Waspadai Turbulensi Global

Sebagai negara berkembang yang atraktif, Indonesia menikmati masuknya uang panas (hot money) itu. Pasar modal lokal kebanjiran dana jangka pendek karena mampu memberi imbalan (yield) yang tinggi. Beberapa tahun terakhir ini Bursa Efek Indonesia (BEI) mampu menjadi salah satu pasar modal yang paling menarik di Asia Pasifik.

Namun, sekarang kondisi mulai berubah. Perekonomian AS terus cenderung membaik. Gubernur Bank Sentral AS Janet L. Yellen melihat saatnya stimulus moneter yang sudah dikeluarkan untuk ditarik kembali. Sinyal untuk melakukan tappering off sudah disuarakan sepanjang 2014 dan berakhir di Oktober silam.

Rencana penarikan stimulus moneter membuat orang berancang-ancang kembali ingin membeli greenback sebagai safe heaven. Itulah yang membuat US$ terus menguat terhadap semua mata uang dunia. Semua itu mengajarkan kepada banyak pihak bahwa tidak pernah ada yang linier dalam ekonomi.

Namun selalu ada siklus dan semua pihak dituntut untuk pandai-pandai membaca situasi dan kecenderungan yang akan terjadi ke depan. Semua pihak mengakui bahwa penguatan US$ didorong kinerja perekonomian AS yang cemerlang hingga tahun ini, diikuti rencana penaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate pada pertengahan 2015.

Meski penyebab utamanya merupakan faktor eksternal, tapi bukan berarti perekonomian nasional bakal aman-aman saja. Efek berantai dikhawatirkan akan timbul dan bisa memperlemah ekonomi Indonesia. Salah satu yang membuat posisi Indonesia rawan ialah besarnya nilai utang luar negeri (ULN) swasta dalam bentuk valuta asing yang melampaui ULN pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

Impor bahan baku dan penolong juga bakal terpukul jika dolar AS terlalu kuat terhadap rupiah. Ironisnya, nilai tukar rupiah yang terlampau lemah akan memicu kegagalan korporasi swasta dalam membayar ULN tadi karena terjadi risiko currency mismatch. Anjloknya rupiah secara tajam juga membuat pelaku pasar agak panik. Maka, menjadi tugas BI bersama pemerintah untuk meyakinkan pelaku pasar bahwa pelemahan rupiah tidak akan berlangsung lama atau temporer, sebagaimana kerap didengungkan otoritas moneter.

Di sini pula kreativitas pemerintah mengantisipasinya diuji. Intinya, potensi pelemahan rupiah lebih lanjut harus bisa diredam.  Pemerintah harus mampu menemukan cara untuk menghasilkan pemasukan dalam bentuk dolar AS demi memperkuat cadangan devisa. Misalnya, melalui dorongan ekspor, entah bagaimana caranya, sebagai langkah yang memang seharusnya ditempuh. Maklum, nilai tukar rupiah yang lemah membuat produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Namun, upaya menggenjot ekspor tidak akan maksimal jika pemerintah tidak menyertainya dengan penghapusan hambatan-hambatan ekspor. Pemilihan negara tujuan ekspor pun harus dilakukan secera cerdas karena sejumlah negara sedang mengalami perlambatan ekonomi.

Sebab itu, pemerintah harus agresif memangkas berbagai kendala investasi demi menyedot lebih banyak investasi asing langsung (foreign direct investment-FDI). Makin banyak modal asing masuk, makin kuat rupiah kita. BI dan pemerintah tidak boleh hanya berdiplomasi bahwa pelemahan rupiah juga diikuti mata uang negara-negara lain. Lebih penting bagi BI dan pemerintah adalah memantau, mengawasi dan mengambil langkah antisipasi untuk kembali memperkuat rupiah agar stabil.

Memang upaya pemerintah dan otoritas moneter yang kompak dalam menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kian dalam mendapat apresiasi pelaku pasar. Secara bertahap kurs rupiah sudah mengarah kembali ke kisaran Rp12.600 per US$. Namun belakangan berfluktuasi terus mendekati kisaran Rp12.700-Rp 12.800 per US$.

Respon yang dilakukan BI dengan menurunkan BI Rate perlu terus dipertahankan bahkan penurunan akan terus berlanjut, ini sebagai upaya strategi pemerintah untuk memberi perhatian terhadap depresiasi rupiah. Artinya, dengan nilai rupiah melemah diharapkan harga produk Indonesia mampu bersaing di ASEAN.

Di sisi lain, BI telah membeli surat berharga negara (SBN) sekitar Rp2 triliun untuk meredam gejolak rupiah di pasar keuangan, ini berarti menambah intensitas intervensi di pasar valuta asing secara terukur. Dengan dua jurus penyelamat tadi, BI berharap pelemahan rupiah cepat ditangkal dan berbalik ke posisi fundamentalnya. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…