Pemerintah Klaim 9 Perusahaan Jepang Tertarik Bangun Pembangkit Listrik

NERACA

Jakarta – Ditengah pesimisnya berbagai pihak atas program pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt, Kepala Badan Koodinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyatakan setidaknya ada sembilan perusahaan asal Jepang yang tertarik untuk membangun pembangkit listrik di Indonesia.

“Kita sudah me-list, dari yang baru masuk sampai akhir Januari nanti, setelah uji coba pada tanggal 15 Januari, maka ada 9 perusahaan yang masuk sejak setelah diresmikan sampai akhir Januari nanti,” kata Franky di Jakarta, Senin (26/1).

Pihaknya berharap kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa mensosialisasikan pengajuan izin tersebut, agar investor energi dan mineral mendapatkan masukan dari yang diberikan Kementerian ESDM. Sampai saat ini sendiri, dia menegaskan, belum ada sama sekali perusahaan yang mengajukan izin untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Smelter masih belum, karena Kementerian ESDM difokuskan dalam membangun tenaga listrik.

Dari sembilan perusahaan yang sudah disebutkan, saat ini sedang diproses dalam pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) untuk mendapai izin membangun pembangkit listrik. Adapun izin akan dikeluarkan dalam jangka waktu satu minggu. “Ada sembilan izin, prosesnya diperkirakan dalam satu minggu,” pungkasnya.

Berbagai pihak merasa pesimis atas target yang dilayangkan oleh pemerintah yaitu membangun pembangkit listrik sebesar 35.000 megawatt selama lima tahun kedepan. Keraguan itu didasari oleh molornya proyek pembangkit listrik 10.000 MW (fast track programme /FTP) tahap I dan II.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi program percepatan listrik tahap I hingga akhir 2014 baru mencapai 7.384,5 MW atau sekitar 74,4%. Sedangkan 2.542,5 MW atau 25,6% sisanya ditargetkan bisa diselesaikan pada 2016. Padahal, awalnya FTP tahap I (total 9.700 MW) ditargetkan selesai pada 2010.

Sementara realisasi FTP tahap II hingga 2014 hanya sebesar 55 MW dan diperkirakan baru akan rampung pada 2020. Padahal, FTP tahap II (total 17.800 MW) awalnya ditargetkan bisa rampung pada 2018. ”Surprise ketika melihat FTP I dan II tidak jalan, tapi pemerintah optimistis bisa merealisasikan tambahan kapasitas sebesar 35.000 MW,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha.

Satya menegaskan, tanpa ada terobosan, DPR pesimistis pemerintah dapat memenuhi tambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW seperti yang direncanakan. Dia berharap pemerintah betulbetul siap mengambil langkah baru agar program itu bisa terlaksana. Ancaman krisis listrik sudah nyata di depan mata. Terkait dengan itu, Wakil Ketua Komisi VII Zairullah Azhar mengatakan, DPR akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Ketenagalistrikan guna mengawal dan menyukseskan proyek percepatan pembangkit listrik 35.000 MW.

“Kami akan mencarikan solusi agar hambatan dapat diatasi segera. Hasil panja itu akan menjadi re-komendasi bagi pemerintah agar proyek itu dapat terwujud,” kata dia. Menurut Zairullah, Panja Ketenagalistrikan juga akan mengawal proyek FTP tahap I dan II yang hingga kini targetnya belum tercapai. Sektor ketenagalistrikan merupakan perhatian utama Komisi VII DPR. Saat ini antara pasokan dan kebutuhan listrik sudah tidak seimbang, bahkan telah mengarah pada krisis listrik. “Saat ini kebutuhan listrik per tahun 7.000 MW, tapi yang bisa disediakan hanya 2.000 MW,” sebut dia.

Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menjelaskan, terdapat tiga masalah di sektor ketengalistrikan nasional yang kerap menyebabkan proyek pembangkit molor dari yang dijadwalkan. Pertama, adanya tumpang tindih perizinan yang menyebabkan proses persiapan pembangunan berlangsung lama. Bahkan, kata Fabby, ada beberapa proyek yang menghabiskan waktu dua tahun hanya untuk mengurus perizinan. “Contoh yang jelas terlihat PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Sarulla dan PLTU(Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batang. Coba, berapa lama itu molornya,” cetusnya.

Selain perizinan, kendala yang juga harus dihadapi sewaktu membangun pembangkit ialah kesulitan pembebasan lahan. Pasalnya, selain membutuhkan lahan yang luas, investor juga memerlukan sebidang tanah untuk membangun jaringan listrik.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…