Idealisme ekonomi kerapkali menjadi acuan untuk mengidentifikasi arah kebijakan sebuah rezim. Acuan dasar ini menjadi “roh” sekaligus “raison de’tre” dari setiap kebijakan ekonomi yang diambil oleh rezim tersebut. Hingga pada akhirnya, rezim akan menghadirkan sebuah karakteristik ekonomi yang menjadi pembeda dengan rezim-rezim lainnya, bahkan tak jarang melahirkan terminilogy yang juga sangat teregimentasi. Sebut saja misalnya terminology Abenomic di Jepang, Modinomic di India, Obamacare di Amerika (pengutamaan Obama atas kebijakan pelayanan kesehatan), dan SBYnomic plus Jokowinomic di Indonesia, sekedar menyebut dua terminology mutakhir yang berkembang di negara kita.
Sebagaimana judul yang saya ambil, saya akan fokus kepada terminology terakhir, Jokowinomics, yang memang sedang berkibar sebagai “zeitgest’ dalam perekonomian kita saat ini karena secara de’facto dande’jure, Jokowilah yang sedang menjadi nahkoda kapal yang bernama Indonesia ini . Tidak susah untuk mengidentifikasi “pembeda” kebijakan ekonomi Jokowi dengan pendahulu-pendahulunya. Kristalisasi karakteristik dasar, atau sebut saja kata kunci dari Jokowinomic, adalah “infrastruktur” dan “pertumbuhan”. Kata kunci infrastruktur merepresentasikan “core” dari setiap kebijakan ekonomi yang beliau endorse dan menjadi titik berangkat dari “potret besar” ekonomi Indonesia lima tahun mendatang, setidaknya demikianlah menurut agenda dan rencana aksi rezim ini. Dan faktanya, memang atas dasar kata kunci ini pula subsidi BBM dicabut beberapa waktu lalu.
Dengan revitalisasi dan reaksentuasi bidang infrastruktur, maka diharapkan akan merongrong pertumbuhan ekonomi nasional yang direncanakan lebih kurang 7 persen untuk tiga tahun mendatang. Akselerasi pembangunan infrastruktur akan memberi ruang dan probabilitas yang besar pada lahirnya kemandirian produksi bahan baku dan bahan mentah domestik untuk menutupi tekor neraca perdagangan nasional akibat import bahan mentah dan barang modal yang sangat mengkhawatirkan selama ini.
Diprediksi akan terbentuk ruang fiskal sekitar Rp230 triliun dari pemotongan subsidi BBM dan dari reformasi perpajakan yang bisa dipergunakan oleh rezim Jokowi untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur yang berbasiskan konektivitas. Terobosan fiskal ini dinilai cukup berani dan imbasnyapun diprediksi akan benar-benar melahirkan penambahan ruang fiskal kedepanya sebesar yang diperkirakan.
Namun disisi yang lain, Jokowi harus tetap hati-hati dan harus terus diingatkan, karena pembangunan infrastruktur yang berbasiskan pada konektifitas diperkirakan tidak akan terlalu membantu penguatan basis sosio ekonomi (socio-economic base) masyarakat menengah ke bawah. Infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, atau tol laut adalah infrastruktur yang bertendensi “ fasilitasi investasi” yang pada akhirnya akan memberi aksesibilitas tinggi pada pemodal-pemodal besar,baik nasional maupun internasional.
Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke bawah yang sejatinya lebih membutuhkan infrastruktur dasar seperti sanitasi, infrastruktur pendidikan dan kesehatan, perumahan murah, pasar-pasar, atau irigasi, akan menjadi sangat kerdil saat dihadapkan dengan pemodal-pemodal yang akan menjadi andalan rezim Jokowi dalam percepatan pembangunan infrastrukturnya, jika tak mau dibilang “terkesampingkan” dan “terasingkan” (teralienasi). Karena bagaimanapun, pengutamaan pada para pemilik modal (capital oriented) dengan harapan lahirnya “efek tetesan ke bawah” (trickle down effect) kepada rakyat yang kurang mampu diprediksi hanya akan melebarkan disparitas penyerapan manfaat kue ekonomi nasional antara kelas atas dan kelas menengah-bawah.
Celakanya, disparitas itu sudah bukan lagi sebagai kemungkinan terpahit untuk hari-hari mendatang karena faktanya tingkat gini rasio dalam beberapa tahun belakangan sudah menunjukan sinyal lampu kuning. Gini Ratio untuk tahun ini saja sudah menyentuh level 0,43. Angka ini adalah angka gini rasio terburuk dalam rentang waktu 15 tahun terakhir karena tergolong sama dengan tingkat ketimpangan pada masa krisis moneter tahun 1997-1998 lalu. Trend peningkatan gini ratio ini seiring dengan semakin membesarnya manfaat ekonomi yang diserap oleh 0,2 persen orang-orang terkaya Indonesia.
Data mutakhir dari pemeringkatan orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes 4 Desember 2014 lalu menunjukan bahwa jumlah total kekayaan 50 orang terkaya Indonesia lebih dari tiga perempat APBN Indonesia tahun 2014 yang berjumlah Rp1800 triliun dan hampir 14 persen dari total Product Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2013. Lihat saja secara keseluruhan, total kekayaan 50 orang terkaya ini mencapai 102 miliar US Dollar atau lebih kurang setara dengan Rp1200 triliun, meningkat cukup signifikan dari total tahun lalu yang berjumlah 95 miliar dollar AS. Fakta ini menunjukan betapa gini rasio yang sudah berkategori lampu kuning harus menjadi pertimbangan utama pemerintahan Jokowi kalau tidak mau kedaulatan ekonomi nasional hanya menjadi milik kelas tertentu alias bukan milik rakyat Indonesia yang mayoritas ada dikelas menengah ke bawah.
Selain gini ratio, tingkat kemiskinan juga akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup sulit bagi Jokowi jika terlalu fokus pada infrastruktur elitis. Jika dilihat dari tingkat kemiskinan kasar versi bank dunia yang mematok poverty line di angka $2 per hari per orang, maka lebih dari 100 juta penduduk Indonesia masuk kedalam kategori rakyat miskin. Nah, mayoritas penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan ini akan sulit untuk bertransformasi menjadi penduduk yang kompetitif jika infrastruktur dasar tidak menjadi prioritas utama Jokowi, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan tergilas oleh ekpansi-ekpansi usaha pemodal-pemodal kakap yang terfasilitasi secara sangat ekslusif oleh kebijakan infrastruktur bebrbasis konektivitas versi Jokowinomic.
Sehingga akhirnya, tak bisa dielakan, jika pengutamaan sektor infrastruktur yang berbasiskan konektivitas tidak dibarengi dengan penguatan infrastruktur dasar, maka Jokowi akan membawa banyak penduduk Indonesia ke dalam area pasif alias menjadi penikmat tidak langsung yang tidak menguatkan basis sosial ekonomi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Jika tidak menguatkan basis sosio ekonomi domestik, maka Jokowi juga akan menjauhkan rakyat Indonesia secara keseluruhan dari fase kemandirian ekonomi domestik. Sejatinya, inilah tantangan terbesar rezim Jokowinomic kedepan. Akselerasi pembangunan infrastruktur dan masifikasi pertumbuhan ekonomi harus tetap berada dalam koridor “menjaga” ekonomi kerakyatan dan memberdayakan masyarakat menengah ke bawah. Dan karenanya Lanskap anggaran nasional haruslah mengandung unsur pemerataan yang substansial, bukan pemerataan bayangan (sekuensial) yang lahir dari ekspektasi “trickle down effect”. Semoga. (haluankepri.com)
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…