Tantangan Keluar dari G-20 - Oleh : Alexa Christina Andreawaty, Pemerhati Masalah Indonesia

Sejumlah menteri di Kabinet Kerja yang baru dilantik dua pekan lalu, langsung membuat gebrakan di kementeriannya. Mereka membuat kebijakan baru, hingga mengikuti gaya blusukan Presiden Jokowi. Masyarakat menyambut baik pola kerja para menteri  sekarang ini yang cepat, dan mau menjangkau kalangan bawah. Diharapkan kehadiran menteri yang dinamis, dapat melakukan perombakan birokrasi yang selalma ini ada pada pola lambat. Salah satu menteri yang sering disorot media dalam membuat gebrakan berupa kebijakan adalah, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti. Mulai dari mengubah jam masuk kerja, moratorium izin penangkapan ikan untuk kapal-kapal berukuran besar, moratorium ribuan kapal eks asing untuk berlayar di Indonesia, menjanjikan pembangunan  Bandara kecil di pulau terdepan Indonesia untuk memperkuat penjualan ikan ke pasar, serta yang terakhir adalah menghimbau kepada Presiden Jokowi agar Indonesia segera keluar dari organisasi dunia G-20.

 

Menurut pertimbangannya, masuknya Indonesia ke wilayah organisasi tersebut hanya akan merugikan pelaku bisnis di sektor kelautan dan perikanan. Masuk G-20 tidak ada untungnya untuk kelautan kita. Karena ini kita jadi kena tarif impor. Padahal nilai udang kita saja mencapai miliaran dolar Amerika. Dia juga mencontohkan, sektor kelautan Indonesia bakal merugi karena ekspor tuna yang bisa mencapai US$ 700 juta terpangkas karena kesepakatan aturan yang menerapkan beban tarif sebesar 14 persen atau sekitar US$ 105 juta. Padahal Indonesia bisa memperoleh kemudahan tarif nol persen untuk ekspor.
Posisi Indonesia juga tak terlalu kuat dalam organisasi tersebut,sehingga setiap keputusan yang diambil cenderung mentah, danIndonesia hanya jadi tim penggembira saja di G-20. Kita di G-20 tidak bisa kasih keputusan apa-apa karena kita bukan negara G-8, kita hanya pengikut dan penggembira saja. Menteri lebih memilih mendapat keuntungan dengan  keluar dari G-20 ketimbang mempertahankan gengsi masuk ke organisasi tersebut, kalau kita keluar dari G-20 maka negara untung US$ 300 juta - US$ 500 juta.

 

Sekilas Kelompok G-20


Kelompok G-20 atau kumpulan 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Secara resmi G-20 dinamakan The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Kelompok ini dibentuk tahun 1999 sebagai forum yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia.


Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya Krisis Keuangan 1998 dan pendapat yang muncul pada forum G-7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan mendengarkan kepentingan-kepentingan yang barangkali tidak tercakup dalam kelompok kecil itu. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia.


Sebagai forum ekonomi, G-20 lebih banyak menjadi ajang konsultasi dan kerja sama hal-hal yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Terdapat pertemuan yang teratur untuk mengkaji, meninjau, dan mendorong diskusi di antara negara industri maju dan sedang berkembang terkemuka mengenai kebijakan-kebijakan yang mengarah pada stabilitas keuangan internasional dan mencari upaya-upaya pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi oleh satu negara tertentu saja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya sangat membangga-banggakan capaian Indonesia masuk forum G-20, capaian itu bahkan dimasukkan dalam salah satu prestasi pemerintahnya  yang sanggup mengantar Indonesia sejajar dengan negara besar di dunia.


Namun MKP justru menilai sebaliknya, masuknya Indonesia dalam forum 20 negara perekonomian terbesar dunia itu tidak ada manfaatnya. Susi menyindir pemerintahan SBY yang membanggakan kinerja pemerintah berhasil membawa Indonesia masuk G-20. Menurutnya  Indonesia tidak perlu gengsi dan sombong karena berada dalam organisasi itu. Apalagi Indonesia hanya jadi negara penggembira dan tidak memiliki pengaruh kuat. Bahkan keputusan mereka cenderung merugikan Indonesia.  Dalam pandangannya, dengan keluar dari organisasi G-20 justru membuat Indonesia lebih mandiri dan berdaulat serta berdiri di kaki sendiri seperti visi Presiden Jokowi.

 

Dukungan MKP

 

Guru Besar Hukum Internasional UI Prof Dr  Hikmahanto Juwanamengatakan, apa yang disampaikan oleh Menteri KKP perludipertimbangkan secara serius oleh Presiden Jokowi bila benarkepentingan Indonesia justru dirugikan. Dengan Doktrin Jokowi atas tafsir baru politik luar negeri bebas aktif yaitu "All Nations areFriends until Indonesia's sovereignty is degraded and nationalinterest' is jeopardized (Semua Negara adalah sahabat sampaikedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan)", maka bila kepentingan Indonesia dalam Forum G-20 dirugikan, Presiden Jokowi harus tegas menyatakan Indonesia keluar.


Mengingat pelaksanaan G-20 sudah tinggal beberapa hari, maka Presiden Jokowi dapat meminta tim untuk mengkaji kemanfaatan Indonesia dalam G-20. Bila hasil kajian ternyata memang benar apa yang disampaikan Menteri KP, sebaiknya Presiden Jokowi tidak menghadiri KTT G-20 di Australia. Sementara itu mengingat tuan rumah Australia telah menyiapkan segala sesuatunya maka Presiden Jokowi dapat meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menghadirinya. Alternatif lain adalah Presiden Jokowi tetap hadir namun mengevaluasi saat di KTT G-20 apakah forum tersebut memberi manfaat atau tidak bagi Indonesia.


Selanjutnya Hikmahanto mengtakan  ada tiga kriteria yang dapatdigunakan untuk mengkaji kemanfaatan keanggotaan Indonesia di forum G-20. Pertama, apakah Indonesia dapat secara vokal menyampaikaan berbagai permasalahan yang dihadapi. Kedua, permasalahan yang dihadapi merepresentasi masalah Negara Berkembang seperti Indonesia. Terakhir, apakah forum G-20 dapat mengakomodasi kepentingan Indonesia dan negara berkembang dalam keputusan-keputusannya.
Intinya bila keanggotaan Indonesia tidak dapat memberi warna dari berbagai kepuutusan yang diambil oleh negara-negara yang tergabung dalam G-20 maka sebagaimana usul Menteri KKP sebaiknya Indonesia keluar. Bila itu yang menjadi keputusan pemerintah maka Menlu Retno Marsudi harus segera mempersiapkan hal teknsis agar Indonesia dapat efektif keluar dari G-20, bukan sebaliknya justru meyakinkan Presiden Jokowi agar Indonesia tetap dalam forum G-20.


Bagi penulis pertanyaan besar lainnya adalah mengapa MKP, SusiPudjiastuti yang hanya berpendidikan setingkat SLTP mampu memberikan masukan brilian seperti ini. Kemana saja para pejabat tinggi negara, doktor, profesor serta anggota dewan yang terhormat selama ini. Demikian juga dengan awak media yang sering mengikuti perjalanan dinas SBY dalam berbagai forum dunia termasuk G-20. Tidak pernah secara jujur dan gamblang membahas permasalahan ini. Pers yang dekat dengan SBY selalu memberitan hal-hal baik saja termasuk sepuluh keberhasilanSBY.


Dalam poin dua disebutkan bahwa, masuk dalam G-20 Negara Ekonomi Terkuat Dunia pada 2009. Inilah prestasi besar Indonesia, masuk ke dalam jajaran negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia. Ketika masuk dalam G-20, saat itu Indonesia baru berada pada posisi ke-19 terbesar dunia, yang kemudian terus bergerak ke posisi 16, dan terakhir posisi ke-10. Bukan hal mudah mencapai posisi tersebut, di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global pada 2008, yang efeknya masih terasa sampai sekarang.


Publik sekarang menunggu jawaban Presiden Jokowi, jika memang G-20 tidak memberikan apa-apa kepada bangsa Indonesia apalagi merugikan sepantasnya Jokowi setuju dengan usul MKP, keluar dari keanggotaan negara-negara G-20. Memang sebuah prestasi dianggap atau disejajarkan dengan negara-negara maju, namun jika hal tersebut dilakukan hanya dengan "kepura-puraan" saja, karena sebenarnya diakui atau tidak Indonesia belum pantas masuk dalam negara-negara G-20, maka jika tidak ada manfaatnya maka kita lebih baik keluar dari G-20.


Apalagi jika masuknya Indonesia ke negara G-20 hanya karena faktor sumber daya alam kita yang mau dicaplok oleh mereka, maka Jokowi harus bertindak tegas terhadap G-20 seperti almarhum mantan Presiden Soeharto yang menyatakan menolak bantuan IGGI, ketika salah satu Direktur Eksekutif IGGI waktu itu, JP Pronk dinilai Pak Harto telah "mendikte" Indonesia. Presiden Jokowi sebaiknya memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan negara menjalankan fungsi sebagai welfare provider.***

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…