Meneropong Tahun Ekonomi 2015 - Oleh: Aminuddin, Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak terasa tahun 2014 sudah dilalui bersama. Gegap gempita, suka duka, panis pahit, tangis dan tawa sudah kita rasakan. Kini, tahun 2014 sudah berlalu dan ditutup dengan rapat. Sebaliknya, tahun 2015 sudah dibuka sekaligus men­jadi tantangan tersendiri bagi kita semua. Terlebih lagi, tahun 2015 diga­dang-ga­dang sebagai tahun ekonomi kare­na kran pasar bebas se Asia Tenggara akan dibuka selebar-lebarnya dan seluas-luasnya.

 

Sebagaimana yang kita rasakan ber­sama, Tahun 2014 bisa dibilang tahun politik mengingat tahun yang baru berlalu tersebut didominasi oleh berbagai akti­vitas politil: kampanye, Pemilihan Umum (pemilu), Pemili­han Presiden (Pilpres), revisi UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD atau MD3, perang dua Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), serta berbagai politik tandi­ngan me­warnai tahun 2014. Jadi tidak berle­bihan jika tahun 2014 dianggap sebagai tahun politik.

 

Kini, kamus besar tahun politik telah ditutup bersama dan telah dilihat siapa saja wakil kita di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lantas, ke mana kompas Indonesia ke depan dalam menyongsong tahun 2015? Tahun 2015 merupakan tahun yang tidak kalah penting dengan tahun sebelumnya. Pasalanya, tahun 2015 merupakan tahun Ekonomi Asia Teng­gara atau yang lebih dikenal sebagai tahun perhelatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kerja sama MEA 2015 merupa­kan momentum bagi masyarakat Indonesia untuk unjuk gigi dalam bersaing di era ekonomi global.

 

Momentum MEA merupakan peluang dan tantangan bagi kita. Peluang artinya, masyarakat Indonesia memiliki kesem­patan untuk memperkenalkan dan kekayaan ekonomi sekaligus menjadi dalang ekonomi Asia tenggara. Ini pula sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas perekonomian masyarakat Indonesia. Menjadi tantangan apabila bangsa ini tidak siap menghadapi persaingan global. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia belum siap dalam persiapan Sumber Daya Manuaia (SDM). Jika demikian adanya, siap-siap saja bangsa ini akan menjadi kacung. Dan yang lebih tragis lagi, bangsa ini akan disingkirkan dalam pergaulan dan persaingan ekonomi global.

 

Dalam khasanah persaingan MEA, semua bangsa dituntut untuk lebih kreatif dan kompetitif dalam menyongsong MEA 2015. Artinya, masyarakat tidak bisa berpangku tangan dalam mengha­dapinya. Persaingan MEA memiliki kecen­­derungan liberal dalam persaingan. Jika andalan bangsa ini hanyalah kemam­puan menyediakan SDA, otomatis keka­yaan tersebut akan jatuh ke tangan-tangan asing. Sebaliknya, Indonesia ha­nya menjadi tempat pembuangan sampah.

 

Secara geografis, Indonesia memang memiliki kemampuan untuk menjadi tuan rumah sekaligus men­jadi pioner dalam MEA. Pasalnya, Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam. Suber daya alam yang melimpah tersebut semakin mene­gas­kan bahwa Indonesia sangat seksi untuk dijadikan tandem untuk bersaing di ekonomi global.

 

Namun sangat disayangkan, kekayaan SDA tersebut cenderung mubadzir karena tidak dimaksimal­kan oleh masyarakatnya sendiri. Hampir semua SDA yang ada di angkasa negeri ini dikuasai asing, mulai dari ujung timur sampai ujung barat. Ironisnya lagi, bangsa ini cenderung diam melihat bangsa ini dijajah.

 

Terlepas dari itu semua, kita memang tidak memiliki SDM yang mumpuni untuk mengolah melimpah­nya SDA. Terbukti dengan minimnya SDM untuk mengelolanya. Terlebih lagi, pakar maupun orang-orang yang bekerja masih jauh dari kemampuan yang diharapkan. Hampir pekerja di indoensia amsih didominasi oleh kaum yang minim skill. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus (2013) membuktikan bahwa pekerja masih di dominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah dengan jumlah 52 juta orang (46,93%) atau hampir setengah dari total pekerja sebesar 110,8 juta orang.

 

Sedangkan pekerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 20,5 juta orang (18,5%), pekerja lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17,84 juta orang (16,1%). Jumlah paling rendah ada pada pekerja lulusan Universitas dengan 7,57 juta orang atau sekitar (6,83%) dan diploma sejumlah 2,92 juta orang (2,63%).

 

Fakta tersebut membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih gagap dalam melahirkan kaum muda yang profesional dan mampu mengelola SDA sendiri. Bisa jadi, anak-anak muda yang kompeten tidak tercium oleh pemerintah sehingga tidak tampak. Ironisnya lagi, lulusan Universitas masih jauh dari harapan. Belum lagi kualitas produk tanah air masih dibayang-bayangi oleh asing. Jika demikian, sebesar apa peluang Indonesia dalam menghadapi realitas MEA?

 

Paling tidak ada beberapa hal yang harus diprioritaskan oleh pemerintah jika tidak ingin menjadi tukang geplok (penonton) dalam persaingan MEA.


Pertama, mempersiapkan infra­struktur yang lebih memadai. Hingga kini, infrastruktur menjadi problem utama dalam membangun pereko­nomian tanah air. Hambatan ini sering kali dialami oleh masyarakat dalam membangun ekonomi.


Kedua, membangun industri kreatif. Industri kreatif ini dapat disiasati dengan memaksimalkan potensi anak-anak muda kreatif. Selama ini, anak-anak muda kreatif dapat bersaing di tingkat ASEAN. Dan bahkan menjadi raja ASEAN.

 

Potensi inilah yang harus dimaksi­mal­kan sebaik mungkin sembari ditopang oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang ramah.


Ketiga, memperkuat komunikasi anta­ra pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selama ini, hubungan antara daerah dan kota kerap kali menimbulkan kekacauan terhadap industri lokal sehingga kualitas-kualitas hasil industri lokal tidak terhembus ke publik. Di­tambah lagi dengan minimnya pengeta­huan mengenai MEA di daerah.

 

Selama ini, persaingan hanya dipa­hami sebagai kompetisi tingkat nasional. Sedangkan kompetisi eko­nomi yang orientasinya tingkat ASEAN tidak diso­sialisasikan.

 

Pada akhirnya, ma­syarakat daerah kebi­ngungan mengenai substansi dari MEA itu sendiri.

 

Akhirnya, kita dapat memaknai bahwa MEA merupakan peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk me­nyong­song 2015 yang lebih baik. Tentunya, untuk menggapai mimpi tersebut, persoalan-persoalan klasik harus segera dibenahi agar tidak menjadi bumerang. Ketika masyarakat Indonesia sudah siap dari segi SDM, hasil produksi yang ber­-kualitas, dan berbagai aspek-aspek pen-ting lainnya, maka MEA akan berman­faat untuk meningkatkan ekonomi Indonesia. (analisadaily.com)


 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…