Dalam mata kuliah berjudul: “ Manajemen Investasi “, Sunariyah ( 2003:4) menyebut investasi sebagai penanaman modal (berjangka waktu panjang) untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan diharapkan kelak akan mendapatkan keuntungan.
Sehingga guna meningkatkan perekonomian negaranya para pemimpin negara melakukan kebijakan mengajak/membujuk para (calon) investor, lokal terutama asing, untuk berinvestasi di negaranya.
Kebijakan investasi pada sebuah negara, selain mendorong kegiatan peningkatan pembangunan , penyerapan tenaga kerja, meningkatkan devisa dan lain-lain, secara ekonomis juga menguntungkan hingga ke peningkatan pendapatan nasional.
Dimana kegiatan investasi dan pembangunan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab pembangunan tanpa kegiatan investasi akan membuat perekonomian suaatu Negara akan mengalami kemunduran, minimal stagnan.
Secara teoritik dan praktik, semakin besar kegiatan investasi di suatu negara maka akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi negaranya.
Sehingga hal wajar jika di berbagai forum internasional para pemimpin negara, terutama negara sedang berkembang, berlomba-lomba mengajak/ membujuk dan meyakinkan para pelaku usaha (local dan asing) untuk berinvestasi di negaranya melalui berbagai promosi dan janji-janji kemudahan, kemurahan terutama dalam hal perijinan.
Sebagaimana dilakukan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) melalui janji kemudahan berinvestasi di Indonesia pada pertemuan puncak CEO Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 8 November 2014 lalu.
Dihadapan sekitar 1.500 delegasi dan 500 pemimpin perusahaan ternama dunia mengajak untuk (segera) berinvestasi di Indonesia dengan janji akan memberikan berbagai kemudahan.
Kemudahan perijinan, pembebasan lahan, ketersediaan infrastruktur dan jaminan keamanan. Sembari meyakinkan melalui pemberian angka-angka yang jelas tentang target yang akan dicapai dan yang dibutuhkan.
Menanti Realisasi Janji Investasi Jokowi
Pidato Presiden di KTT APEC 2014 yang akan membukakan pintu selebar-lebarnya bagi para (calon) investor asing berinvestasi di Indonesia menuai kritisi, diantaranya dari wakil ketua DPR Fahri Hamzah.
Mengatakan isi pidato Presiden Jokowi tidak ada yang luar biasa. Bukan hal baru dan wajar saja jika seorang presiden mengajak negara/lembaga asing untuk berinvestasi terutama diforum-forum internasional.
Rezim-rezim sebelumnya juga pernah melakukan hal serupa. Tapi fakta menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan. Semisal, investor minyak dan gas masih harus menunggu berbulan-bulan lamanya guna dapat memuluskan usahanya di Indonesia
Menurut Fahri, APEC tak boleh dipandang hanya sebagai ajang membuka investasi. Hal yang perlu dan esensial yakni mewaspadai isu-isu keamanan wilayah, seperti batas wilayah dan garis pantai.
Memang Indonesia butuh investasi namun haruslah menguntungkan rakyat. Sebagaimana diketahui di 2012 Indonesia pernah mencapai investment grade ( utang pemerintah/swasta memiliki risiko rendah dari peluang gagal bayar ) dimana secara teoritis kepercayaan investor diyakini akan bertambah.
Namun ternyata peringkat investment grade tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan kepercayaan investor. Keluhan akan kemudahan dan kepastian berinvestasi bukannya makin hilang, melainkan kian bertambah.
Sehingga berharap ditangan Presiden Jokowi- Wapres Jusuf Kalla (JK) , dengan bermodal mantan pengusaha , berbagai keluhan dan belitan prosedur berinvestasi bisa diurai dan diakhiri.
Jokowi pernah punya kisah sukses dalam melakukan perbaikan ekonomi semasa menjabat walikota Solo dan gubernur DKI. Sementara JK sebelumnya pernah menjabat Wapres ( 2004-2009 ) , sehingga diyakini keduanya sudah memiliki kiat jitu untuk bagaimana mengatasinya.
Apalagi kini keduanya sudah menggenggam modal kepercayaan tinggi dari masyarakat dan dunia internasional sehingga optimisme para investor asing bersedia berinvestasi di bumi pertiwi dapat terealisasi.
Hanya saja kemungkinan upaya tersebut bakal terkendala jika jajaran di bawahnya tidak mampu bergerak cepat atau bahkan menghalang-halangi laju percepatan investasi karena ada benturan kepentingan (conflict of interest ).
Sehingga kunci utama merealisasi investasi , seluruh jajaran pemerintahan dalam “kabinet kerja” mesti punya satu pemikiran bahwa kampanye terbaik bagi dunia usaha adalah merealisasi janji (bukti) di lapangan, tidak sekadar teoritik dan retorik.
Karena jika hal tersebut tidak dapat terlaksana , maka bukan semata predikat Indonesia sebagai “negara pembual” saja yang akan sulit dilepas, melainkan upaya menggapai kepercayaan investor asingpun bakal kian jauh panggang dari api.
Termasuk tegas menghindarkan diri dari jeratan tarik menarik kepentingan ekonomi negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, RRT dan Rusia. Kecuali jika integrasi ekonomi negara-negara tersebut memang telah memberikan kontribusi / manfaat nyata (menguntungkan) bagi perekonomian Indonesia.
Mengambil contoh bahwa sektor (primadona) yang gencar dipromosikan presiden adalah kemaritiman , mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan.
Dimana sebagai negara maritim ternyata terdapat data memiriskan. Potensi hasil laut Indonesia per tahun yang berjumlah Rp. 363 triliun , yang baru bisa dinikmati hanya Rp. 63 trilun setiap tahunnya.
Sehingga kedepan , berharap raihan potensi hasil laut tersebut dapat dimaksimalisasi , antara lain dengan memberantas mafia kelautan dan perikanan serta konsisten menenggelamkan setiap kapal asing pencuri ikan di laut Indonesia.
Juga pelabuhan yang tersedia saat ini di Indonesia dinilai secara kuantitas masih terlalu sedikit dan kurang berkualitas pula.
Padahal pembangunan pelabuhan untuk dapat menggapai investasi melalui tol laut setidaknya membutuhkan 24 deep seaport untuk melayani sekitar 17 ribu pulau di nusantara.
Keberadaan pelabuhan bertujuan membantu tol laut ( sistem transportasi laut) agar biaya perpindahan barang dan jasa melalui laut ( antar pulau ) semakin murah dan efisien.
Presiden Jokowi juga mengharapkan para pengusaha nasional untuk bersedia membantu pembangunan sistem transportasi massal ( khususnya laut ) di beberapa kota ( besar ) seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, Bandung, Manado, Ambon, Jayapura , Sorong dan lain-lain.
Dimana bilamana upaya ini dapat terealisasi dus para investor asing beramai-ramai berinvestasi ke Indonesia di 2015 ini , tentu selain akan menyerap tenaga kerja lokal, optimistis akan meningkatkan perekenomian/keuangan dan pendapatan nasional secara signifikan.
Juga diyakini akan mengurangi dampak “fenomena liar” fluktuasi nilai tukar rupiah yang lebih sering melemah ketimbang menguat terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat. (analisadaily.com)
Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…
Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…
Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…
Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…
Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…
Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…