DPR : Kontribusi Minim, Freeport Perlu Dievaluasi

NERACA

Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah untuk benar-benar mengkaji ulang perjanjian dengan PT Freeport. Pasalnya, DPR melihat kontribusi perusahaan tersebut selama ini amatlah kurang bagi bangsa Indonesia. Sehingga perpanjangan kontrak dan perjanjian lainnya harus memberikan kontribusi positif bagi bangsa.

Selama ini kontribusi PT Freeport kepada Indonesia khususnya masyarakat asli Papua dirasa sangat kurang. Oleh karena itu, DPR menilai perlu dilakukan evaluasi khusus secara mendalam."Masalah kontribusi Freeport kepada Pemerintah ini penting. Saya rasa perlu dievaluasi benar," kata Ketua DPR RI Setya Novanto di Jakarta, Rabu (4/2).

Dalam rapat konsultasi dengan pemerintah, DPR menyoroti masalah perpanjangan kontrak dan pembangunan smelter oleh PT Freeport. Perpanjangan kontrak perusahaan ini dinilai melanggar Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Sebab dilakukan tanpa bermusyawarah dengan Rakyat Papua dan juga tidak berkonsultasi dengan DPR RI.

"Soal Freeport, pertama itu tentu menyalahi aturan Undang-undang, makanya kita sudah minta kepada Menteri ESDM melalui Presiden supaya ini betul-betul dilihat dan dikaji," ujar Setya.

Tak hanya masalah kontrak perpanjangan, pembangunan smelter yang digadang malah akan dibangun di Gresik, Jawa Timur juga ditentang."Smelter harus dibangun di sana, kami sudah menyampaikan kepada Pemerintah nanti Komisi VII bisa membuat Panja," tambah Setya.

Hal yang sama juga ditegaskan Komisi VII DPR RI yang menyatakan ekspor konsentrat yang dilakukan PT Freeport Indonesia ilegal. Pasalnya, payung hukum yang digunakan Pemerintah untuk memberikan izin ekspor, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2014 bertentangan dengan UU tentang Pertambangan Mineral dan batubara.

"Ketika PP bertentangan dengan UU, berarti harus batal demi hukum," kata Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika.

Pemberian kelonggaran ekspor konsentrat Freeport dengan beberapa syarat yang tertuang dalam PP No 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri No 1 Tahun 2014 dinyatakan bertolak belakang dengan UU Nomor 4 Tahun 2009. UU dimana perusahaan tambang tak boleh mengekspor bahan mentah dan harus melakukan pemurnian dalam negeri.

Kardaya pun meminta Pemerintah agar menaati konstitusi dan aturan yang tercantum dalam UU."Hukum tidak bisa diterobos, diterobos artinya melanggar," ujar dia.

Sehingga jelas pemberian kelonggaran berupa perpanjangan izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia selama enam bulan ke depan, telah melanggar UU No 4 Tahun 2009. Namun kenyataannya, Pemerintah malah mengeluarkan peraturan yang tidak sejalan dengan undang-undang.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar mengakui dua aturan itu tidak sejalan dengan semangat UU Minerba. Namun, melihat belum semua produk KK dan IUP dimurnikan karena smelter belum selesai, pemerintah akhirnya masih memberi batas waktu.

"Kami beri waktu 5 tahun lagi, tapi pilihannya cuma stop semua operasional IUP dan KK. Kita juga belum siap bangun smelter, energi tidak ada. Dilematis," kata dia.

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjanji akan mendorong PT Freeport Indonesia membangun pabrik smelter di dekat kawasan pertambangan Papua. Langkah tersebut dilakukan agar sejalan dengan UU Minerba No 4 Tahun 2009.

Pemerintah selalu memberikan pilihan kepada Freeport untuk merealisasikan pembangunan pabrik smelter, akan tetapi pembangunan tersebut tertunda akibat kendala infrastruktur. Meski Freeport sudah menunjuk pembangunan pabrik smelter di Gresik, pemerintah tetap mendorong Freeport membangun smelter di daerah Papua."Kita dorong Freeport bangun pabrik smelter di Papua. Meski semuanya harus ada kompromi," kata Sudirman.

Kendati demikian, Sudirman mengaku pemerintah tidak bisa memberikan opsi pembangunan smelter di dua lokasi Gresik dan Papua. Pasalnya, untuk pembangunan smelter berkaitan dengan perijinan, keekonomian dan investasi.

"Pemerintah belum memutuskan apa-apa. Tapi pemerintah tidak ada tawar menawar soal smelter dan harus segera dibangun," ujar dia.

 


BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…