Perketat Aturan Tangkap dan Ekspor Ikan - KKP Bikin Industri Perikanan Negara Tetangga Kelimpungan

NERACA

Jakarta – Di bawah komando Menteri Susi Pudjiastuti, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah gencar mengeluarkan kebijakan maupun aturan terkait dengan pelarangan maupun pembatasan ekspor produk hasil perikanan baik laut maupun budidaya. Sebut saja aturan itu mulai dari moratorium izin kapal, larangan transhipment di tengah laut, dan yang teranyar adalah pelarangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajuangan yang tertuang dalam Permen-KP 1/2015.

Upaya aturan itu tidak lain untuk mencegah adanya (over fishing) atau tindakan (illegal fishing) guna menjaga sumber daya ikan di Indonesia. Atas pelarangan itu, menjadikan kapal-kapal besar terutama kapal di atas 30 Gross Tonnage (GT) tidak bisa lagi beroperasi, dan melakukan pengambilan ikan budidaya di pelabuhan-pelabuhan. Kondisi ini jelas menjadikan ekspor produk perikanan ke negara-negara tujuan ekspor menjadi terhambat.

Tak pelak lagi, melihat kondisi ini, jelas sekali industri perikanan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Singapura, China, bahkan mungkin Jepang sudah tidak bisa lagi mendapatkan sokongan bahan baku ikan dari Indonesia. Yang disinyalir negara-negara tersebut mendapatkan ikan dari Indonesia, bahkan kepal-kapal mereka yang selama ini mengambil ikan dari laut nusantara. Melihat kondisi ini jelas akan semakin menyulitkan industri perikanan negara tetangga dalam mendapatkan bahan baku, dengan kata lain sekak mati untuk industri perikanan negara tetangga karena sudah sulit beroperasi mengingat minimnya pasokan bahan baku untuk mereka.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Gellwyn Jusuf mengatkan kebijakan atau aturan yang sekarng banyak dikeluarkan oleh pemerintah (KKP), tidak lain untuk menata kembali izin-izin penangkapan ikan. Ini dilakukan agar tidak lagi ada over maupun illegal fishing. “Semua ini sifatnya penataan ulang, setelah dibuka kembali, tentu pengusaha kapal juga harus mengikuti semua prosedur maupun aturan-aturan yang nantinya akan ditentukan batas waktu moratorium selesai April nanti,” kata Gellwyn kepada Neraca, sesaat setelah konferensi pers terkait dengan pelarangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajuangan, di Jakarta, Senin (19/1).

Mengingat selama ini, sambung Dirjen, memang banyak indikasi-indikasi dari hasil penangkapan ikan yang langsung di bawa ke negara-negara mereka tanpa di daratkan di pelabuhan kita sehingga tidak terhitung dan terdaftar ke negara. Mereka langsung di bawa kenegaranya masing-masing diolah, kemudian di ekspor kenegara lain. “Seperti Thailand, melihat data dari penelusuran data ikan di Eropa, Thailand paling banyak mengambil ikan di Indonesia. Melihat ini, jelas ada maslah di situ, makanya ingin kita benahi,” ujarnya.

Sedangkan terkait dengan pelarangan lobster, kepiting, dan rajuangan, bukannya tidak boleh menangkap tapi memang tidak boleh menangkap yang terlalu kecil. Karena yang terjadi berdasarkan penelitian, para nelayan menangkap yang kecil-kecil kemudian di jual seperti ke Vietnam, dan Vietnam di budidayakan. “Kita tidak mau sumber daya ikan (SDI) ikan kita punah, dan negara lain yang menikmatinya. Harga-haraga lobster, kepiting, dan rajuangan, tidak murah, jangan sampai negara lain yang mendapatkan keuntungan besar nantinya,” ucapnya.

Bangun Pabrik Pengolahan

Yang dimau, lanjut Gellwyn, nanti setelah moratorium semua kapal-kapal baik lokal maupun eks asing jika memang inginmenangkap di wilayah laut nusantara harus didaratkan, diolah di Indonesia sehingga mendatangkan devisa yang menguntungkan negara kita. “Kalau mau investasi semuanya di Indonesia, ikannya di daratkan di Indonesia, bangun pabrik pengolahan di Indonesia, sehingga ekspor dari hasil ikannya mendatangkan devisa buat negara. Jangan sebaliknya menangkap ikan di Indonesia, diolah di negaranya mereka yang mendapatkan untungnya. Itu yang kami tidak mau,” tegasnya.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Produk Hasil Perikanan (P2HP), KKP, Saut P. Hutagalung menuturkan adanya moratorium merupakan langkah awal penyelesaian masalah perikanan selama ini. Dengan moratoroium nantinya bisa ditelaah semua yang selama ini menjadi pangkal masalahnya. Seperti keterbatasan bahan baku dalam negeri, dan masalah-masalah lainnya. “Selama ini industri pengolahan selalu mengeluhkan minimnya pasokan bahan baku, karena memang selama ini kapal-kapal yang memangkap ikan di laut Indonesia dibawa kenegaranya untuk diolah, tidak mendaratkan dipelabuhan Indonesia. Dengan moratorium ini membuka semuanya menjadi jelas,” katanya.

Harapannya setelah dibuka kembali izin penangkapan ikan, nantinya semua kapal yang menangkap ikan bisa mendaratkan di pelabuhan Indonesia dan masuk ke industri pengolahan dalam negeri. “Setelah moratorium aturannya bakal dibalik, bangun UPI atau bermitra dengan UPI yang ada baru izin penangkapan dikeluarkan. Jadi industri pengolahan ikan dalam negeri bisa tumbuh,” ujarnya.

Sementara itu menurut, Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah untuk serius membenahi strategi hilirisasi produk perikanan. Yakni, dari sebelumnya berbasis peningkatan produksi, menjadi peningkatan nilai tambah.  "Upaya pemberantasan pencurian ikan dan menutup kerugian negara dari penggelapan pajak perikanan harus sebangun dengan strategi pembesaran kapasitas produksi pengolahan ikan di Indonesia," ujar Riza.

Ada dua tantangan yang dihadapi pemerintah membenahi kualitas ekonomi perikanan. Pertama, faktanya tingkat kepatuhan perusahaan ikan membangun Unit Pengolahan Ikan (UPI) sangat rendah. Dari lebih 1000 kapal eks asing yang mendapat SIUP dan beroperasi di 2014, hanya terbangun 33 UPI. Padahal, kita berpeluang membangun sedikitnya 150 UPI). Kedua, insentif peningkatan modal usaha perikanan 10% hingga 2019 belum mensyaratkan alokasi khusus untuk kegiatan pasca tangkap.

"Agar tidak memunculkan kegaduhan yang tidak berkesudahan, pemerintah harus menyambungkan proses penegakan hukum dan pembenahan perijinan dengan memberi prioritas insentif permodal untuk kegiatan pengolahan ikan. Peluang ini pada akhirnya akan membuka kesempatan kepada organisasi-organisasi nelayan terlibat mengelola kegiatan pasca tangkap," tutupnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…