MENTERI PERDAGANGAN DITUDING BERAMBISI BESAR - Jangan Mimpi Ekspor Naik 300%

Jakarta – Kalangan akademisi dan Kadin Indonesia menilai ambisi pemerintah ingin mengerek ekspor 300% hingga 2019 seperti dikatakan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel, adalah hal yang kurang realistis dan tidak terukur. Pasalnya, saat ini kondisi sejumlah harga komoditas ekspor sedang menurun di tengah pelemahan ekonomi global yang tidak menentu saat ini.

NERACA
 
Pengamat ekonomi UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, target yang diusung oleh Mendag  Rahmat Gobel yaitu meningkatkan ekspor hingga 300% pada 2019 sebagai hal tidak masuk akal dan tidak berdasarkan data yang faktual. Dalam proyeksi ekspor dan impor Indonesia yang disusun Kementerian Perdagangan (Kemendag), menurut dia,  target ekspor tersebut tidak berdasarkan pemahaman data yang baik dan benar.

“Bisa dibayangkan target ekspor kita harus mencapai 28% tiap tahunnya untuk mencapai 300% pada lima tahun ke depan, sedangkan ekspor di dunia paling tinggi hanya mencapai 3,8%. Bagaimana Indonesia bisa mencapainya dalam waktu lima tahun ke depan, hal ini tidak mungkin bisa terealisasikan,” ujarnya kepada Neraca, Selasa (24/2).

Menurut dia, pernyataan Mendag mengenai target ekpsor ini mungkin saja untuk menambah tingkat optimisme masyarakat atas nilai ekspor Indonesia, namun hal ini merupakan kebijakan yang tidak bijak. Kemudian apabila target ekspor ini tidak tercapai maka tidak ada kewajiban untuk memberikan punishment atau hukuman kepada pembuat kebijakan.

“Oleh karenanya, para menteri pemerintahan ini harus mempertimbangkan segala sesuatunya dalam mengambil kebijakan ekonomi melalui data yang faktual dan akurat,” kata Eugenia.

Dia mengingatkan, kalangan menteri ekonomi dalam pemerintahan kali ini tidak mempunyai satu visi atau tujuan yang sama sehingga terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan program kementeriannya. Misalkan saja, dalam menunjang atau meningkatkan ekspor maka diperlukan kebijakan yang mendukungnya seperti kebijakan penekanan impor dari kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian bekerja sama erat dengan Kemendag.

Dalam meningkatkan ekspor, kata dia, pemerintah harus menjaga stabilitas rupiah supaya menumbuhkan pertumbuhan ekonomi. Memang dalam menjaga stabilitas rupiah merupakan tugas dari bank sentral, namun pemerintah harus memberikan kontribusi yang besar melalui program-program kementeriannya.

“Melalui sinergi yang baik antara pemerintah dan bank sentral maka bisa menstabilkan nilai rupiah sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat dan otomatis bisa menunjang produk-produk ekspor dalam negeri yang bermutu dan berkualitas,” ungkap Eugenia.

Namun Rahmat Gobel tetap merasa optimis bahwa target ekspor naik 300% bisa diraih pada 2019. Padahal fakta lima tahun belakangan, ekspor terbesar terjadi pada 2011 senilai US$ 203,5 miliar.Selanjutnya  2012 menyusut 6,6% menjadi US$ 190,02 miliar. Pada 2013, nilai ekspor yang diharapkan naik malah melorot 3,9% senilai US$ 182,6 miliar, dan pada 2014, kembali tergerus 3,4% menjadi US$ 176,3 miliar.
 
Tentu saja, penurunan nilai ekspor itu, dipicu banyak faktor. Khususnya suasana perekonomian global yang tidak menentu saat ini. Khususnya di beberapa negara tujuan ekspor seperti Tiongkok, Jepang dan India, mengalami pelemahan ekonomi.  Walhasil, menggerus nilai ekspor Indonesia.
 
Karena itu, rasanya sangat sulit bagi pemerintah menyulap data ekspor dari US$ 176,3 miliar (2014) menjadi US$ 528,9 miliar pada 2019. Apalagi kata ekonom UI Faisal Basri,  di saat ekonomi dunia remuk redam, jangan harap bisa meraih angka sebesar itu. Karena dalam lima tahun terakhir, ekspor migas mengalami penurunan signifikan. 

Koordinasi Antar Kementerian

Guru besar ekonomi Unpad Prof Dr Ina Primiana menilai target yang diusung oleh Mendag yaitu ekspor akan akan meningkat sebesar 300% di 2019 terlalu berambisi jika tidak dibarengi dengan perbaikan-perbaikan di dalam negeri. Pasalnya, masih banyak hal yang membuat sektor rill dalam negeri susah berkembang sehingga sulit untuk menembus pasar ekspor.

“Bisa saja itu tercapai asalnya seluruh kebutuhan sektor rill dalam negeri bisa dipenuhi dengan baik oleh pemerintah. Karena selama ini sektor rill masih terkendala soal infrastruktur, perizinan, pengupahan, bahan baku, pasar, energi dan tenaga kerjanya. Ketika semua itu telah dibenahi maka saya rasa akan mungkin tercapai. Namun jika sebaliknya maka target itu terlalu berambisi,” ujarnya.

Selain masalah tersebut, ia juga berharap agar koordinasi antar kementerian-lembaga (K/L) juga perlu dibenahi karena urusan sektor rill dan dunia usaha bukan semata urusan dari Kementerian Perdagangan namun juga menyangkut kementerian lainnya seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Koperasi dan UKM maupun Badan Ekonomi Kreatif. “Jadi sinergi antar lembaga itu dibutuhkan untuk mendukung target tersebut,” jelasnya.

Tak menampik negara tujuan ekspor yang juga menjadi kendala dalam mencapai target tersebut, Ina mengatakan agar Kemendag bisa menggarap negara tujuan ekspor  non tradisional yang mempunyai potensi yang besar. Karena menurut dia, masih banyak negara-negara seperti di Amerika Selatan, Timur Tengah maupun Eropa bagian Timur yang belum tergarap dengan baik.

“Perlu berdayakan duta besar dan atase perdagangan yang ada disetiap negara. Cari kira-kira produk apa yang tidak bisa dipenuhi di negara tersebut namun bisa diproduksi di Indonesia dengan mengandalkan sumber daya alam (SDA) yang Indonesia miliki. Dengan begitu maka target tersebut akan tercapai,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani mengatakan untuk mengatasi ekspor dalam negeri yang sedang mengalami penurunan saat ini, pemerintah harus menyiapkan beberapa strategi. Salah satu yang terpenting adalah strategi pendekatan pasar.

"Ada empat hal yang haris diperhatikan dalam pendekatan pasar. Pertama mempertahankan pasar yang telah dibangun sebelumnya. Meningkatkan ekspor produk bernilai tambah di pasar tersebut. Kemudian membuka pasar baru dengan membuka akses pasar dan menahan penurunan ekspor ke negara utama,"ujarnya, kemarin.

Menurut Hariyadi strategi itu juga tak akan jalan jika tidak disokong oleh faktor kunci keberhasilan, yaitu menjadikan target ekspor sebagai komitmen nasional yang melibatkan seluruh stakeholders, baik pemerintah pusat, daerah maupun pelaku usaha.

"Selain itu, perubahan struktur ekspor menjadi produk manufaktur juga harus dilaksanakan. Pasalnya, Iklim investasi yang kondusif melalui perbaikan sistem perburuhan dan tata ruang daerah juga diperlukan untuk meningkatkan produktivitas nasional dan mengembangkan industri penunjang. Yang tidak kalah penting adalah menjamin ketersediaan bahan baku dan penolong serta suplai energi untuk industri,"paparnya.

Lebih jauh lagi Haryadi menyatakan bahwa Indonesia masih belum lepas dari citra negara high cost sehingga biaya investasi menjadi mahal. Pasalnya, sering kali investor mendapat kesulitan seperti masalah lahan atau aturan yang tumpang tindih. Di sisi lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak kompak.

Sementara, gencarnya promosi yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menurut dia, sifatnya lebih kepada menarik investor. Namun masalah sering kali muncul justru setelah invetor menanamkan modalnya. Ini dipicu karena pemerintah pusat dan pemda terlihat berjalan masing-masing. Inilah yang sering kali dikeluhkan investor.

"Berdasarkan peringkat Doing Business Bank unia, kita masih sangat jelek. Daya saing kita juga tidak bagus-bagus amat. Kalau tidak ada koordinasi yang bagus, image-nya jelek. Jadinya investor kapok kembali ke Indonesia," ujarnya. bari/iwan/agus/mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…