MOMEN DEFLASI JANUARI 2015 - BI Rate Harus Diturunkan

 

 

Jakarta – Di tengah banyak pihak merasa was-was dengan laju inflasi, ternyata pada Januari 2015 indeks harga konsumen mengalami deflasi 0,24% sehingga inflasi inti (year to year) mencapai 4,99%. Kondisi ini menurut kalangan pengamat, seharusnya Bank Indonesia memanfaatkan momen deflasi untuk menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) ke level yang lebih rendah dari saat ini yang bertahan 7,75%.

NERACA

Menurut pengamat ekonomi UI Telisa Aulia Falianty, momen deflasi Januari 2015 ini bisa dijadikan patokan Bank Indonesia menurunkan suku bunga BI Rate, mengingat biasanya indikator BI pada laju inflasi. "Deflasi ini menjadi sebuah kesempatan bagi BI untuk dapat menurunkan suku bunga acuannya,” ujarnya kepada Neraca, Senin (2/2).

Telisa mengakui, memang terjadinya deflasi ini imbas dari kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM dua kali pada tahun ini. Namun begitu, jika kondisi ekonomi tidak stabil apalagi diimbangi dengan kenaikan harga barang karena biaya produksi yang tinggi akan sulit lagi bisa mencapai inflasi rendah, atau bahkan deflasi di bulan berikutnya.

"Momen ini harus dijadikan BI bisa menurunkan BI Rate, untuk memberikan angin segar agar bunga kredit tidak terlalu tinggi, agar sektor lain bisa berjalan. Karena jika tidak, pengusaha akan semakin terjepit dalam memperoleh pembiyaan ekonomi tidak bisa berjalan," ujarnya.

Karena, menurut dia, jika BI terus mempertahankan terus BI Rate pada tingkat tinggi saat kondisi deflasi, maka bila terjadi inflasi tinggi pada masa mendatang BI akan kehilangan ruang untuk menaikkan kembali BI Rate karena sudah terlampau tinggi. Belum lagi isu akan kenaikan suku bunga The Fed pada semester I-2015,  jika itu terjadi mau diangka berapa BI Rate bisa sangat tinggi sekali, ekonomi bisa tidak berjalan. "Mau tunggu apa lagi, ini saatnya BI dapat menurunkan BI Rate," tegasnya.

Tarif Angkutan Kota

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan indeks harga konsumen pada Januari 2015 mengalami deflasi  0,24%.  Inflasi dari tahun ke tahun tercatat 6,96%. Inflasi inti Januari 2015 sebesar 0,61%, dan inflasi inti year to year  sebesar 4,99%.  

Kepala BPS Suryamin menyebut, deflasi pada bulan Januari 2015 disebabkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). "Deflasi 0,24% diakibatkan oleh kelompok pengeluaran transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan andil (minus) 4,04%. Ini karena penurunan harga BBM. Terjadi penurunan tarif angkutan dalam kota di beberapa kota, dan tarif angkutan udara," jelas Suryamin di Jakarta, kemarin.  

Patut diketahui, sejak 1973 Indonesia mencatat tiga kali deflasi pada Januari, yakni pada Januari 1973 sebesar 1,65%,  Januari 2009 ( 0,07%) dan Januari 2015 sebesar 0,24%.  

Sebagai informasi, inflasi Januari 2014 sebesar 1,07% merupakan inflasi yang tertinggi selama lima tahun. Sebagai perbandingan, pada Januari 2009 terjadi deflasi 0,07%, begitu pula Januari 2010 yang mencatat deflasi 0,84%. Pada 2011 terjadi inflasi Januari 0,89%, dan pada Januari 2013 tercatat 1,03%.

Pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mengatakan, pada Januari 2015 terjadi deflasi dikarenakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga bahan makanan. Sehingga, jika BI mempertahankan BI Rate pada tingkat yang tinggi saat kondisi potensi inflasi rendah, maka bila kemudian ke depan terjadi inflasi tinggi, BI akan sulit untuk menaikkan kembali suku bunga acuannya, karena sudah terlampau tinggi. Momen deflasi pada Januari ini harus dimanfaatkan oleh BI untuk menurunkan suku bunga perbankan demi menumbuhkan perekonomian Indonesia.

"Bila dipaksakan, maka bunga kredit akan semakin tinggi. Jika BI Rate dipertahankan tinggi, maka sulit bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga simpanan dan kredit," kata dia.

Oleh sebab itu, lanjut dia, pengusaha tidak dapat berharap banyak untuk mendapatkan suku bunga kredit lebih murah di beberapa waktu mendatang bila BI bersikukuh mempertahankan BI Rate yang tetap tinggi, tentu akan membuat peran swasta domestik semakin tergerus oleh investor asing terutama memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN.

"Dan jika BI Rate digunakan untuk mengerem laju pertumbuhan kredit demi menjaga loan to deposit ratio (LDR) di bawah 100%, maka kebijakan ini sangat parsial. Sebab, tanpa kredit yang memadai sulit bagi dunia usaha untuk berkembang. Jadi sebaiknya turunkan BI Rate," ujar Agus.

Agus juga menjelaskan, tingkat inflasi yang tinggi tahun lalu sesungguhnya disebabkan oleh dorongan faktor biaya (cost push inflation) karena kenaikan harga BBM subsidi. Dalam kondisi tersebut, kata dia, semestinya pemerintah melakukan kebijakan supply side untuk mendorong suplai barang di pasar.

“Bukan malah melalui kebijakan moneter dengan menaikkan BI Rate. Ini akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Dan terbukti pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali melemah,” tandas dia.

Masih menurut Agus, salah satu alasan lain yang sering diketengahkan para pengambil keputusan saat menaikan BI Rate adalah mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed yang dapat menyebabkan repatriasi modal keluar dari Indonesia. Secara teoritis, hal tersebut benar bila dilihat secara parsial. Namun di lapangan, aliran modal antar negara tidak semata disebabkan perbedaan tingkat bunga. Prospek bisnis, ketersediaan sumber daya, serta kestabilan politik dan keamanan juga menjadi faktor penentu mengalirnya modal secara global.
 
Dengan demikian, ketakutan akan mengalirnya modal ke luar negeri karena suku bunga rendah merupakan ketakutan berlebihan dan cenderung menjadi fobia bagi kalangan pembuat keputusan."Sesungguhnya, mempertahankan bunga yang tinggi akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dan menggerus sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan asing," kata dia.

Pengamat perbankan Nina Saptitriaswati mengakui kondisi suku bunga acuan atau BI Rate cukup tinggi sehingga menyulitkan dunia usaha untuk bisa melakukan ekspansi lebih jauh. “Harapannya dengan sekarang keadaan deflasi, maka BI bisa menurunkan BI rate. Terlebih pemerintah telah menurunkan harga BBM jadi ini merupakan sinyal agar ekonomi Indonesia sedang dalam posisi start untuk maju,” ujarnya.

Meski deflasi di awal tahun merupakan musiman, berharap BI bisa menurunkan BI Rate. Karena dalam waktu yang tidak lama lagi, The Fed kembali akan mengumumkan kenaikan suku bunganya sehingga mau tidak mau BI akan kembali melakukan penyesuaian. “Daripada nanti BI rate makin tinggi lagi, lebih baik saat ini turunkan dulu suku bunganya, lalu ketika ada gerakan dari The Fed maka bisa melakukan penyesuaian,” imbuhnya.

Menurut dia, ketika suku bunga diturunkan maka itu adalah sinyal bahwa ekonomi Indonesia berada dalam keadaan membaik. Hal itu pula lah yang akan mendorong investasi bisa masuk ke Indonesia. “Saat ini investasi sektor rill yang Indonesia butuhkan, karena investasi tersebut akan berdampak banyak terhadap perekonomian seperti penyerapan tenaga kerja, medorong ekspor kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan eksportir,” katanya. bari/agus/mohar

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…