KEBIJAKAN BI RATE DINILAI TIDAK AMPUH - Ekonomi RI Berpotensi Stagnan

 

Jakarta – Meski pihak Bank Indonesia tetap berdalih konsisten untuk mengendalikan inflasi, kalangan pengamat menilai kebijakan BI Rate ternyata kurang mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan tidak berdampak signifikan terhadap laju depresiasi nilai tukar (kurs) rupiah yang makin melemah terhadap dolar AS belakangan ini.   

NERACA
Menurut mantan menko perekonomian Rizal Ramli,  banyak kebijakan BI tidak masuk akal seperti adanya perubahan tujuh kali penetapan target pertumbuhan ekonomi. “Artinya apa? Instrumen BI yang dijalankannya bukan mempengaruhi ekonomi, tetapi mengikuti langgamnya ekonomi negeri ini,” ujarnya kepada Neraca, Kamis (11/12).

Lebih lanjut Rizal mengatakan, revisi target pertumbuhan indikator ekonomi oleh BI pun kerap kali meleset. Target pertumbuhan kredit yang dipatok BI pada level 15 %- 17 % misalnya, ternyata hanya tumbuh 13%. "Target-targetnya meleset semua,” kata dia. Rizal juga  merasa aneh dengan kondisi nilai tukar rupiah yang belum juga rebound (menguat kembali) ketika cadangan devisa naik.

“Numpuk cadangan devisa buat apa sih? Jaga-jaga The Fed naikkan suku bunga?”, ujarnya.
Menurut dia, tidak mungkin bank sentral Amerika Serikat akan menaikkan suku bunga secara ekstrem pada tahun depan, karena negara Paman Sam itu masih menghadapi masalah ekonomi yang cukup kompleks.

“Kalau suku bunga The Fed naik pun, akan sangat-sangat gradual, dan paling cepat mulai Oktober 2015, sementara kita nabungnya setahun dan sengsara perekonomian Indnesia,” ujarnya.

Rizal pun menyoroti nilai tukar rupiah yang masih “nyungsep” saat kondisi pasar uang mulai rebound. “Saya rasa, kembali kekhittah lah BI. Bukan untuk menyelamatkan macam-macam. Tapi dilihat keberadaannya,” ujarnya.

BI sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam sektor moneter sesuai UU No. 3 tahun 2004 pasal 7, bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam kaitannya dengan inflasi, Bank Indonesia bertugas untuk menjaga inflasi untuk tetap rendah dan stabil melalui kebijakan moneter. Namun kenyataannya tingkat BI Rate sudah tinggi (7,75%), nilai rupiah tetap melemah dan laju inflasi malah semakin membesar, sehingga berpotensi membuat stagnan kondisi ekonomi Indonesia pada periode 2014-2015, yang pada akhirnya berdampak pada membengkaknya jumlah pengangguran dan kemiskinan di negeri ini.

Tetap Konsisten

"Ini masih konsisten untuk menekan inflasi jangka pendek setelah realokasi subsidi BBM. Nantinya akan diharapkan 2015 angka inflasi akan menuju ke angka 4% ± 1%," ujar Jurubicara BI Peter Jacob di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, pergerakan suku bunga antarbank (PUAB) juga tidak akan berubah menyesuaikan suku bunga kredit perbankan (lending facility) sebesar 8%, sementara suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 5,75%. "Tingkat acuan suku bunga tersebut akan tetap konsisten untuk menekan inflasi jangka pendek," ujarnya.

Peter menjelaskan, saat ini pihaknya juga tengah mempersiapkan penyesuaian kebijakan makroprudensial guna memperluas sumber-sumber pendanaan bagi perbankan sekaligus mendukung pendalaman pasar keuangan serta mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif yang prioritas.

Kebijakan ini antara lain meliputi perluasan cakupan definisi simpanan dengan memasukkan surat-surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR dalam kebijakan GWM-LDR, dan pemberian insentif untuk mendorong penyaluran kredit UMKM.

Pengamat ekonomi Universitas Pancasila Agus S Irfani menilai, kebijakan BI yang menganut suku bunga tinggi guna menekan inflasi maupun mengobati depresiasi rupiah tidak sepenuhnya manjur. Terbukti pasca menaikkan BI Rate dari 7,5% ke 7,75% tidak membuat inflasi rendah maupun nilai rupiah menguat. "Kebijakan BI kali ini gagal dalam mengantisipasi inflasi maupun rupiah. Ini juga bukti kegagalan BI dalam mengelola moneter," ujarnya.

Oleh karenanya, harusnya melihat kondisi sekarang meski sesuai Undang-Undang (UU) BI mempunyai independensi dalam mengambil kebijakan tapi tetap harus melibatkan pemerintah terkait (Kementrian/Lembaga) dalam mengambil kebijakannya untuk duduk bersama dalam mengambil keputusan. Mengingat upaya itu dilakukan agar kebijakan yang di ambil bisa mencakup semua sektor. "Selain gagal dalam pengelolaan moneter, ini bisa jadi kegagalan sinergi antara BI dan pemerintah," ujarnya.

Pengamat perbankan Iman Sugema mengatakan, Indonesia mengalami masalah struktural dan selalu dihantui dengan depresiasi nilai tukar. Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi kenaikan suku bunga acuan tersebut. Jika Indonesia terus diterpa dengan masalah inflasi, seharusnya perbankan diberi petunjuk apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi naik turunnya inflasi tersebut.

“Seharusnya disertakan cara untuk meminimalisir masalah inflasi tersebut. Bukan hanya sekedar menaiknurunkan suku bunga BI Rate saja. Ini guna mengatasi komponen risiko agar turun,” kata dia.

Menurut Iman, suku bunga kredit perbankan di Indonesia sudah terlalu tinggi. Dengan suku bunga yang tinggi akhirnya berdampak pada dunia usaha terutama untuk kalangan UMKM. Dengan tingginya suku bunga tersebut pada akhirnya berdampak pada high cost economy di dunia usaha. Padahal, dunia usaha belum optimal meningkatkan daya saingnya, terutama ketika berhadapan dengan industri asing. “Hal ini terjadi karena harus membayar suku bunga yang relatif tinggi. Ini juga ada dampak terhadap pembangunan infrastruktur yang berasal dari pembiayaan perbankan,” ujar dia.

Dia juga menilai sektor perbankan kurang efisien sehingga membebani dunia usaha. Sumber masalah dari terlalu tingginya suku bunga itu,  adalah berasal dari kebijakan BI yang menerapkan kebijakan suku bunga acuan yang terlalu tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

“Sumber masalah lainnya, yaitu tren tingginya marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) atau selisih yang besar antara bunga kredit dengan bunga simpanan, dan juga bentuk pasar di tanah air yang oligopolistik,” ujarnya.

Kemudian atas usulan dibetuknya kembali dewan moneter, lanjut Iman, diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi sehingga kebijakan yang akan diambil bisa tepat. Dengan dibentuknya kembali dewan moneter yang bertujuan meningkatkan kerjasama antara otoritas fiskal dan moneter dapat lebih sinergis dan terkoordinasi.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) kemarin  memutuskan mempertahankan suku bunga BI Rate di level 7,75%‎, setelah 18 November 2014 lalu menaikkan 25 basis poin (bps) dari 7,5% menjadi 7,75% merespon kenaikan harga BBM. iwan/bari/agus/mohar

 



 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…