Strategi Genjot Penerimaan Pajak 2015 - Oleh: Lukman Harun Satrio, Pemerhati Masalah Publik

Salah satu isu penting sekaligus strategis yang kerap terlewatkan dalam diskursus pembangunan nasional adalah sektor penerimaan pajak. Pasalnya, dalam berbagai wacana pembangunan nasional, isu tersebut terdengar sayup-sayup, sementara wacana yang nyaring gaungnya justru masalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM), pembangunan infrastruktur, ataupun seteru antar-koalisi di parlemen. Padahal, pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Sebab, bila dirinci, sektor pendapatan suatu negara berasal dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP), penerimaan hibah, baik hibah dalam negeri maupun dari luar negeri.

Indonesia termasuk negara yang pendapatannya sangat mengandalkan sektor pajak. Oleh sebab itu, masalah penerimaan pajak harus dijadikan wacana strategis, seperti halnya wacana-wacana nasional yang lain seperti kesehatan, pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sebab, bagaimana pendidikan bisa merata bila penerimaan sektor pajak lemah. Bagimana kesehatan masyarakat dapat terjamin bila penerimaan pajak tidak signifikan. Dan bagaimana pula kemiskinan dapat dientaskan bila negara kekurangan uang karena sektor pajak tersendat.

Karena itu, dalam rangka meningkatkan pembangunan nasinal, mau tidak mau, sektor pajak harus digenjot. Sebab, dari tahun ke tahun, progres sektor pajak relatif rendah. Bila kita lihat perkembangan penerimaan pajak selama empat tahun terakhir, maka grafik peneriman pajak tidak terlalu membanggakan. Tahun 2010 misalnya sektor penerimaan pajak berjumlah Rp 628,2 triliun dari total pendapatan negara Rp 995,3 triliun, tahun 2011 Rp 742,7 triliun dari pendapatan negara Rp 1.210,6 triliun, tahun 2012 Rp 835,8 triliun dari pendapatan negara Rp 1.338,1 triliun, dan tahun 2013 Rp 921,4 triliun dari pendapatan negara Rp 1.438,9 triliun. Pada 2014 inisektor perpajakan terbilang lesu akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dua Akar Masalah

Menurut pemerhati masalah pajak, Chandra Budi (2014), setidaknya ada dua akar masalah yang dihadapi Ditjen Pajak saat ini.Pertama, kontribusi penerimaan pajak selama ini sangat bergantung pada segelintir wajib pajak badan atau perusahaan yang berorientasi ekspor komoditas. Saking bergantungnya pada wajib pajak ini, apabila setoran pajak mereka turun sedikit saja, setoran dari wajib pajak orang pribadi tidak akan mampu menutupinya. Hal ini wajar terjadi karena berdasarkan bukti empiris, diketahui bahwa sekitar 90 persen lebih penerimaan pajak berasal dari wajib pajak badan. Selain itu, hampir 85 persen setoran tersebut disumbangkan oleh seribuan wajib pajak badan saja. Kegagalan pencapaian target pajak selama empat tahun terakhir ini diyakini sebagai akibat menurunnya setoran wajib pajak badan tadi, yang merupakan efek dari melambatnya perekonomian global.

 

Masalah kedua, munculnya gejala (symptom) demotivasi pegawai menyebabkan turunnya militansi untuk menggali potensi penerimaan pajak. Hal ini dipicu oleh adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan pegawai dan kebijakan yang ada. Kebijakan selama ini lebih menempatkan pegawai sebagai sumber daya, bukan aset (kapital). Sangat dikhawatirkan hubungan antara pegawai pajak dan Ditjen Pajak (engagement) kedepan akan lebih didominansi ikatan tanpa emosi (shopper).

 

Strategi 2015

 

Untuk itu, masalah penerimaan pajak kini harus segera diatasi. Kita menaruh harapan besar pada MenteriKeuangan yang baru, Bambang Brodjonegoro. Apalagi, Bambang Brodjonegoro, selama ini dikenal sebagai ahli desentralisasi fiskal yang berlatarbelakang akademikus. Ditambah pengalaman kerjanya sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, sangat diyakini Menkeu baru ini mumpuni dalam hal kebijakan ekonomi makro.

 

Pertanyaannya, apa strategi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengenjot sektor penerimaan pajak di tahun 2015 ini? Dalam beberapa pemberitaan media belakanganan ini, dalam merancangkan APBN 2015, Ditjen Pajak memberikan delapan kiat yang diharapkan mampu meningkatkan penerimaan disektor perpajakan pada 2015 nanti.

 

Pertama, meningkatkan potensi pajak Wajib Pajak Orang Pribadi, yakni pegawai pajak dengan sasaran orang pribadi golongan pendapatan tinggi dan menengah. Kedua, mengintesifikasikan penggalian sektor ekonomi non-tradable dan kegiatan ekonimi di bidang sumber daya alam dan perkebunan. Ketiga, menyempurnakan sistem administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan mengembangkan sistem adminsitasi berbasis IT. Keempat, meningkatkan optimali penerimaan pajak langsung dari beberapa transaksi ekonomi strategis melalui pengembangan sistem online dengan institusi yang mengadministrasikan transaksi ekonomi strategis tersebut.

 

Kelima, meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan penagihan melalui pemeriksaan yang beroreintasi pada pemeriksaan khusus bagi wajib pajak strategis dani mplementasi compliance risk management (CRM) model. Keenam, meningkatkan sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam pelaksanaan law performance di bidang perpajakan. Ketujuh, perbaikan regulasi yang memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Kedepan atau terakhir, meningkatkan insfrastruktur perpajakan dan kualitas SDM.

 

Pada dasarnya permasalahan di sektor perpajakan terletak pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang sangat terbatas dalam menggali penerimaan pajak yang potensial. Data BPS (2013) membenarkan pernyataan tersebut. Dari sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7 persen yang terdaftar sebagai wajib pajak.

 

Selanjutnya, dari jumlah wajib pajak terdaftar tersebut, yang membayar pajak hanya 670 ribu orang atau 2,7 persen. Ironisnya, sebanyak lebih dari 586 ribu wajib pajak, atau sekitar 87,5 persen, membayar pajak kurang dari Rp 100 juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, terdeteksi masih banyak pihak yang belum membayar pajak meski sebenarnya mampu.

 

Karenanya, kita sangat berharap Menkeu Bambang Brodjonegoro dan DirekturJenderal Pajak (DJP) Fuad Rachmany benar-benar serius menggarap sektor pajak ini. Sebab, agenda-agenda melangit pemerintahan Jokowi-JK tidak akan berjalan bila tidak disokong dengan penerimaan pajak yang memadai. Penerimaan pajak lemah, APBN akan tipis. APBN yang tipis tentu tidak akan mampu menjalankan agenda-agenda pembangunan nasional susuai dengan yang ditargetkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.***

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…