BI Jamin Rupiah Stabil

 

Fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS kini mulai mereda. Sebelumnya kurs rupiah sempat melemah mencapai Rp 12.900 per U$ dan membuat kepanikan masyarakat sesaat. Namun Bank Indonesia segera melakukan intervensi ke pasar uang untuk menambah persediaan dolar AS, dan menjelang penutupan akhir tahun ini terlihat rupiah kembali ke level Rp 12.500.

Apalagi Gubernur Bank Indonesia Agus D.Martowardojo setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo bersama Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro dalam dalam rapat terbatas yang di Istana Kepresidenan, Rabu (23/12), yang menyatakan bahwa kondisi rupiah sekarang masih dalam situasi yang stabil dan diperkirakan akan terus bertahan di kisaran Rp 12.300 sampai Rp 12.500 per US$ hingga akhir 2014.

Meski pernyataan Gubernur BI itu merupakan “angin segar” bagi pengusaha Indonesia, kondisi fundamental ekonomi nasional masih rawan menghadapi guncangan ekonomi global yang sewaktu-waktu dapat terjadi kapan saja. Pasalnya neraca perdagangan kita masih defisit US$1,64 miliar (Januari-Oktober 2014) dan neraca transaksi berjalan (current account) hingga triwulan III-2014 masih defisit US$6,8 miliar.

Tapi, bagi kalangan pelaku usaha, stabilitas rupiah sebenarnya jauh lebih penting dibanding penguatan yang bersifat sesaat. Artinya, stabilitas rupiah sejatinya harus ditopang oleh fundamental ekonomi yang memadai.

Untuk menambah suplai US$ di dalam negeri, nilai ekspor harusnya lebih besar dari impor. Pasalnya, perdagangan antarnegara masih menggunakan mata uang dolar AS. Maklum, greenback ini masih menjadi mata uang yang kuat atau hard currency, yang laku di mana-mana.

Apabila kita mengekspor lebih banyak ketimbang impor, hal ini mencerminkan daya saing perekonomian Indonesia lebih baik. Jadi, pemerintah harus fokus mampu menggenjot ekspor lebih besar dari impor. Langkah ini paling benar ketimbang menambah pinjaman luar negeri, baik ke bank, bilateral, multilateral, maupun menerbitkan obligasi global. Utang yang membengkak di tengah daya saing ekonomi yang kurang hanya akan menjadi bumerang, seperti negara-negara zona euro yang dilanda krisis berkepanjangan.

Di sisi lain, Bank Indonesia perlu segera merevisi UU No. 42 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam UU disebutkan secara eksplisit bahwa Indonesia menganut rezim devisa bebas, dimana orang boleh membawa ke luar ataupun masuk mata uang asing termasuk US$ berapapun dan kapanpun. Artinya jika dolar AS dalam jumlah besar diambil dari pasar uang domestik untuk disimpan di AS karena bunganya lebih menarik, maka hal itu dengan mudah dilakukan tanpa hambatan apapun.

BI juga masih mempertahankan sistem nilai tukar yang dianut Indonesia sejak krisis 1997/1998 adalah sistem nilai tukar mengambang (floating rate), sehingga berapapun kurs rupiah terhadap US$ akan dibiarkan tanpa intervensi dari BI. Baru setelah masyarakat panik akibat depresiasi rupiah terlalu dalam, BI segera melakukan intervensi melalui pembelian surat berharga nasional (SBN) dan SBI 9 bulan, yang bersifat sementara waktu seperti “pemadam kebakaran”.

Selain itu, BI perlu mengubah aturan devisa hasil ekspor (DHE) yang saat ini hanya mewajibkan eksportir Indonesia cukup melaporkan posisi devisa ekspornya masuk ke perbankan nasional atau ke BI, namun tidak ada batas waktu berapa lama devisa ekspor itu harus “mengendap” dulu di dalam negeri, seperti halnya yang dilakukan Bank Sentral Thailand.

Adapun jumlah cadangan devisa yang dikuasai BI saat ini US$ 112 miliar, tampaknya perlu terus ditingkatkan untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Karena dengan jumlah cadangan devisa yang memadai mencerminkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar. Singapura yang penduduknya hanya 5 juta saja bahkan memiliki cadangan devisa sekitar US$ 271,5 miliar. Sedangkan Malaysia cukup lumayan, dengan cadangan devisa sekitar US$ 150 miliar saat ini. Salah satu caranya, adalah menahan devisa eksportir di negeri ini misalnya untuk jangka 3-6 bulan lamanya dengan insentif yang memikat. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…