Deflasi Semu

Oleh: Shinta Dwi Nofarina

Peneliti Indef

eflasi Semu 
Shinta Dwi Nofarina
Peneliti Indef
Seperti diketahui bersama, Badan Pusat Statistik (BPS) di setiap awal bulan selalu menerbitkan laporan perkembangan harga konsumen. Hasilnya cukup mengejutkan, Januari 2015 tercatat deflasi sebesar 0,24 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencatat inflasi sebesar 2,46 persen. Namun demikian, penyumbang deflasi bukan berasal dari komponen inflasi inti seperti bahan pangan (sembako) dan kebutuhan pokok lainnya. 
Komponen terbesar penyumbang deflasi berasal dari sektor transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,78 persen atau terkontrakti sebesar 4,04 persen (yoy). Hal itu tentu membawa angin segar bagi pemerintah pasalnya kebijakan untuk mendorong turunnya tarif angkutan umum akibat dua kali penurunan harga BBM di Januari dapat dikatakan berhasil. Sungguh pun demikian, statistik deflasi ini menimbulkan beberapa fakta yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Pertama, deflasi lebih diakibatkan adanya keberuntungan pemerintah karena harga minyak dunia yang semakin menurun sehingga memaksa pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi. Kedua, harga-harga riil di lapangan sepenuhnya belum menunjukkan adanya penurunan, khususnya tarif angkutan umum. Bahkan Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA) masih enggan menurunkan tarif angkutan umum karena harga suku cadang sudah terlanjur naik. 
Ketiga, harga-harga kebutuhan pokok masih mencatatkan inflasi seperti bahan makanan (0,60%), makanan jadi, minuman, dan rokok (0,65%), perumahan, air dan lisrik (0,80%) serta sandang (0,85%). Padahal, kebutuhan pokok tersebut penting dalam menjaga daya beli masyarakat. Keempat, terdapat keunikan statistik inflasi yang dapat dilihat jika membandingkan antara inflasi November 2014 dan Januari 2015. Masih segar dalam ingatan, November 2014 presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM sebanyak 31 persen dari Rp6.500 menjadi Rp8.500. Kenaikan harga itu pun mengakibatkan kenaikan ongkos angkutan umum. Sehingga inflasi sektor transport, komunikasi, dan keuangan naik 4,29 persen. 
Jika dibandingkan dengan deflasi Januari 2015, maka fenomenanya tidak jauh berbeda dimana deflasi disebabkan oleh penurunan tingkat harga disektor transoprtasi sebesar 4,04 persen. Artinya pola inflasi November dan deflasi Januari hanya berkutat pada hitungan sektor transportasi saja. Dengan begitu kebijakan pemerintah dianggap berhasil dalam menekan kenaikan harga yang sebelumnya telah naik akibat kenaikan harga BBM bulan November 2014.  
Dalam menanggapi fenomena di atas, pemerintah tetap perlu melakukan evaluasi mengingat fundamental inflasi masih rapuh. Menilik dari kondisi harga yang naik akibat kenaikan BBM setidaknya Januari 2015 diindikasikan masih terjadi inflasi meskipun rendah dalam kisaran 0,1 - 0,2 persen. Jika melihat data BPS dan kondisi riil yang sekarang ada di masyarakat, maka perlu dipertanyakan kredibilitas dan validitas pemerintah, khususnya BPS dalam mensurvei tingkat kenaikan harga. Hal itu dimaksudkan agar penghitungan kenaikan harga (inflasi/deflasi) menjadi lebih nyata dan tidak semu belaka. 

Seperti diketahui bersama, Badan Pusat Statistik (BPS) di setiap awal bulan selalu menerbitkan laporan perkembangan harga konsumen. Hasilnya cukup mengejutkan, Januari 2015 tercatat deflasi sebesar 0,24 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencatat inflasi sebesar 2,46 persen. Namun demikian, penyumbang deflasi bukan berasal dari komponen inflasi inti seperti bahan pangan (sembako) dan kebutuhan pokok lainnya. 

Komponen terbesar penyumbang deflasi berasal dari sektor transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,78 persen atau terkontrakti sebesar 4,04 persen (yoy). Hal itu tentu membawa angin segar bagi pemerintah pasalnya kebijakan untuk mendorong turunnya tarif angkutan umum akibat dua kali penurunan harga BBM di Januari dapat dikatakan berhasil. Sungguh pun demikian, statistik deflasi ini menimbulkan beberapa fakta yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Pertama, deflasi lebih diakibatkan adanya keberuntungan pemerintah karena harga minyak dunia yang semakin menurun sehingga memaksa pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi. Kedua, harga-harga riil di lapangan sepenuhnya belum menunjukkan adanya penurunan, khususnya tarif angkutan umum. Bahkan Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA) masih enggan menurunkan tarif angkutan umum karena harga suku cadang sudah terlanjur naik. 

Ketiga, harga-harga kebutuhan pokok masih mencatatkan inflasi seperti bahan makanan (0,60%), makanan jadi, minuman, dan rokok (0,65%), perumahan, air dan lisrik (0,80%) serta sandang (0,85%). Padahal, kebutuhan pokok tersebut penting dalam menjaga daya beli masyarakat. Keempat, terdapat keunikan statistik inflasi yang dapat dilihat jika membandingkan antara inflasi November 2014 dan Januari 2015. Masih segar dalam ingatan, November 2014 presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM sebanyak 31 persen dari Rp6.500 menjadi Rp8.500. Kenaikan harga itu pun mengakibatkan kenaikan ongkos angkutan umum. Sehingga inflasi sektor transport, komunikasi, dan keuangan naik 4,29 persen. 

Jika dibandingkan dengan deflasi Januari 2015, maka fenomenanya tidak jauh berbeda dimana deflasi disebabkan oleh penurunan tingkat harga disektor transoprtasi sebesar 4,04 persen. Artinya pola inflasi November dan deflasi Januari hanya berkutat pada hitungan sektor transportasi saja. Dengan begitu kebijakan pemerintah dianggap berhasil dalam menekan kenaikan harga yang sebelumnya telah naik akibat kenaikan harga BBM bulan November 2014.  

Dalam menanggapi fenomena di atas, pemerintah tetap perlu melakukan evaluasi mengingat fundamental inflasi masih rapuh. Menilik dari kondisi harga yang naik akibat kenaikan BBM setidaknya Januari 2015 diindikasikan masih terjadi inflasi meskipun rendah dalam kisaran 0,1 - 0,2 persen. Jika melihat data BPS dan kondisi riil yang sekarang ada di masyarakat, maka perlu dipertanyakan kredibilitas dan validitas pemerintah, khususnya BPS dalam mensurvei tingkat kenaikan harga. Hal itu dimaksudkan agar penghitungan kenaikan harga (inflasi/deflasi) menjadi lebih nyata dan tidak semu belaka. 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…