Pengampunan Pajak Bakal Kembali Diterapkan?

NERACA

Jakarta - Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty nampaknya bakal kembali diterapkan pemerintah. Cara ini dipercaya untuk meningkatkan rasio wajib pajak dan tingkat kepatuhan.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, konsep tersebut cocok dalam kondisi saat ini. "Tax amnesty ini konsep ideal. Mungkin bisa membawa uang Indonesia yang ada di luar," kata Bambang di Jakarta, Jumat (19/12).

Meski begitu, Bambang mengakui bahwa proses pengampunan pajak memerlukan waktu panjang. Maka itu, pihaknya sedang menggodok payung hukum kebijakan tersebut.

"Harus ada kepastian hukum. Jangan sampai awalnya dia nggak dicari setelah itu malah dicari-cari, dari mana dapat uang, kenapa begini begitu," terangnya.

Sedangkan menurut, Pengamat Perpajakan Darussalam mengatakan tax amnesty atau pengampunan pajak dianggap sebagai pemihak ketidakadilan bagi pembayar pajak. Sebab, ini akan memberi keuntungan bagi pengemplang pajak dan menjadi kurang adil bagi wajib pajak yang tingkat kepatuhannya tinggi.

"Problem mendasar ketika suatu negara menggulirkan tax amnesty adalah isu ketidakadilan,"katanya.

Sehingga, Darussalam menambahkan bahwa tax amnesty harus dibarengi dengan reformasi birokrasi kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak. Jika tidak, maka tidak akan tercapai tujuan dari tax amnesty tersebut yaitu untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

"Karakteristik tax amnesty ada tiga poin yang dibahas, pertama terkait durasi. Tax amnesty itu intinya dia tidak boleh direncanakan dalam konteks waktu sekian akan diberikan tax amnesty," kata Darussalam.

Menurutnya, jika penerapan tax amnesty direncanakan maka wajib pajak akan berpeluang untuk melakukan tindak ketidakpatuhan. Sehingga penerapannya harus bersifat mendadak.

"Juga seharusnya tax amnesty diberikan satu kali dalam masa hidup kita. Kalau kita hidup dalam rentang 60 tahun, kita hanya diberikan satu kali tax amnesty," kata dia.

Darussalam juga menegaskan bahwa dari negara-negara yang telah berpengalaman melakukan tax amnesty, kebijakan tersebut dilengkapi dengan alat pendeteksi pajak pada lembaga perpajakan. Selain itu, juga harus memberi sanksi seberat-beratnya bagi pelaku penggelapan pajak.

Sementara, itu Anggota tim ekonomi presiden-wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Arif Budimanta menuturkan, usulan pemberlakuan pengampunan pajak (tax amnesty) untuk mengoptimalkan penerimaan negara perlu melalui kajian matang. Terutama untuk implementasi teknis dan regulasinya. 

"Jika dapat mendongkrak penerimaan, memang iya. Namun jika diberlakukan implementasinya memerlukan undang-undang baru, berarti jika diterapkan sekali, akan diterapkan terus ke depannya," katanya.

Pengampunan pajak merupakan kebijakan rekonsiliasi kepada wajib pajak yang memiliki aset besar namun selama ini dianggap lalai, atau sengaja lalai dalam pelaporan pajaknya.

Menurut anggota Komisi Keuangan (IX) DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu, jika pengampunan diimplementasikan, kemungkinan dapat menambah penerimaan pajak secara signifikan dari target penerimaan di RAPBN 2015, sebesar Rp 1.370 triliun.

"Memang ada potensi penerimaan jadi sebesar Rp 2.000-3.000 triliun," ujarnya.

Namun, Arif mengatakan, kesiapan matang diperlukan dari segi teknis. Seperti kapasitas aparat pajak dan juga peraturannya agar benar-benar mengoptimalkan. Bukan malah menggerus penerimaan negara.

Dia mengatakan, terdapat juga kendala untuk mengoptimalkan penerimaan dari wajib pajak yang menyimpan asetnya di luar negeri. Hal itu khususnya terjadi pada aset dalam bentuk saham di perusahaan yang sudah go public.

"Untuk mendorong dana di luar agar masuk ke dalam, perlu dicatat juga banyak perusahaan yang sudah IPO," ujar dia.

Selain itu, kata Arif, beberapa negara yang sudah memberlakukan pengampunan pajak seperti Italia juga tidak menorehkan efektivitas penerimaan pajak yang baik.

Arif mengakui target penerimaan pajak dalam RAPBN 2015 memang sangat besar, senilai Rp 1.370 triliun.

Dia menjelaskan, Jokowi akan fokus untuk intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak. Antara lain untuk mengefektifkan penerimaan dari wajib pajak yang ada.

Saat ini, kata Arif, hanya 50 persen wajib pajak yang terdaftar di NPWP yang aktif melaporkan pajaknya. "Statistik sektor formal yang punya NPWP hanya 20 juta orang, dan yang aktif melaporkan pajak hanya 10 juta orang," tukasnya. [agus]

BERITA TERKAIT

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…