Lion Air atau "Lie On Air"? - Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari SH M.Kn, Pemerhati Sosial

Masih belum hilang dari ingatan kita soal preseden buruk kecelakaan pesawat AsiaAir yang mengguncang dunia penerbangan Tanah Air. Hal tersebut berdampak pada pembekuan penerbangan 61 pesawat dari beberapa maskapai penerbangan yang tak memiliki izin terbang oleh Menhub Ignasius Jonan

Kini kita dikejutkan lagi dengan episentrum gangguan penerbangan yang dialami maskapai lowcost carrier PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) sejak Rabu 18 Februari 2015 berupa penundaan waktu terbang hingga puluhan jam. Tercatat 567 PenerbanganLion Air menjadi terhambat sejak Rabu (18/2) pukul 17.00 hingga Minggu (22/2) pukul 12.00 WIB. Rute yang paling terdampak adalah Jakarta menuju Medan. Rute Jakarta-Medan dengan 20 penerbangan dalam satu hari. Selain itu, rute lain yang terkena dampak keterlambatan Lion Air adalah Jakarta-Lombok dan Jakarta-Bali.

Akibat dari insiden delay ini, ratusan penumpang berupaya menukarkan tiket (refund) dan membatalkan tiket di kantor Lion Air di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Ironisnya, rusaknya tiga pesawat tersebut tepat pada saat musim puncak libur tahun baru imlek sehingga muncul kecaman yang tak sedikit dari masyarakat.

Hingga saat ini para penumpang Lion Air masih menunggu kejelasan mengenai nasib perjalanan mereka. Dalam siara persnya, Lion Group beralasan tiga pesawat milik mereka terkena Foreign Object Damage (satu di Semarang dan dua di Jakarta) sehingga menyebabkan rentetan jadwal penerbangan Lion menjadi terganggu.

Pasca kemarahan penumpang Lion Air, beberapa fasilitas Bandara Internasional Soekarno-Hatta dirusaki oleh penumpang. Angkasa Pura II (AP II) selaku operator bandara merilis beberapa data kerusakan yang terjadi di Terminal 1 dan 3. Hingga 20 Februari, kondisi di bandara tak kunjung membaik. Penumpang Lion Air pun memblokir pintu masuk di Terminal 3. Ujungnya, AP II dan Otoritas Bandara Soekarno Hatta (Otban), serta Lion Air bertemu dan menandatangi kesepakatan penggunaan uang AP II untuk membayar pengembalian uang tiket (refund) dan kompensasi delay kepada penumpang. Diperkirakan kerugian materil sekitar Rp 100 juta harus ditanggung oleh manajemen Lion Air maupun pihak perusahaan asuransi.

Kini problem pelik lain mengikuti. Sejumlah pihak mulai mengkritisi langkah PT Angkasa Pura (AP) II yang menalangi refund tiket dan kompensasi calon penumpang Lion Air sebanyak Rp4 miliar. Langkah tersebut dinilai bisa jadi prseden buruk bagi BUMN lainnya. Mantan sekretaris menteri negara BUMN Said Didu mengatakan, AP II telah melakukan pelanggaran karena menyediakan dana talangan untuk penumpang Lion Air yang melanggar persetujuan pemegang saham. Sebab anggaran AD/ART suatu perusahaan non keuangan tidak dibolehkan memberikan dana talangan kemanapun.

Menurut Said, pelanggar an ini dapat dikenai sanksi pidana dan integritas direksi AP II perlu dipertanyakan karena mengeluarkan uang tanpa aturan. Anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, pemberian dana talangan Rp 4 miliar oleh PT AP II kepada Lion Air merupakan tindakan melanggar hukum.

Konon peristiwa yang mempermalukan industri penerbangan nasional ada kaitannya dengan manajemen Lion Air yang memiliki akses pendanaan hingga ratusan triliun rupiah. Jika faktor cuaca atau kerusakan pesawat yang dianggap memicu delay penerbangan, dapat dipastikan tak terlalu rasional, mengingat gangguan penerbangan telah terjadi nyaris massif.

Dugaan ini bisa saja menjadi benar, mengingat pasca-kejadian tersebut tak seorang pun direksi dan komisaris Lion yang segera muncul ke publik untuk menjelaskan apa sebenarnya terjadi dengan Lion Air. Ini menunjukkan prosedur respons darurat (emergency response procedure) saat terjadi kondisi darurat penerbangan yang dimiliki Lion Air begitu lemahnya.

Direktur Yayasan Konsumen Indonesia,Widijantoro, bahkan membandingkan sikap manajemen Lion Air yang serbatertutup dengan manajemen maskapai penerbangan lain yang langsung mengambil sikap ketika mengalami hambatan dalam penerbangan. Di negara lain, jika terjadi hambatan atau penundaan di dalam jadwal penerbangan lebih dari 12 jam, maskapai penerbangan bersangkutan akan segera mengevakuasi penumpang kehotel mewah.

Namun, di sini para maskapai penerbangan beruntung memiliki calon konsumen yang tidak terlalu rewel dan kritis dalam menuntut haknya ketika dirugikan. Paling-paling mereka hanya akan menuntut pengembalian uang tiket (refund). Artinya, perusahaan hanya mengembalikan uang dari penjualan tiket. Kecenderungan konsumen untuk bersatu dan menggalang dukungan untuk melakukan class action kepada pihak maskapai terutama Lion Air belum menjadi kesadaran yang penuh dan melembaga.

Apa yang Terjadi?

Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan manajemen Lion Air? Tentu hanya pihak manajemen yang tahu. Beberapa pihak mulai mengaitkan kemampuan ekspansi Lion Air dengan sikap dan kebijakan poemerintah yang memfasilitasi keberhasilan Lion Air dalam mengembangkan sayap bisnis penerbangannya. Apalagi keistimewaan ini terjadi di tengah merosotnya maskapai penerbangan nasional lainnya seperti Mandala, Merpati, Batavia, dan yang lainnya.

Kita tahu sejauh ini, Lion Air memiliki tiga masakapai penerbangan yakni Lion Air, Wings Air dan Batik Air. Di luar negeri, Lion Group sudah menjajaki sayapnya lewat Malindo Air dan Thailand, Thai Lion Air. Tak itu saja, Lion Air sedang menjajaki kemungkinan untuk membangun maskapai penerbangan baru di Australia dengan nama Australia Batik Air. Bagaimana mungkin kemampuan ekspansif secara fantastif ini bisa terjadi di depan wajah pengelolaan dan infrastruktur penerbangan nasional kita yang masih berantakan?

Berdasarkan laporan Centre For Aviation, pada 2014 lalu, Lion disebut-sebut menjadi maskapai yang spesial karena memiliki kapasitas angkut paling besar di antara maskapai lain di kawasan Asia Tenggara dengan jumlah 1.058.000, disusul Garuda Indonesia: 557.922; AirAsia : 543.240; Malaysia Airlines : 524.369; Thai Airways : 493.138; Singapore Airlines : 473.605; Vietnam Airlines : 407.767; Cebu pacific Airlines : 377.201; Thai Airasia :281.520.

Chief Executife Lion Air Group, Rusdi Kirana dalam wawancaranya dengan Flight Global, bahkan mengakui bahwa perusahaan yang didirikannya telah mencapai keuntungan yang tak sedikit yakni sekitar 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan Garuda Indonesia. Sayangnya menurut laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lion Air disebut sebagai maskapai yang paling dikomplain masyarakat, sepanjang 2014 lalu dengan 24 aduan, disusul Tiger Mandala Air dan AirAsia Indonesia di peringkat kedua terbanyak sebagai maskapai yang diadukan masyarakat ke YLKI, masing-masing 6 aduan.

Sanksi Tegas

Pemerintah sebagai regulator sudah selayaknya memberi sanksi keras dan tegas kepada Lion Air karena terbukti tak memedulikan hak-hak konsumen publik untuk memperoleh jasa pelayanan penerbangan yang berkualitas. Teguran dan sanksi dimaksudkan ini bukan sekadar respons belaka namun semata-mata untuk memberikan efek jera kepada maskapai penerbangan yang lebih mementingkan prospek bisnis dari pada kinerja melindungi keselamatan penumpang.

Apalagi dalam dunia penerbangan, nilai disiplin terhadap aturan yang berlaku dan prinsip tranparansi adalah sebuah keniscayaan. Sebagai maskapai yang terhitung besar, Lion Air seharusnya mampu membuktikan bahwa pelayanan yang prima dan penuh disiplin adalah harga mati sehingga plesetan Lion : Late Is Our Nature atau Lie On Air tak terus mencoreng wajah bisnis dirgantara nasional kita.

Sebuah catatan pengujung yang tak boleh dilupakan bahwa Indonesia sampai saat ini masih menjadi bagian dari kelompok negara-negara yang dinilai lemah dalam pemenuhan standar keselamatan penerbangan sipil internasional. Karenanya tugas negara (pemerintah) untuk segera secara serius meregulasi kebijakan dan prosedur serta kontrol penerbangan nasional yang memenuhi azas-azas pelayanan publik dan memiliki karakter dasar pelayanan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. (analisadaily.com)

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…