KEBIJAKAN PEMERINTAH TIDAK TEPAT - Dorong Spekulan Borong US$

 

Jakarta – Kalangan pengamat menilai kebijakan pemerintah yang tidak tepat ikut andil mendorong spekulan memborong dolar AS di pasar yang pada akhirnya membuat nilai tukar (kurs) rupiah kian terdepresiasi lebih dalam. Bank Indonesia diminta proaktif menghadapi kondisi darurat rupiah saat ini agar masyarakat tidak panik.

NERACA

Pengamat ekonomi Iman Sugema mengatakan, kebijakan pemerintah yang tidak tepat  bisa membuat pasar melakukan spekulasi. Salah satu contohnya, kebijakan yang mewajibkan kalangan eksportir menyertakan dokumen letter of credit (L/C) dalam setiap kegiatan ekspornya. Kebijakan ini, akan mempengaruhi kinerja ekspor yang menjadi salah satu pendapatan devisa pemerintah.

"Besar kecilnya devisa hasil ekspor (DHE) tentu akan memengaruhi persepsi pasar terhadap ketahanan nilai tukar rupiah," ujarnya saat dihubungi Neraca, Rabu (11/3).

Celakanya, menurut Iman, ada kemungkinan kebijakan moneter longgar akan kembali dilanjutkan BI setidaknya dalam 1-2 bulan ke depan. Karena kebijakan penurunan suku bunga BI Rate itu dinilai akan mempengaruhi neraca transaksi berjalan sehingga membuat defisit neraca transaksi berjalan (current account) sulit turun.

Dia juga menilai, pelemahan rupiah juga dipicu oleh pesimisme pasar terhadap hasil reformasi struktural yang dilakukan pemerintah. Akibatnya,  pemerintah hingga sekarang belum mampu menekan defisit tersebut.

Iman mencontohkan,  kebijakan pemerintah lainnya yang bisa mengguncang kepercayaan investor adalah, ketentuan perpajakan yang mewajibkan bank melaporan bukti pembayaran pajak deposito, juga sempat membuat khawatir kalangan perbankan dan pemilik dana (deposan), meski kebijakan tersebut akhirnya ditunda sampai batas waktu tak ditentukan.

Iman menyarankan, pemerintah perlu menekan defisit neraca transaksi berjalan dengan kebijakan yang tepat. Misalnya, untuk jangka menengah panjang adalah melakukan hilirisasi industri. Artinya, industri yang selama ini orientasi impornya tinggi harus dikurangi. "Turunkan biaya logistik dengan membangun infrastruktur. Itu dorongan yang dibutuhkan untuk meningkatkan industri kita," ujarnya.

Nah, selain masalah eksternal tersebut, mitigasi Bank Indonesia (BI) setidaknya harus berorientasi pada upaya menangkal spekulan dengan berselancar di isu global The Fed. Bank Indonesia harusnya segera mengubah kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) agar devisa itu dapat ditahan (hold) minimal 3-6 bulan di dalam negeri untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia menghadapi ulah spekulan dolar saat ini.

Hilangkan Retorika

Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Kusfiardi mengatakan, kurs rupiah terhadap dolar AS yang terus mengalami pelemahan hingga saat ini, BI diharapkan memiliki strategi dalam menekan pelemahan tersebut. Otoritas moneter jangan hanya bisa mengumbar retorika dalam menyikapi pelemahan rupiah.

"Rupiah melorot lagi, otoritas moneter bilang mereka sudah hadir di pasar melalui pasar valas dan pasar SBN. Namun kehadiran saja tidak cukup untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Kondisi ini dibuktikan dengan terus melemahnya rupiah terhadap US$,” ujarnya.

Dia menuturkan semakin terpuruknya rupiah belakangan ini menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu menjaga atau menstabilkan nilai rupiah."Kelihatan tidak ada daya baik pemerintah maupun otoritas moneter," ujarnya.

Menurut Kusfiardi, upaya mitigasi BI setidaknya harus berorientasi pada upaya spekulasi yang dilakukan spekulan dengan berselancar di isu global, termasuk isu membaiknya perekonomian AS."Upaya kehadiran BI juga harus berkorelasi dengan penerapan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan kepatuhan menjalankannya," ujarnya.

Kusfiardi mengatakan, hal penting dalam konteks mitigasi adalah melakukan koreksi kebijakan moneter agar bisa menekan defisit transaksi berjalan melalui dorongan kegiatan industri yang memiliki nilai tambah. Baik untuk substitusi impor maupun menggenjot ekspor.

Dia menjelaskan pemerintah harus prioritaskan pembangunan kilang minyak agar tak lagi tergantung pada impor BBM. Kemudian membangun industri dasar untuk mengurangi impor bahan baku industri nasional."Tanpa langkah nyata tersebut,  rupiah tetap akan mengalami gejolak. Kondisi itu menjadi alat meraup keuntungan bagi spekulan dengan berselancar pada isu eksternal yang tidak sepenuhnya berkorelasi dengan kondisi fundamental rupiah," tandasnya.

Menurut dia, apabila nilai tukar semakin jauh dari asumsi APBN-P 2015, maka akan mempengaruhi keuangan negara, terutama sisi belanja dan pembiayaan terkait cicilan pokok utang jatuh tempo. Lalu pengaruhnya juga terasa pada industri nasional yang bahan bakunya bergantung pada impor. Kemudian, barang konsumsi yang juga impor seperti bahan pangan.

"BI memang bisa andalkan cadangan devisa. Tapi, sisi lain berisiko tergerusnya ketersediaan cadangan devisa untuk kebutuhan impor dan bayar utang jatuh tempo," tutur dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, pelemahan rupiah dalam beberapa hari terakhir lantaran kinerja ekspor yang melemah dan faktor eksternal karena mulai membaiknya ekonomi di AS. Apalagi, kata dia, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit dan seharusnya hal ini dapat diperbaiki dengan meningkatkan ekspor. “Situasi seperti ini harusnya kita melakukan konsolidasi untuk meningkatkan ekspor, karena saat rupiah melemah yang diuntungkan adalah ekspor,” ujarnya.  

Pengamat ekonomi UI Telisa A.Falianty mengatakan, meski karena faktor global, tapi yang lebih dominan terdepresiasinya rupiah yang sudah sangat dalam karena fundamental makro ekonomi nasional yang sangat lemah, BI tidak bisa mengintervensi rupiah terus-menerus, tapi hanya sebatas mengurangi volatilitas.

Dalam kondisi rupiah yang menembus batas psikologis baru yakni di atas Rp 13.000 per dollar AS,  BI belum melakukan stress test level atau pengujian berkala level rupiah. “Saat rupiah berada di level Rp12.000, BI masih menyatakan jauh dari krisis. Padahal, pelemahan rupiah yang terjadi terus-menerus ini perlu diwaspadai dan sudah dalam kondisi ke hati-hatian” tegas dia.

Oleh karenanya, perlu upaya konkret BI seperti mengubah kebijakan DHE ini agar cadangan devisa negara bisa terjaga untuk beberapa bulan ke depan. Karena jika tidak, rupiah bakal terus terdepresiasi dikhawatirkan akan masuk dalam jurang krisis seperti tahun 1998 lalu. “Harus ada langkah dari BI untuk mengantisipasi gejolak rupiah yang terus kian terdepresiasi,  karena jangan sampai masuk ke jurang krisis” tuturnya. iwan/agus/bari/mohar

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…