Penilaian Pengamat - Renegosiasi Kontrak Tambang Lecehkan Negara

NERACA

Jakarta - Pengamat pertambangan dari Institut Pertanian Bogor, Lukman Malanuang menilai renegosiasi kontrak karya pertambangan (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang saat ini dilakukan oleh pemerintah dengan perusahaan pertambangan justru melecehkan negara. Pasalnya, renegosiasi itu mensejajarkan posisi negara dengan perusahaan tambang.

"Posisi negara harus lebih tinggi dari perusahaan tambang, jadi  KK dan PKP2B seharusnya langsung disesuaikan sesuai yang dikendaki oleh negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 169 huruf B UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Butabara (UU Minerba)" tegas Lukman dalam diskusi PUSHEP bertema Aspek Hukum Renegosiasi Kontrak Pertambangan, di Jakarta, Jumat  (6/3).

Ditegaskan Lukman,  saat ini renegosiasi harus dihentikan karena tidak sesuai dengan UU Minerba. UU ini hanya memberikan waktu selama 1 tahun paska diberlakukannya pada 12 Januari 2009. Jadi, kata ia,  setelah 12 Januari 2010 seharusnya renegosiasi yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan dan amanat undang-undang. "Hasil renegosiasi tersebut juga patut dipertanyakan dari sisi legalitasnya karena sudah tidak berdasar hukum," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, memepertanyakan lambatnya Pemerintah mengurus renegoisasi. Masak, sudah 6 tahun lebih UU Minerba berlaku, baru 1 perusahaan dari 107 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sudah tuntas renegosiasinya.

Pemerintah, kata ia, harus jelas apakah bisa menyelesaikan renegosiasi ini dengan waktu yang secepatnya atau sudah menyerah dan menyatakan gagal. "Tata kelola pertambangan saat ini harus dengan sistem izin yang lebih sesuai dengan Pasal 33 Konstitusi UUD 1945," tukasnya.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak Pemerintah untuk segera menuntaskan proses renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan Mineral dan Batubara secara transparan dan akuntabel. Koordinator nasional PWYP Maryati Abdullah menjelaskan bahwa proses renegosiasi kontrak karya pertambangan merupakan salah satu konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

"Renegosiasi tersebut terutama menyangkut 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajian divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasapertambangan dalam negeri," jelas Maryati.

Sesuai dengan ketentuan peralihan dari UU Nomor 4/2009, lanjut Maryati, penyesuaian tersebut harus dilakukan dalam maksimal 1 (satu) tahun, kecuali mengenai kewajiban pemurnian yang diberi waktu hingga maksimal 5 (lima) tahun sejak peraturan tersebut diundangkan.

Maryati menilai pemerintah harus secara transparan menyampaikan kepada publik perkembangan hasil-hasil renegosiasi tersebut, termasuk memaparkan alasan dan kendala kenapa target tersebut tidak tercapai. "Salah satu proses renegosiasi yang menjadi sorotan publik saat ini adalah PT. Freeport Indonesia," ujar Maryati.

Perusahaan pemegang kontrak karya yang akan berakhir tahun 2021 tersebut baru saja mendapat perpanjangan ijin ekspor konsetrat, meskipun tidak menunjukkan kewajiban signifikan dalam memenuhi kewajiban pembangunan smelter sebagaimana terdapat dalam MOU yang berakhir 24 Januari 2015 kemarin. "Pemerintah juga harus memperhatikan concern Pemerintah Daerah terkait keinginan agar pabrik smelter PT. Freeport dibangun di Papua," lanjut Maryati.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta perlu meninjau kembali UU Minerba 2009 agar pemerintah tidak salah langkah dalam melakukan renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang.

Ketua Komisi VII DPR-RI Kardaya Warnika menyatakan, Indonesia adalah negara hukum, maka undang-undangnya harus diperbaiki agar semua keputusan tidak bertabrakan dengan hukum. “Jangan sampai kita menjadi sorotan negara lain kalau kita melangar undang-undang yang kita sepakati bersama,” tambahnya.

Menurutnya, renegosiasi yang dilakukan tidak berdasarkan UU Minerba 2009 serta tidak mempunyai dasar hukum. Dalam UU Minerba Tahun 2009 pasal 69 butir A dan B disebutkan bahwa renegosiasi kontrak pertambangan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba ditetapkan pada 2010.

Kardaya menegaskan, renegosiasi kontrak pertambangan bagi perusahaan tambang mineral dan batubara yang diselesaikan setelah 2010 adalah tidak sah. Kardayapun menjelaskan, hanya satu dari 108 perusahaan mineral dan batubara yang melakukan renegoisasi sesuai dengan UU Minerba 2009 yaitu PT Vale Indonesia.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…