Negara Terjerat Utang

Ketika perekonomian dunia sedang terguncang, resesi global seolah bukan lagi cerita baru.   Sejumlah beberapa negara besar seperti Jepang, Tiongkok, Eropa sekarang lagi terpukul perekonomian domestiknya masing-masing. Sama halnya dengan ekonomi Indonesia juga mengalami perlambatan seperti terlihat dari angka pertumbuhan hanya 5,02% pada 2014, dan diprediksi tidak jauh berbeda pada 2015.

Negeri ini tampaknya mulai merasakan dampak ekonomi global, meski kondisi dalam negeri masih memperlihatkan ekonomi yang cukup memikat investor saham. Ini terlihat dari kinerja indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang masih di kisaran 5.400, laba bank-bank BUMN masih memikat. Kinerja finansial ini terbantu oleh suku bunga yang relatif masih tinggi. Sedangkan nilai kurs rupiah terhadap US$ sedang mengarah ke level Rp 13.000 di tengah membaiknya ekonomi Amerika Serikat belakangan ini.   

Potret Amerika Serikat boleh jadi gambaran menarik saat ini. Pasalnya, negara Paman Sam itu pernah gagal bayar utang hingga mencapai US$14,3 triliun. Hal itu nyaris sama dengan angka PDB sebesar US$14,8 triliun yang membebani setiap penduduk Amerika US$46,825, sedangkan bagi pembayaran pajak mencapai US$130.000 per kapita. Rasio utang AS pun terhadap PDB mencapai 98,5%, sedangkan penerimaan pajak hanya 30,5% dan pembelanjaan 46,5%. Jauh berbeda dengan kondisi Indonesia. Namun, ekonomi AS secara bertahap terus menguat setelah menggulirkan dana stimulus tahun lalu ke penjuru dunia, yang berakhir Oktober 2014.

Dari gambaran tersebut, ada hal yang menarik perlu diperhatikan, yaitu Amerika Serikat kini bukan lagi negara yang mendominasi finansial global, termasuk di dalam negeri. Untuk itu sudah saatnya Indonesia harus berani mereformasi kebijakan anggaran yang selama ini bersandar pada utang, bahkan perlu radikal melalui moratorium utang. 

Pasalnya, total utang Indonesia hingga Desember 2014 menurut data Kemenkeu adalah Rp 2.000  triliun lebih, meningkat cukup signifikan ketimbang posisi 2013 sekitar Rp 1.900 triliun. Namun rasio utang terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) saat ini masih berada kurang dari 30%.

Sayangnya, sebagian besar utang tersebut (80%) dipakai sebagai pengeluaran anggaran belanja rutin birokrasi seperti gaji pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan yang lebih tragis, utang dijadikan instrumen “bagi-bagi” uang para elit birokrat sehingga membuat postur APBN selalu defisit tiap tahunnya. Baru mulai APBN 2015 terjadi perubahan arah ke pembiayaan infrastruktur yang lebih dominan ketimbang belanja pegawai.

Jelas,  utang negara yang seharusnya seharusnya dimanfaatkan bagi efek peningkatan kesejahteraan rakyat malah berdampak ketidakniscayaan, malah membuat kondisi perekonomian negara selalu dalam keadaan memprihatinkan.

Bayangkan dengan kondisi  rasio utang AS yang mencapai 100% atas PDB, Yunani 117%, Italia 100%, bahkan Jepang yang mencapai angka 200%. Kendati demikian, kondisi utang negara kita lebih baik ketimbang negara lain jangan dijadikan alasan sebagai kebijakan budaya utang yang terus menerus.

Karena bila paradigma itu yang dipegang, maka yang terjadi ialah potensi multiplier effect penggerogotan anggaran dari kebijakan utang yang dilakukan secara masif. Seperti rutinitas pembayaran utang yang jatuh tempo serta bunga pinjaman. Hal ini akan sangat berbahaya bagi perekonomian dalam negeri.

Adalah perlunya langkah nyata evaluasi utang yang korelasinya dengan kesejahteraan yang masih langka perlu disikapi secara bijak oleh para petinggi negeri ini. Tidaklah berlebihan jika kebijakan restrukturisasi utang secara radikal patut terus disuarakan. Hal ini sebagai penegasan bahwa pengelolaan pasar keuangan dunia selama ini telah mendatangkan bencana ekonomi bagi negara lain.

 

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…