Jaga Stabilitas Ditengah Konglomerasi - Mendeteksi Dini Kesehatan Industri Keuangan

NERACA

Jakarta – Industri perbankan yang sudah lama bersentuhan dengan masyarakat terus mengalami pertumbuhan yang dinamis seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Beragam produk layanan jasa keuangan terus berkembang dan semakin komplek, kondisi ini menuntut adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat lantaran persaingan antar industri perbankan saat ini semakin sengit. Hal ini diperlukan, agar persaingan antar industri perbankan bisa berjalan sehat dan tidak saling menjatuhkan seperti hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Apalagi, perbankan sebagai industri dengan aset terbesar di sektor keuangan dan memiliki dampak sosial ke masyarakat.

Ditengah pesatnya perkembangan perbankan saat ini, beberapa di antaranya bahkan sudah menjelma menjadi konglomerat yang memiliki banyak anak usaha di bisnis keuangan,seperti asuransi, lembaga pembiayaan (multifinance), dan sekuritas. Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga baru yang diamanatkan UU Nomor 21 Tahun 2011 dengan kewenangan penuh sebagai pengawas dan regulator di industri keuangan mencatat, saat ini ada 16 bank bertarap konglomerasi dengan kekayaan Rp 2.800 triliun atau menguasai 60% total aset perbankan nasional.

Tumbuhnya konglomerasi keuangan, khususnya di industri perbankan menjadi kabar positif bila ekspansi bisnis suatu bank maju dan menggurita. Disamping itu, ekspansi suatu bank dengan diversifikasi usaha juga dimaksudkan untuk pertimbangan efisiensi dan keuntungan. Sebab, bank bisa memasarkan produknya kepada nasabah anak-anak usahanya. Begitu sebaliknya, anak-anak usaha bisa memasarkan produknya kepada nasabah dari induknya. Yang lebih penting lagi, dengan dukungan dari induk, anak-anak usaha tak perlu khawatir kekurangan dana. Mereka bisa membiayai bisnisnya dengan kredit dari induk. Dengan bunga spesial, tentunya.

Ada manfaat, ada pula mudharatnya yang tentunya punya efek samping yang tidak kecil. Pasalnya, jika ternyata anak-anak usaha itu tidak sehat atau sakit-sakitan, justru sang ibulah yang harus memberi pertolongan. Apa boleh buat, ini sebuah risiko yang harus ditanggung oleh bank yang berperan sebagai induk usaha. Persoalannya, jika suatu bank itu mengalami kerugian akibat kerugian yang ditimbulkan oleh anak-anak perusahaannya, mau tidak mau kerugian ini akan berdampak tidak baik karena sedikit banyak akan menurunkan kesehatan bank tersebut, paling tidak akan mengurangi peluang keuntungan bagi bank itu sendiri, lebih jauh lagi tidak menutup kemungkinan akan membuat bank tersebut kekurangan dana jangka pendek akibat kalah kliring (over night), sehingga bank tersebut akan di suspended oleh Bank Indonesia yang akhirnya akan mengakibatkan terjadinya rush berupa penarikan uang tunai secara besar-besaran pada bank tersebut, seperti kasus yang pernah menimpa salah satu bank swasta ternama pada masa krismon dulu.

Kesehatan Bank

Hal tersebutlah yang dikhawatirkan OJK, karena beban itu akan memengaruhi kesehatan bank. Itu sebabnya, OJK kini tengah mengawasi secara ketat soal konglomerasi perbankan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad mengatakan, melalui pengawasan konglemerasi keuangan dimaksudkan untuk memastikan semua rencana bisnis dan risiko selama setahun bisa teridentifikasi. Oleh karena itu, OJK bakal menyempurnakan aturan main dalam mengawasi sepak terjang pelaku industri keuangan,”Kami bangun pola pengawasan untuk risk based bagi lembaga keuangan yang memiliki anak usaha," ujar Muliaman.

Pengawasan tak hanya dilakukan terhadap induk, tetapi juga sampai ke anak-anak usahanya. Bank-bank konglomerasi juga harus memiliki rasio kecukupan modal (CAR) lebih tinggi dibandingkan bank biasa. Langkah seperti itu bukan semata-mata untuk melindungi bank konglomerasi, tetapi juga bermanfaat bagi industri perbankan nasional. Kini dari pemetaan OJK ada 31 konglomerasi jasa keuangan di Tanah Air. Dimana perusahaan-perusahaan ini menguasai 70% aset industri keuangan Indonesia, dengan nilai setara Rp 5.300 triliun.

OJK juga mencatat, dari 31 konglomerasi jasa keuangan, ada 10 konglomerasi masuk kategori vertical, yaitu hubungan antara induk dan anak usaha jelas dan sama-sama bergerak di jasa keuangan. Di kategori horizontal, yakni hubungan perusahaan cuma dari kepemilikan, OJK mengidentifikasi 13 perusahaan dan sisa 8 konglomerasi lain masuk kategori campuran.

Disebutkan, perusahaan yang masuk kategori konglomerasi juga memiliki beberapa bank berdampak sistemik. Artinya, jika di antara mereka ada yang sakit, maka seluruh perbankan di tanah air bisa terkena dampaknya. Maka untuk menghindari dampak buruknya, OJK mulai menyempurnakan aturan konglomerasi keuangan dengan menerbitkan peraturan pengawasan tereintegrasi yang akan diimplementasikan pada bulan 2015 untuk konglomerasi keuangan, dengan entitas utama yang merupakan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (buku) empat pada bulan Desember 2015 untuk seluruh konglomerasi keuangan.

Kata Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Boedi Armanto, peraturan OJK terkait Manajemen risiko tereintegrasi yang memuat empat pilar antara lain pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi entitas utama. Kemudian kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit manajemen risiko tereintegrasi,”Selain itu kami juga melihat kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko induk perusahaan serta sistem informasi dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh terhadap penerapan manajemen risiko tereintegrasi,”ungkapnya.

Peraturan pengawasan tereintegrasi ini merupakan penyempurnaan aturan sebelumnya. Alasannya, selama ini pengawasan antara bank dengan anak usaha lembaga keuangan dilakukan secara terpisah. Nantinya, dengan aturan baru tersebut, ke depan, induk usaha harus melaporkan rencana kerjanya secara bersamaan. OJK lalu mengawasi risiko yang bisa muncul dari anak usaha ke induk usaha. Misalnya, jumlah kredit yang dikucurkan dan bagaimana kualitas kreditnya selama ini.

Kemudian OJK dalam aturan baru nanti, bakal menetapkan risiko dari seluruh usaha yang dijalankan konglomerasi, mencakup kredit, hukum, kepatuhan, maupun likuiditas. Salah satu paling khas, adalah pemantauan OJK dalam hal risiko transaksi intra grup dan asuransi. Nantinya OJK akan punya ranking, mana konglomerasi sehat, dan mana yang punya peluang terjebak krisis.

Sementara Nelson Tampubolon, Dewan Komisioner OJK bidang Perbankan menambahkan, dalam aturan pengawasan industri jasa keuangan untuk konglomerasi. Nantinya, OJK akan mengambil langkah-langkah antara lain penyusunan rancangan standarisasi pengawasan dan regulasi. Selain itu, menyusun program inisiatif peningkatan efektivitas pengawas antar-kelompok keuangan.

Bak gayung bersambut, hal inipun direspon positif Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja. Menurutnya, pengawasan bank yang punya anak usaha lebih dari satu itu penting. BCA misalnya, memiliki lebih dari dua anak usaha. Seperti, BCA Syariah dan BCA Finance. "Bisa lebih ada koordinasi antar unit pengawas dengan bank yang punya banyak unit bisnis,”ungkapnya.

Cipatakan Monopoli

Bagi pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Aris Yunanto memiliki pandangan yang berbeda. Dimana OJK seharusnya tidak hanya lebih menertibkan soal konglomerasi, tetapi bertindak tegas dengan melarang pihak perbankan membuat anak-anak perusahaan diluar dari core business mereka sendiri, kecuali yang memang menunjang operasional usaha seperti perusahaan asuransi dan lainnya yang sejenis.

Menurutnya, adanya konglomerasi seperti ini akan menimbulkan monopoli usaha, pihak diluar Bank itu tidak bisa menggarap proyek yang ada di Bank tersebut karena semua proyek sudah diberikan kepada masing-masing anak perusahaan dibidang masing-masing, sehingga tindakan seperti ini akan menutup munculnya usaha baru yang sejenis dalam artian bank telah menutup kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat,”Akan ada dampak juga dalam hal penyaluran kredit yang porsinya akan jadi lebih kecil, bahkan mungkin tidak bisa memberikan kredit lagi, padahal kredit itu sangat diperlukan guna menunjang laju pertumbuhan ekonomi di negara kita, selain itu untuk menambah peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat,”jelasnya.

Dirinya mengungkapkan, terjadinya krisis tahun 1997-1998 akibat seperti itu. Di mana banyak konglomerasi yang membuat bank untuk perusahaannya sendiri. Jadi mereka melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang mencapai 60% per tahun. Ibaratnya, kalau di kantong kiri habis tinggal ambil di kantong kanan. Lalu, kalau sampai gagal bayar maka dampaknya terasa ke perusahaan yang lain.

Berbeda Aris Yunanto, ekonom Indef yang juga Komisaris PT Bank Mandiri Tbk, Aviliani menyambut baik langkah OJK memperketat pengawasan pada konglomerasi keuangan di Indonesia. Menurut Aviliani, kehadiran anak usaha seharusnya memang jangan sekadar punya tanpa memperhatikan risiko. "Penting. Sekarang ini konglomerasi kalau bank, hanya bank-nya saja. Padahal dia punya asuransi, punya dana pensiun. Dengan pengawasan konglomerasi akan bagus,”tandasnya.

Dia menuturkan, risiko anak perusahaan seharusnya masuk dalam capital charge di induk usaha. Sehingga, pengawasan dan tanggung jawab induk terhadap anak perusahaan terjaga. Baru setelah itu, OJK merumuskan cara bagaimana menyatukan manajemen risiko induk dengan anak usaha. Tentu saja, menurut Aviliani, hal tersebut butuh kesiapan dari konglomerasi. "Ini butuh kesiapan cukup dari konglomerasi tersebut," imbuhnya.

Maka terlepas dari penilaian soal aturan konglomerasi keuangan, hal ini harus disikapi dengan serius dan tentunya public menunggu langkah kongkrit OJK dan efektifitas aturan tersebut agar industri keuangan dalam negeri bisa stabil dan sebaliknya rapuh karena lambat mendeteksi. (bani)

 

BERITA TERKAIT

Hadirkan solusi DOOH yang Lebih Dinamis, AMG Jalin Kemitraan Strategis dengan DMMX

  Hadirkan solusi DOOH yang Lebih Dinamis, AMG Jalin Kemitraan Strategis dengan DMMX  NERACA  Jakarta – AMG (Alternative Media Group)…

InfoEkonomi.id Sukses Gelar Anugerah Penghargaan 5th Top Digital Corporate Brand Award 2024

  InfoEkonomi.id Sukses Gelar Anugerah Penghargaan 5th Top Digital Corporate Brand Award 2024 NERACA Jakarta - InfoEkonomi.ID, portal berita seputar…

INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan

  INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan   Melakukan perawatan kecantikan bagi perempuan merupakan suatu cara untuk menjaga…

BERITA LAINNYA DI Keuangan

Hadirkan solusi DOOH yang Lebih Dinamis, AMG Jalin Kemitraan Strategis dengan DMMX

  Hadirkan solusi DOOH yang Lebih Dinamis, AMG Jalin Kemitraan Strategis dengan DMMX  NERACA  Jakarta – AMG (Alternative Media Group)…

InfoEkonomi.id Sukses Gelar Anugerah Penghargaan 5th Top Digital Corporate Brand Award 2024

  InfoEkonomi.id Sukses Gelar Anugerah Penghargaan 5th Top Digital Corporate Brand Award 2024 NERACA Jakarta - InfoEkonomi.ID, portal berita seputar…

INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan

  INNER Salon Muslimah Buka Outlet Baru di Sawangan   Melakukan perawatan kecantikan bagi perempuan merupakan suatu cara untuk menjaga…