Penghematan Nasional, Jangan Lagi Sebatas Slogan - Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari, SH, MKN, Alumnus Fakultas Hukum UGM

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) baru saja menerbitkan sebuah “surat sakti” yakni berupa Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara. Edaran ini dalam rangka menindaklanjuti perintah Presiden pada sidang kabinet kedua (3/11/2014), yang menegaskan perlunya penghematan nasional untuk meningkatkan efektifitas serta efisiensi birokrasi. Karenanwya menurut Yuddy, untuk memastikan implementasi surat edaran ini, pimpinan instansi wajib melakukan melaksanakan secara konsisten ketentuan mengenai peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran dan sarana prasarana kerja di lingkungan instansi pemerintah evaluasi di lingkungannya secara berkala setiap enam bulan sekali dan melaporkan kepada Kementerian PAN-RB.

 

Ketentuan yang dimaksud meliputi tiga hal, yaitu pertama, Inpres RI Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi, kedua, Surat Edaran Menteri PAN-RB Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Pengawasan dalam Rangka Penghematan Penggunaan Belanja Barang dan Belanja Pegawai di Lingkungan Aparatur Negara, serta ketiga, Surat Edaran Menteri PAN-RB Nomor 18 Tahun 2012 tentang Peningkatan Efisiensi, Penghematan, dan Kesederhanaan Hidup. Mengenai anggaran belanja barang dan belanja pegawai, penghematan dilakukan dengan cara membatasi perjalanan dinas, membatasi kegiatan rapat di luar kantor dengan memaksimalkan penggunaan ruang rapat kantor, membatasi pengadaan barang atau jasa baru sesuai dengan kebutuhan dan mendayagunakan fasilitas kantor atau memanfaatkan fasilitas kantor instansi lain.

 

Patut Diapresiasi

 

Kita tentu menaruh apresiasi terhadap sikap imperatif pemerintah untuk membangun kembali kultur hidup hemat dalam segenap dimensi penyelenggaraan negara dan kehidupan sosial. Ini berkorelasi positif dengan spirit pemerintahan Jokowi yang ingin menjadikan revolusi mental sebagai spirit utama perubahan sosio-kultural bangsa. Meskipun sesungguhnya, aturan-aturan seperti ini sudah pernah diterapkan seperti SE Kemenpan-RB No 16/2012 tentang Efisiensi Anggaran, Penghematan, dan Kesederhanaan Hidup Pejabat dan PNS hingga yang terakhir SE No 29/2014 tentang Penghematan APBN dan APBD secara nasional yang ditandatangani bersama lintas kementerian dengan motor utama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam banyak pengalaman sebelumnya, imbauan gerakan penghematan tersebut kerap hanya menjadi macan kertas di atas meja pimpinan birokrasi, departemen. Selain itu gerakan tersebut juga kerap dipakai hanya sebagai bagian dari strategi pencitraan politik pemerintah ketimbang sebagai strategi utama untuk mengeksekusi nilai-nilai efisiensi dan produktifitas dalam struktur kinerja birokrasi maupun swasta.

 

Contoh, pada 7 Oktober 2010 dalam sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengeluarkan Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden tentang penghematan anggaran, khususnya belanja perjalanan pada APBN dan APBD mulai tahun 2011. Namun kenyataannya, APBN 2011 justru membengkak menjadi Rp 24,5 triliun dari semula Rp 20,9 triliun pada Rancangan APBN 2011. Bahkan konstraksi anggaran hampir setara 5 kali lipat anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat 2011 Rp 5,6 triliun. Dan ironisnya, pada saat yang lain belanja fungsi kesehatan justru menurun, dari Rp 19,8 triliun pada APBN Perubahan 2010 menjadi Rp 13,6 triliun pada APBN 2011. Meski demikian, penyimpangan ini nyatanya terus saja berjalan tanpa ada upaya merevolusi desain kue APBN yang lebih ramping dan berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Ternyata penyebabnya, nomenklatur belanja perjalanan tidak dicantumkan pada dokumen Data Pokok APBN 2011 agar tidak dideteksi oleh publik.

 

Data di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2013 dengan gamblang menunjukkan setiap tahun anggaran sekitar Rp 17 triliun untuk belanja PNS dan pejabat di instansi masing-masing yang mirisnya dipergunakan untuk rapat-rapat di hotel berbintang pada kegiatan PNS dan pejabat di berbagai level. Bahkan menurut data Institute for Development Economy and Finance (Indef), selama sepuluh tahun terakhir postur belanja APBN justru bukan didominasi belanja birokrasi.Tahun 2004 belanja birokrasi kurang lebih 16,23 persen dari total APBN. Sementara pada tahun 2013 telah membubung menjadi 23,7 persen. Dengan demikian selama 10 tahun terdapat kenaikan 7 persen. Bahkan jika postur APBN ini tak kunjung diperbaiki, diprediksikan pada 2015 nanti belanja birokrasi bisa mencapai Rp 140 triliun (27/11/2014). Angka lancut anggaran inilah yang selama ini menggemukkan postur APBN dan mengalahkan alokasi anggaran yang berbasis pada peningkatan kesejahteraan. Jangan heran jika sampai detik ini negara pun semakin tertatih-tatih memenuhi ekspektasi publik yang menutut agar semua fungsi pelayanan dan hak dasar publiknya bisa terjawab dengan baik.

 

Mentalitas Feodal

 

Mentalitas birokrasi yang feodalistik dan konsumtif memang masih menjadi akar persoalan bagaimana rapuhnya kinerja dan produktifitas lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Intensi kuat untuk dilayani dengan mentalitas kepriyayian yang mewabah di setiap jajaran birokrat tanpa kontrol pemimpinnya membuat institusi birokrasi hanya menjadi etalase konsumtifisme dan hedonisme ketimbang sebagai sebuah institusi yang merepresentasikan realitas sosial (Eko Prasojo, 2014). Budaya ini misalnya dengan gampang terpampang di jidat keseharian birokrat kita ketika lebih menyukai berbagai agenda rapat, pertemuan harus dilaksanakan di hotel-hotel mewah ber-AC sebagai simbol prestise dan kenyamanan. Padahal dalam penentuan konstruksi sebuah pembangunan gedung kantor, ruang pertemuan atau rapat sudah diintegrasikan dengan anggaran keseluruhan pembangunan gedung kantor yang tentu memakan biaya tak sedikit.

 

Akibatnya gedung-gedung tersebut dibiarkan terlantar, bahkan rusak dimakan usia karena tak pernah digunakan/dirawat. Pola seperti ini sudah lama dipraktekkan di berbagai kementerian, lembaga negara, pemda/pemkot di seluruh Indonesia tanpa sedikitpun merasa bersalah. Demikian pula misalnya dengan pola hidangan dan sajian dalam rapat/pertemuan yang serba modern dengan kemasan yang menelan biaya tak sedikit. Dalam kalkulasi di Kementerian ESDM misalnya, di setiap rapat, Biro Umum Kementeriannya harus membelanjakan dana sekitar Rp 35.000 untuk menu makanan setiap orang yang berisi roti, risoles, dan lemper plus air mineral kemasan botol.

 

Namun kalau menu mewah itu diganti misalnya dengan sajian lokal seperti singkong rebus, jagung, pisang rebus, comro, misro, biaya per porsi yang dibutuhkan hanya Rp 20.000, dengan sajian yang sederhana tentunya. Ini semakin bisa dihemat jika boks makanan hanya dilengkapi dengan air mineral, teh, dan kopi ketimbang minuman sprite, fanta, dan lain-lain. Membudayakan sajian makanan tradisional selain untuk efisiensi anggaran juga untuk kembali memasyarakatkan makanan tradisional yang selama ini tergerus oleh pola hidup massif masyarakat yang keranjingan mengonsumsi makanan instant dan impor yang juga belum tentu baik bagi kesehatan. Juga yang tak kalah pentingnya adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya usaha kecil dan menengah terutama usaha makanan tradisional yang turut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Jika aparatur dapat menerapkan budaya seperti dimaksud, hal ini menjadi peluang emas untuk mentransfusi budaya hemat dan cinta makanan lokal tersebut ke dimensi yang lebih luas dalam kehidupan keseharian masyarakat.

 

Karena itu, perlu ada kesadaran dan mentalitas baru di kalangan birokrat untuk mulai membangun pandangan dan sikap hidup produktif yang dimulai dari efisiensi kinerja dalam kegiatan rutin keseharian. Untuk menunjangnya, diperlukan pengawasan melekat yang efektif dari setiap kementerian disertai sanksi yang tegas dan aplikatif sehingga kebijakan penghematan tidak berulang hanya sebagai slogan pemerintah. Keteladanan sudah ditunjukkan Presiden Jokowi yang menghemat biaya perjalanan dinas saat blusukan ke Semarang baru-baru ini dengan hanya menggunakan pesawat komersil seharga 40-an juta ketimbang menyewa pesawat atau menggunakan pesawat kepresidenan yang butuh ratusan juta. Langkah ini hendaknya perlu juga ditiru oleh para menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, gubernur, bupati/walikota sampai jajaran di bawahnya sehingga integritas dalam menjalankan amanah sebagai pelayan rakyat benar-benar menemukan esensinya di setiap matra lembaga birokrasi. (analisadaily.com)

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…