Jakarta - Kondisi likuiditas perbankan sekarang sudah 'lampu kuning', ditandai dengan posisi rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio-LDR) perbankan hingga akhir 2014 sudah di atas 95%, ini tentu berpotensi rasio kredit bermasalah (non performing loan-NPL) akan meningkat di tengah membengkaknya cost of money di beberapa bank di negeri ini.
NERACA
Pengamat perbankan Budi Frensidy mengatakan, sektor industri perbankan mengalami kesulitan likuiditas seiring dengan ketatnya likuiditas di pasar keuangan. "Sektor industri perbankan juga merupakan sektor yang rentan terhadap risiko karena sektor ini berhubungan dengan tingkat kepercayaan atas pengembalian dana di masa mendatang,"ujarnya saat dihubungi Neraca, Senin (16/2).
Lebih lanjut Budi mengatakan kelangkaan likuiditas menyebabkan penurunan kepercayaan di sektor korporasi dan rumah tangga terhadap kondisi perekonomian. Menurunnya kapasitas permintaan dan produksi di sektor riil dapat berpotensi kuat terhadap kualitas aktiva perbankan di Indonesia. Gejolak keuangan dan penurunan permintaan akibat krisis keuangan juga mempengaruhi terdepresiasinya nilai rupiah, tekanan inflasi yang cukup kuat dan tingginya suku bunga BI Rate.
"Perbankan harus lebih berhati–hati khususnya berkenaan dengan pelaksanaan fungsi intermediasi, yaitu penyaluran dana dalam bentuk kredit yang berhasil dihimpun oleh perbankan," ujarnya.
Menurut Budi menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal.
Berbagai kebijakan yang ditempuh, pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari serangkaian kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi juga memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan ekonomi dapat kembali membaik.
Menurut dia, kebijakan Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar keuangan.
Menurut data BI, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) selama 2014 mengalami perlambatan yang diindikasikan dengan penurunan DPK dari 13,79% pada November 2014 menjadi 12,29% pada Desember 2014.
Dari gambaran tersebut, perbankan akan menghadapi risiko likuiditas ketat, mengingat beban bank menanggung cost of fund cukup tinggi di tengah penurunan DPK. Selain itu, perbankan juga berisiko menghadapi peningkatan kredit bermasalah (non performing loan-NPL) akibat menurunnya kapasitas debitur memenuhi kewajibannya tepat waktu.
Perang Suku Bunga
Menurut CEO The Finance Eko B Supriyanto, perbankan di Indonesia dihadapkan pada kondisi likuiditas ketat karena tingginya dana pihak ketiga (LDR). Posisi rasio kredit terhadap LDR perbankan sudah di atas 90%, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) selama 2014 mengalami perlambatan. Peningkatan LDR ini tidak sebanding dengan perolehan dana pihak ketiga. Kondisi ini harus segera diatasi. Pasalnya, hal ini untuk mencegah perang suku bunga antara bank-bank di Tanah Air.
"Persoalan likuiditas ketat sudah terjadi dalam setahun terakhir ini karena sebagai dampak dari pertumbuhan kredit yang selalu duoble digit lebih tinggi dari pertumbuhan dana. Bank-bank akan saling berebut likuiditas dengan melakukan perang suku bunga. Bank bakal bunuh-bunuhan, suku bunga akan dinaikan sesuka mereka," ujarnya.
Menurut dia, LDR bank umum pada akhir 2018 akan melewati 100%. Di sisi lain, perbankan masih bakal kesulitan meningkatkan modal. Kondisi ini menyebabkan daya tahan dan kemampuan ekspansi perbankan mengalami penurunan. Jika pertumbuhan kredit masih tetap maka perbankan akan tertekan likuiditas.
Di sisi lain, struktur perbankan di Indonesia yang tidak ideal. Dengan tantangan likuiditas dan permodalan, dia menyatakan, konsolidasi merupakan jalan terbaik."Melakukan merger karena jumlah bank terlalu banyak sedangkan efektivitas tidak ada. Ini yang harus diperhatikan," ujar Eko.
Namun, Eko juga menyadari kesulitan menggabungkan dua bank di Indonesia. Penggabungan dua bank milik swasta merupakan hal yang mustahil. Sebab, bank swasta biasanya terkait dengan gengsi pemilik bank.
"Penggabungan dua bank swasta sama saja memberitahu borok. Sedangkan penggabungan bank milik BUMN bakal terganjal urusan politik," ungkap dia.
Untuk memperbaiki likuiditas, lanjut dia, bank sentral bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu segera menerapkan perubahan definisi LDR dengan memasukkan instrumen surat utang atau yang lebih dikenal dengan sebutan loan to funding ratio (LFR), sehingga perbankan bisa lebih leluasa dalam menyalurkan kredit.
"Perbankan terikat aturan harmonisasi LDR dan Giro Wajib Minimum (GWM). Otoritas perbankan mewajibkan bank memiliki LDR dalam rentang tertentu apabila tidak ingin terkena sanksi GWM tambahan. LDR yang ditetapkan oleh regulator 78%-92%," jelas Eko.
Kemudian dalam perkembangannya, bank pun melakukan perang suku bunga simpanan, utamanya deposito untuk menarik masuk DPK sebanyak-banyaknya. Hal ini selain membuat ongkos dana semakin mahal dan mengurangi marjin keuntungan bank, pun berdampak ke suku bunga kredit yang buntutnya bakal memukul rasio kredit bermasalah atau NPL.
“BI dan OJK bisa punya wewenang ubah peraturan. Ada warning pertumbuhan kredit lebih tinggi dari pertumbuhan dana dalam 7 tahun terakhir,” tandas Eko.
Peneliti perbankan Indef Eko Listyanto menilai tantangan perbankan di tahun 2015 akan semakin berat. Dimana berdasarkan hasil dari perkembangan tidak menggembirakan, yang mana perbankan akan menghadapi risiko likuiditas ketat, mengingat beban bank menanggung cost of fund cukup tinggi di tengah penurunan DPK. Selain itu, perbankan juga berisiko menghadapi peningkatan kredit bermasalah, akibat menurunnya kapasitas debitur memenuhi kewajibannya tepat waktu.
"Melihat perkembangan yang ada, tahun ini perbankan nasional akan menghadapi tantangan yang berat," katanya.
Untuk itu, agar dapat menanggulangi itu, kalau dari sisi otoritas moneter, langkah yang harus dilakukan perbankan adalah mendorong pendalaman sektor keuangan sehingga ada sumber pendapatan baru, seperti branchless banking yang digalakkan oleh OJK. Selain itu juga cara lain menanggulangi moneter dengan mengoptimalkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), yang disertai dengan kebijakan pemerintah mendorong ekonomi kelas atas dan perusahaan besar menaruh uangnya di bank-bank dlm negeri.
"Kalau ini dijalankan oleh perbankan dan efektif maka akan ada tambahan likuiditas. Tapi sebaliknya, jika langkah itu tidak optimal akan ada perang suku bunga di industri perbankan menjadi tidak terhindarkan." ujarnya. iwan/agus/mohar
Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…
NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…
Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…
Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…
NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…
Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…