Mampukah Ekonomi Berkeadilan?

Di tengah kondisi rupiah yang terdepresiasi makin dalam terhadap dolar AS, Presiden Joko Widodo juga menghadapi tugas yang sangat berat dalam memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Pasalnya, program Nawa Cita yang menjadi “garis besar haluan negara” harus mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang merata bagi segenap rakyat Indonesia.

Hanya persoalannya sekarang, sistem ekonomi Indonesia masih terkesan mengarah pada sistem ekonomi neoliberal, yaitu ekonomi yang hanya mementingkan dan menguntungkan sebagian pihak tertentu serta menyengsarakan rakyat. Ini terlihat dari semakin melebarnya “Koefisien Gini” di tengah pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6% per tahun. Apalagi mulai 2014 ke depan tingkat pertumbuhan diprediksi kurang dari 6% per tahun.

“Koefisien Gini” mencerminkan ketimpangan pendapatan rakyat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), yang apabila skalanya mendekati nol mengindikasikan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna. Sebaliknya bila skalanya mendekati angka satu, mencerminkan suatu ketimpangan yang sempurna.  Rasio Gini Indonesia pada 2010/2011 tercatat 0,36 meningkat menjadi 0,41 (2011/12) dan 0,42 pada periode 2012/2014.

Karena itu, masyarakat Indonesia sangat berharap program Nawa Cita menghasilkan “produk unggulan” yang berorientasi pada ekonomi berkeadilan. Dimana terciptanya kesejahteraan rakyat banyak adalah prioritas pertama. Artinya, janji – janji yang mereka ikrarkan saat dulu kampanye pemilu bukan hanya sekadar “omongan kosong” saja, tapi harus dibuktikan secara nyata.

Konsep ekonomi berkeadilan sebenarnya adalah sebuah antagonis dari sistem ekonomi pada masa orde baru. Dalam pemerintahan Orba maupun Reformasi, penekanan tentang sektor ekonomi lebih mengedepankan pada kemakmuran(trickling-down effect approach). Paradigma tersebut dapat dilihat dengan ciri utamanya adalah sentralisasi kebijaksanaan pengelolaan ekonomi dan keuangan negara serta target stabilisasi politik yang bersifat represif oleh pemerintah pusat. Strategi pembangunan serupa ini terutama dimaksudkan untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan selanjutnya akan tercipta peluang kerja yang luas dan merata akibat adanya mekanisme tersebut.

Meski tidak dapat disangkal bahwa strategi pembangunan serupa itu telah memberikan hasil, diantaranya telah tercipta transformasi struktural dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ditunjukkan oleh angka-angka pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang cukup menakjubkan, penurunan angka jumlah orang miskin dan lain sebagainya, namun menurut banyak pengamat hasil tersebut hanya bersifat semu. Karena hasil yang diperoleh bukan diciptakan dan dinikmati oleh sebagian besar  masyarakat Indonesia, tetapi hanya untuk kepentingan segelintir masyarakat tertentu (konglomerat).

Melihat gambaran tersebut, kita perlu memberikan wawasan ke depan perlu adanya konsep yang lebih mengedepankan keadilan. Yaitu pendekatan ekonomi berkeadilan lebih didahulukan baru kemakmuran (equity with growth approach) bukan mendahulukan kemakmuran baru keadilan(trickling-down effect approach ). Karena  sudah menjadi kebiasaan yang latah pada setiap manusia jika mereka mencapai kemakmuran,  mereka akah melupakan orang lain dan lingkungan sekitrarnya.

Ini mirip dengan sistem ekonomi Pancasila, kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama. Kalau dalam ekonomi kapitalisme, perekonomian hanya dikuasai oleh sebagi orang saja sedangkan dalam ekonomi komunisme lebih condong pada sosialisme dengan proteksi pemerintah yang kuat, maka ekonomi pancasila berada di tengah- tengah antara keduanya.

Ekonomi Pancasila juga mengikuti mekanisme pasar. Dalam arti kebebasan individu tetap berjalan tetapi tetap ada proteksi dari pemerintah. Pemerintah tidak membiarkan pasar berjalan bebas tanpa kendali. Karena dikhawatirkan ketidakadilan dan saling menindas antar pelaku ekonomi akan terjadi. Dengan adanya proteksi regulasi berupa aturan-aturan tersebut dapat terciptalah suatu keadilan. Setelah itu, kemakmuran masyarakat bukan hanya sekadar mimpi di tengah hari bolong. Semoga!




BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…