Gunakan Kayu Ilegal, Negara Rugi Rp55 Triliun

NERACA

Jakarta – Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan, Grahat Nagara menyebutkan bahwa industri kehutanan Indonesia masih kerap menggunakan kayu ilegal sehingga dari perbuatan tersebut ada potensi kerugian yang dialami oleh negara. "Jika dikalkulasi sejak 1991-2014 jumlah kesenjangan volume kayu sebesar 219 juta meter kubik dengan kerugian negara mencapai Rp55 triliun," ungkap Grahat, seperti dikutip Selasa (17/2).

Ia juga memaparkan dalam lima tahun terakhir ada indikasi industri kehutanan menggunakan pasokan kayu dengan lebih dari 25% berasal dari sumber yang ilegal. Dari analisis data persediaan kayu Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan data volume produksi dari pihak industri kehutanan, diketahui terdapat jumlah kesenjangan volume kayu sebesar 219 juta m3 (Kalkulasi sejak 1991-2014). Pada tahun 2014, setidaknya 30% kayu yang dikonsumsi oleh industri tidak tercatat oleh Kementerian Kehutanan.

Grahat menambahkan, risiko tata hutan di Indonesia masih mengkhawatirkan. Dia memperlihatkan data asosiasi pulp dan kertas Indonesia (APKI) bahwa pasokan kayu dari HTI tidak memadai, terjadi konsumsi kayu yang lebih tinggi dari pasokannya. Tercatat ada 20 juta meter kubik yang tidak tercatat Kementrian LHK. "Pertanyaannya, kayunya berasal dari mana? Ini yang belum bisa kita buktikan," cetusnya.

Dengan dasar itu, Koalisi Anti Mafia Hutan merekomendasikan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merevisi strategi pembangunan kehutanan dan Peta Jalan Revitalisasi Industri Kehutanan dengan memasukkan tiga unsur penting, yaitu tidak memperkenankan adanya peningkatan kapasitas pengolahan, tidak menambah izin baru industri kehutanan dan meningkatkan produktivitas HTI. Selain itu, terus melaksanakan pembenahan dalam tata kelolanya untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor kehutanan.

Nursamsu dari WWF Riau mengatakan, kayu yang diindikasi digunakan secara ilegal antara lain Akasia dan Ekaliptus, yang merupakan bahan baku utama untuk industri pulp and paper. "Untuk bahan baku yang paling banyak digunakan di Riau dan Kalimantan yaitu Akasia, dengan masa penanaman 5-7 tahun," ujarnya.

Ada pun dalam praktiknya mungkin terlihat legal, menurut Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau, perizinannyalah yang harus dipertanyakan. Untuk industri kayu seharusnya menggunakan HTI, dan bukan mengambil dari hutan alam. Riko mengatakan terjadi penyimpangan prosedur pengolahan bahan baku. Banyak pelaku industri kayu pada akhirnya memilih jalan pintas dengan menggunakan kayu hutan alam, tanpa penanaman kembali. “Aturan HTI, tanam-panen-produksi, namun yang sering terjadi adalah tebang-produksi-lalu lahan dibiarkan kosong,” ujarnya.

Riko menambahkan seharusnya pemerintah tidak mengizinkan ekspansi penggunaan kayu alam pada produksi pulp dan kertas. Harusnya pemerintah menekankan intensifikasi daripada ekspansi, yang mana hal ini juga untuk menghidari monopoli industri pulp dan kertas.

Pengelolaan Hutan

Pada kesempatan sebelumnya, Manager Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Friatna mengatakan kerugian negara akibat buruknya pengelolaan hutan mencapai Rp 19 triliun. Jumlah ini tidak sebanding dengan pendapatan negara dari pemanfaatan kawasan hutan yang diklaim Kementerian Kehutanan mencapai Rp 1,25 triliun.

Menurut Mukri, ada empat faktor mendasar yang membuat kerugian negara demikian besar dari pengelolaan hutan. Pertama, kasus illegal logging yang kian marak merambah hutan Indonesia. Kedua, kesalahan pemerintah menetapkan pengelolaan hutan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Ketiga, beroperasinya perusahaan tambang di dalam kawasan hutan. Keempat, izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak tertib.

Mukri menggarisbawahi bahwa masalah pengelolaan hutan melalui mekanisme penerimaan negara bukan pajak yang sangat kontroversial. “Selama ini sistem yang dikenakan kepada perusahaan ialah pembayaran royalti sehingga sifatnya tidak bisa memaksa bila mereka tidak tertib membayar,” kata Mukri.

Ia juga melihat akibat ketidaktegasan pemerintah merancang aturan dalam hal penerimaan negara dari pengelolaan hutan, sekitar 700 perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan di Kalimantan, tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Tidak memiliki NPWP kan artinya mereka tidak membayar pajak dari kegiatan pemanfaatan hutan, dan itu semua perusahaan tambang,” ujarnya.

Ia ungkapkan kebocoran penerimaan negara dari sektor kehutanan ini paling banyak terjadi di daerah yang luasan hutannya masih sangat besar. “Kalimantan, Riau, Sumatera Utara, dan Aceh paling tinggi kebocorannya,” kata Mukri. Ia berharap pemerintah segera merevisi sistem penerimaan negara dari pemanfaatan hutan dari non-pajak menjadi wajib pajak. “Kalau sistemnya wajib pajak, negara bisa memaksa. Perusahaan yang tidak membayar bisa dipidanakan dan izin eksplorasinya dicabut,” kata Mukri.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…