Indonesia (Bukan) Negara Agraria - Oleh: Saiful Anwar, Peneliti Muda di School of Islamic Economic Monash Insitute dan Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata IAIN Walisongo Semarang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan luas dan keanekaragaman hayati. Hal tersebut sangat memungkinkan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agraria terbesar sedunia. Di negara agraris seperti Indonesia, pertanian merupakan kontributor penting dalam perekonomian masyarakat diberbagai wilayah Indonesia. 

Dari sektor pertanian sendiri, mampu memberikan peran tambahan dalam peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, yang sebagian besar merupakan rakyat miskin. Karena, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang hidup dari hasil bercocok tanam dan bertani. Berdasarkan data BPS tahun 2002, Bidang Pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi petani sekitar 44,3 persen penduduk, dengan menyumbang sekitar 17,3 persen dari total pendapatan domestik bruto. 

Namun, dengan bertambahnya populasi penduduk yang semakin pesat saat ini, mengakibatkan lahan pertanian Indonesia semakin menyempit. Berdasarkan data yang diperoleh Badan Statistik Indonesia (BSI)  menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, penyusutan lahan pertanian saat ini mencapai sekitar 5 juta hektar. Lahan yang tersisa kini menghampar 26 juta hektar, termasuk lahar pertanian dan perkebunan (Suara Karya, Rabu, 11-02-15).

Selain itu, hasil dari data Kementriaan Pertanian (KP), saat ini konversi lahan pertanian kurang lebih mencapai 140 ribu hektar per tahun untuk berbagai kepentingan. Penggunaan lahan pertanian tersebut digunakan pada pembangunan infrastruktur, pariwisata, dan perumahan. 

Adanya konversi lahan besar-besaran tersebut akan menimbulkan dampak berkurangnya produksi pangan di Indonesia. Penggunaan lahan pertanian tersebut juga berdampak pada hilangnya sumber kehidupan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap petani. Anehnya, dengan bertambahnya para ahli di bidang pertanian saat ini, seharusnya pemerintah mampu memberikan kesejahteraan terhadap rakyat, bukan sebaliknya malah membuat kondisi pertanian semakin memprihatinkan. 

Hal ini terlihat pada peningkatan kebutuhan pokok masyarakat yang berasal dari negara lain. Dalam setengah dekade terakhir, jumlah bahan pangan yang diimpor meningkat 60,03 persen dari 12,36 juta ton menjadi 19,78 juta ton. Bahan pangan yang diimpor ini meliputi; seluruh kebutuhan pokok, termasuk sapi dan daging. Hal ini menyebabkan habisnya devisa yang tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama satu dekade sejak tahun 2003 nilai impor aneka bahan pangan itu naik empat kali lipat dari US$ 3,34 miliar menjadi US$ 14,90 miliar (Suara Karya, Rabu, 11-02-15).

Paradigma Industri

Keberadaan lahan pertanian Indonesia sungguh sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah yang selama ini belum becus menangani permasalahan ekonomi dalam sektor pertanian. Jika ditelisik lebih dalam, maka setidaknya ada faktor yang menyebabkan pemerintah meninggalkan peran penting terhadap agraria negara. Yaitu, tidak adanya langkah konkrit dari pemerintah dalam memajukan ekonomi dalam sektor pertanian. Ditambah banyaknya perusahaan yang dilema untuk menjadi industry country.

Namun, tampaknya angan-angan tersebut perlu dikaji ulang dalam merealisasikannya. Memang, secara fisik Indonesia memiliki potensi yang besar. Tapi, secara mental hal tersebut haruslah dipertanyakan. Melihat sumber daya yang melimpah, dari Sabang sampai Merauke, modal fisik Indonesia untuk menjadi negara industri sangatlah terjamin. Dengan hasil tambang yang melimpah ruah seperti emas, perak, dan batu bara. Laut dengan bermacam hasilnya, serta limpahan kekayaan alam lainnya. Kemudian, tenaga kerja yang tidak perlu untuk dipertanyakan, mengingat jumlah penduduk Indonesia lebih dari 200 juta orang di semua sektor  tenaga tersedia. Dari sektor kelas bawah meliputi;kuli dan buruh, hingga sektor kelas atas yaitu insinyur dan tenaga kerja ahli. Namun, dibalik kelebihan modal fisik yang dimiliki diberbagai perusahaan seluruh Indonesia, terdapat modal yang tidak dimiliki bangsa ini. Yaitu, Etos kerja dan mentalitas.

Pertama, etos kerja yang lemah biasanya menjadikan suatu bangsa malas untuk bekerja keras. Sedangkan kerja keras merupakan kunci penting untuk meraih keberhasilan dalam membangun negara industri. Coba kita bercermin pada Jepang. Negara Jepang merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan hal ini. Dengan etos kerja yang mereka miliki, dalam beberapa dekade mereka mampu menjadi negara industri yang mumpuni. Lihat saja barang-barang hasil industrinya, hampir semua tempat terdapat barang buatan mereka. 

Kedua adalah mentalitas. Dengan mentalitas masyarakat yang sudah terlalu candu konsumerisme, maka untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara industri adalah hal yang mustahil. Jadi, solusi sederhananya untuk berubah mejadi negara industri, terlebih dahulu merubah pola pikir bangsa.

Sebuah bangsa yang terisi dengan masyarakat konsumer, akan selalu menjadi negara konsumen. Karena, pola pikir mereka telah dipenuhi dengan keinginan praktis dengan memilih menjadi manusia konsumtif dari pada manusia produktif. Dengan kondisi seperti ini tentu upaya dalam mewujudkan negara industri akan sulit dilakukan. Kesimpulannya, jika Indonesia ingin menjadi negara produktif, maka dibutuhkan etos kerja yag tinggi dan mental yang kuat. Apabila hal tersebut tetap bertahan pada diri bangsa, maka siapkanlah diri kita untuk menjadi negara terbelakang.

Kasual negara agraris, merupakan salah satu pilihan setelah melihat serta merasakan bahwa Indonesia belum mampu mewujudkan harapannya menjadi negara industri. Tapi, sebuah perubahan tetap terus dilakukan. Tentunya, bagi kita tidak mau hidup dalam kondisi negara yang seperti ini. Di mana kesenjangan sosial begitu banyak, kemiskinan merajalela, dan pengangguran terus bertambah. Maka dari itu, sebagai masyarakat yang sudah memiliki kodrat untuk hidup bergantung pada hasil tani, hendaknya kesempatan ini harus dilakukan secara lebih baik dan optimal. Karena, kembali pada basis utama pertanian tentu bukanlah pilihan yang buruk.

Lebih ditekankan, seharusnya pemerintah memfokuskan terhadap pengolahan di bidang pertanian. Sebab, di saat bangsa ini diselimuti candu konsumerisme, petanilah yang masih memiliki etos kerja dan mentalitas yang tinggi. 

Dengan mengangkat derajat petaninya maka negara ini akan berhasil mewujudkan kesejahteraan bangsa (gemah limpah loh jinawe). Selain itu, pemerintah wajib menjaga agraris negara Indonesia. Seperti yang termaktub dalam hukum tanah, tertulis kewajiban pemerintah untuk menjaga agraria. 

Dicatatkan dalam Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960. Agaria merupakan hak mutlak (absolute rechten) bagi pemerintah untuk menangani tugasnya dalam wewenang agraria. Sebab, peraturan agraria termasuk hukum administrasi negara, di mana hukum tersebut merupakan hukum yang memiliki peran penting dalam mengatur kesejahteraan negara untuk masyarakat kedepannya. Wallahu a’alam bi al-Sowab. (analisadaily.com)


 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…