keramik dan beralih profesi menjadi perajin gips. Sekarang ada kenaikan harga elpiji lagi, mungkin yang beralih profesi akan bertambah lagi,” ujar Samsul Arifin.

Samsul mengemukakan, untuk membuat keramik memerlukan pembakaran yang menggunakan elpiji, sedangkan gips tidak memerlukan pembakaran. Oleh karena itu, jika harga elpiji terus naik, perajin keramik akan terus merugi karena biaya produksi makin tinggi.

Dia mengklaim, biaya untuk membeli elpiji saja membengkak hingga Rp 1 juta per bulan. “Kalau kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan industri keramik Dinoyo yang sudah dirintis sejak puluhan tahun silam akan gulung tikar, sebab kalau harga jual keramik dinaikkan pasti akan berpengaruh terhadap daya beli konsumen,” kata Samsul.

Sementara itu, harga elpiji ukuran 12 kilogram (kg) yang sebelumnya seharga Rp 116.000 menjadi Rp 140.000 per tabung. Kenaikan harga yang cukup drastis tersebut membuat permintaan komoditas tersebut menurun drastic. Banyak pengguna elpiji 12 kg saat ini yang beralih ke tabung 3 kg.

Manajer Pemasaran PT Gading Mas Indah, Maret Sri Kusnandar mengakui bahwa adanya penurunan permintaan dari konsumen yang cukup besar. Sebelum ada kenaikan harga, kata Maret Sri Kusnandar, pihaknya bisa menjual antara 400-500 tabung per hari. Namun setelah ada kenaikan harga, hanya terjual sekitar 300 tabung/hari.

Maret mengaku beberapa pelanggan memilih setop dulu menggunakan elpiji 12 kg setelah tahu harganya naik, bahkan ada pelanggan yang ingin pindah dulu ke elpiji 3 kg. Kenaikan harga kali ini memang sangat terasa karena baru tiga bulan naik, sekarang sudah naik lagi.

“Kenaikan harga elpiji 12 kg saat ini mencapai Rp 18.000 – Rp 20.000 ribu per tabung. Kalau dari agen, sebelumnya hanya Rp 116.000, sekarang menjadi Rp136.000, tetapi kalau di pengecer sudah seharga Rp 140.000 per tabung,” ucapnya.

Salah seorang pengguna elpiji 12 kg di kawasan Dinoyo, Ariyani, mengaku dirinya terpaksa beralih ke elpiji 3 kilogram karena harga elpiji tabung biru selangit. “La, sekarang harga elpiji 3 kg hanya Rp 16.000 per tabung, sedangkan yang 12 kg mencapai Rp 140.000 per tabung. kalau dibelikan yang 3 kg sudah dapat berapa tabung, lebih dari dua kali lipat,” katanya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…