Tak Terkendali, Perlu Batas Atas Harga Bahan Pokok

NERACA

Jakarta – Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik turun membuat harga bahan pokok pun tak terkendali. Disaat harga BBM naik, secara otomatis harga bahan pokok ikut naik. Namun ketika harga BBM mengalami penurunan, harga bahan pokok pun tetap tidak turun. Menurut Pengamat Ekonomi Didik Rachbini, pemerintah perlu menerapkan aturan untuk mengatur harga eceran.

Dengan begitu, kata Didik, akan ada sebuah regulasi yang menentukan batas atas harga eceran. “Peran seperti itu memang harus dilakukan Pemerintah, kalau beras terlalu rendah petaninya akan rugi, karena mereka membeli pupuk, bibit dan banyak hal. Kalau petani rugi, maka petani tidak akan produksi yang tentunya tidak akan ada produksi beras dan harganya akan selangit,” kata Didik di Jakarta, Kamis (22/1).

Menurut dia, harga bahan pokok yang tidak stabil lebih dikarenakan suplai pasokan yang tidak mencukupi sehingga diperlukan stabilitas harga. Stabilitas bahan pokok itu, kata dia, tidak hanya soal BBM, kalau beras itu suplainya banyak dan jembatannya tidak putus. Sehingga kalau suplainya bagus, yang menyebabkan harganya tidak naik.

Ia mengatakan stabilitas harga itu memang dibutuhkan untuk konsumen agar tidak ada kerugian yang diderita oleh konsumen karena penerapan harga yang lebih tinggi. “Jadi stabilitas itu ada di antara harga bawah dan harga tertinggi. Kalau terlalu tinggi konsumen yang menjerit, jadi harus seperti itu dan sudah ada platformnya seperti dahulu,” tukasnya.

Menurut Didik, peran Perum Bulog harus diberdayakan dan jangan justru dihilangkan. Di sisi lain, pemerintah juga harus turun bekerja. Bulog dapat menjadi instrumen pemerintah dalam melakukan kontrol harga di pasaran dan intervensi pemerintah itu harus ada.

Kontrol harga yang paling efektif menurut Didik adalah melalui operasi pasar dan juga saluran distribusi yang tidak boleh putus. Bila ada pihak yang menimbun dan mempermainkan harga harus segera ditindak. Sistem tersebut sudah puluhan tahun diterapkan di Indonesia pada masa lalu.

"Sekarang ini pemerintah tidak punya instrumen untuk mengontrol harga, timnya saja tidak ada. Dulu itu ada di Setkab (Sekretariat Kabinet) informal dibawah presiden, sekarang pemerintah ibarat mau memancing ikan tetapi tidak punya alat pancingannya, Jadi ya dibikin dulu," kata Didik.

Sementara itu, Ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto mengungkapkan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bukanlah faktor utama turunnya harga bahan pokok. Ternyata, penawaran (supply) dan permintaan (demand)merupakan hal utama yang bisa membuat harga itu dapat terkerek turun. "Supply and demand, itu yang paling menentukan harga," katanya.

Suryo mengatakan bahwa harga barang terbentuk dari mekanisme pasar, yaitu jumlah supply dan demand. Lalu, ada cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan harga barang, antara lain dengan meningkatkan pasokan barang. “Kalau mau menurunkan harga, suplai barang yang banyak,” tuturnya. Selain itu, lanjut Suryo, alasan penurunan harga BBM tak melulu diiringi dengan  penurunan harga bahan pokok. Menurut dia, itu merupakan mentalitas pedagang.

Berdasarkan perkembangan harga bulanan Biro Perekonomian DKI Jakarta dari tanggal 8 Januari 2015 sampai 14 Januari 2015 lalu. Kepala Sub Bagian (Kasubag) Ketahanan Pangan Biro Perekonomian DKI Jakarta, Marlina Widya Dewi mengatakan bahwa harga eceran cabe rawit merah masih berada dikisaran Rp 95.000 per kilogram dari Rp 101.000 per kilogram. "Harga bahan pokok masih relatif stabil dan tidak terjadi penurunan yang berarti," kata Dewi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meninjau perkembangan harga di pasar yang dikelola PD Pasar Jaya dan Pasar Induk Kramat Jati. Dia menjelaskan bahwa dalam penurunan harga bahan pokok tidak hanya berdasarkan harga BBM. “Mungkin pasokan dari daerah produsen kurang. Bisa juga karena dari daerah produsen belum panen,” kata Dewi.

Dewi merinci komoditas cabai merupakan salah satu bahan pangan yang harganya masih tinggi. Untuk harga eceran cabai rawit merah mencapai Rp 95 ribu dan cabai rawit hijau Rp 53 ribu. Tingginya harga cabai dikarenakan pasokan cabar di Pasar Induk Kramatjati turun hingga 40 persen. “Tapi sekarang sudah naik lagi 11 persen, jadi agregatnya 71 persen dari posisi normal pasokannya,” ucap Dewi.

Menurut Dewi, harga cabai saat ini bahkan masih sangat tinggi dari referensi pemerintah yang hanya Rp 26.300 untuk cabai keriting dan cabai merah besar serta Rp 44 ribu untyk cabai rawit merah. “Harga eceran masih sangat jauh dari referensi dari pemerintah. Itu memang karena faktor pasokan, kemungkinan mereka (petani) belum panen dan masih dalam tahap tanam,” ujar Dewi.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…