Menghitung Hemat Biaya Negara Tanpa Wamen - Oleh: Tigor Damanik, Alumnus FHUI 1982 dan Pernah Menjadi Ketua Tim Audit Wilayah di Bank BUMN 2006- 2011)

 

Deputi Kantor Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) Andi Widjajanto di Kantor Transisi Jakarta, Kamis 11 September 2014, menyatakan bahwa, kecuali di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Pemerintahan Jokowi-JK mendatang akan menghapuskan semua posisi wakil menteri (wamen).

Berharap, dengan penghapusan posisi wamen maka akan memberi potensi penghematan (efisiensi) anggaran/biaya negara, terutama terhadap penggajian pejabat negara.

Alasan masih mempertahankan keberadaan wamen di Kemenlu karena menteri luar negeri (menlu) tidak bisa bekerja sendirian dimana nantinya menlu akan pro aktif melakukan pertemuan-pertemuan internasional dengan berbagai negara.

Sementara Wamenlu akan berada di dalam negeri terutama untuk memastikan bahwa implementasi dari pertemuan itu berjalan dengan baik.

Mempertimbangkan karakter kerja Menlu yang sebahagian besar waktunya akan diisi oleh berbagai pertemuan bilateral dan atau multilateral ( di luar negeri). Untuk di ASEAN saja, jumlah pertemuannya diperkirakan malah bisa melampaui jumlah hari dalam satu tahun kalender.

Sementara menteri-menteri di kementerian lain, katanya, cukup dibantu atau dengan memfungsikan/memberdayakan Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Direktur Jenderal (Dirjen) yang sebenarnya tak kalah kualitasnya dengan wamen.

Sebagaimana diketahui , bahwa di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Kabinet Indonesia Bersatu II-nya, selain keberadaan sebanyak 34 menteri, juga terdapat 20 wamen. 

Hemat Tanpa Wamen

Pada 12 Juni 2012 lalu di Jakarta Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring mengoreksi pemberitaan media kala itu, bahwa total gaji wamen bukan Rp. 54 juta, tapi hanya Rp. 10 juta per bulannya.

Mengacu kepada pernyataan Tifatul maka dapat dihitung berapa penghematan biaya negara jika posisi wamen ditiadakan di Kabinet Jokowi-JK, dengan asumsi gaji wamen tetap Rp. 10 juta/bulan.

Total gaji (wamen) = jumlah uang/gaji bersih yang diterima setiap bulannya (take home pay) setelah dipotong pajak, iuran tabungan hari tua, pensiun, jaminan sosial dan potongan lainnya.

Gaji berbeda dengan tunjangan. Tunjangan, bisa dalam bentuk uang, namun umumnya dalam bentuk non-uang (fasilitas) . 

Tunjangan dalam bentuk uang bisa berupa bonus, insentif (tahunan atau periodik berdasarkan prestasi), uang cuti tahunan, uang rapat, uang perjalanan dinas dan lain-lain. 

Tunjangan dalam non-uang, seperti pemberian fasilitas menempati rumah dinas (instansi/sewa) dan pengadaan mobil dinas (termasuk bahan bakar minyak, biaya perawatan, pemeliharaan, kebersihan, biaya telepon, listrik), pemberian insentif, remunirasi dan yang lainnya.

Sehingga bagi seorang wamen , tentu mereka tidak hanya menerima gaji bulanan dalam bentuk uang semata, tapi pasti menerima tunjangan/fasilitas dalam bentuk non uang. 

Makna kata efisiensi/penghematan, berhati-hati dalam mengeluarkan biaya, operasional maupun non-operasional. Dengan mengeluarkan biaya kecil, memperoleh hasil besar/bermanfaat (efisien dan efektif).

Padahal meski sudah melakukan efisiensi, bisa jadi belum tentu juga kita dapat segera meraih keberhasilan/keberuntungan, kaya, makmur dan sebagainya. 

Namun paling tidak, dengan berniat dan telah melakukan efisiensi (penghematan biaya) disegala bidang, optimistis negara/pemerintahan akan dapat, minimal bertahan/tangguh didalam menghadapi berbagai tekanan/guncangan (turbulensi) akibat perubahan/fluktuasi ekonomi global. 

Mengingat praktik efisiensi berdampak positif terhadap kondisi fundamental ekonomi dan keuangan sebuah negara/pemerintahan.

Sehingga jika memang pemerintahan Jokowi-JK kelak akan menghapus seluruh posisi wamen, dengan asumsi “hanya” dari gaji (Rp. 10 juta/bulan), melalui peniadaan sebanyak 19 Wamen, maka negara untuk satu tahun saja sudah diuntungkan karena telah menghemat biaya sebesar Rp. 2.280.000.000,- ( Rp. 10 juta x 19 x 12 ).

Catatan : Rp. 10 juta = gaji wamen, 19 = jumlah wamen dan 12 = jumlah bulan dalam satu tahun.

Alhasil, untuk selama lima tahun, maka efisiensi bisa mencapai Rp. 11.400.000. 000 ,- (5 x Rp. 2,28), ini baru dari gaji saja.

Tentu akan lebih “spektakuler” lagi jika hitung-hitungannya inclusive insentif dan tunjangan (perjalanan dinas jabatan, uang cuti tahunan , mobil dinas, rumah dinas dan lain-lain) yang katakanlah asumsi minimalnya hanya lima kali lipat (Rp. 50 juta), sehingga gaji bulanan plus tunjangan riil yang dinikmati wamen menjadi Rp. 60 juta.

Sehingga pencapaian penghematan (gaji + fasilitas/tunjangan) selama lima tahun maka akan diperoleh nilai efisiensi biaya negara yang signifikan, yakni menghemat uang negara Rp. 68. 400.000.000 ( Rp. 60 juta x 19 x 12x 5 ).

Hitung-hitungan mana masih secara kasar dan dengan asumsi minimal dari jumlah gaji plus tunjangan, namun sangat potensial membuat APBN terkuras bahkan “jebol” jika pos wamen, terutama jika dalam jumlah banyak masih saja tetap dipertahankan

Jumlah penghematan signifikan mana tentu bisa direlokasi untuk kepentingan rakyat kecil di pedesaan, ataupun untuk kepentingan lainnya yang hilirnya memang guna peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Apalagi jika Indonesia nihil dari korupsi (zero corruption), tentu akan luar biasa makmurnyalah negeri ini !. 

Kesimpulan dan Harapan

Berharap kepada pemerintahan Jokowi-JK kelak tidak akan melakukan apa yang pernah dan telah dilakukan pemerintahan SBY, terutama terkait dengan keberadaan wamen karena merupakan pemborosan uang negara, sementara hasil kerja wamen belum tentu menguntungkan.

Kemungkinan keberadaan wamen ini karena Presiden SBY juga merangkap ketua partai sehingga didalam percaturan politiknya terkadang mengakomodir saja kehendak partai koalisinya dan kebetulan posisi lowong ada dan bisa diadakan di jabatan wamen.

Karena kalau beralasan menterinya sibuk, secara struktural kementerian, ‘kan ada Sekjen dan atau Dirjennya yang pasti tak kalah kualitasnya dengan wamen. Bahkan, juga masih ada kepala biro, kepala bagian dan lainnya.

Sehingga jika ditinjau dari sisi efisiensi keuangan negara, namun masih mau memberadakan jabatan wamen tentu adalah suatu tindakan inefisien (boros) dan inefektif (tidak berhasil guna).

Logikanya saja, gaji dan fasilitas lainnya yang seharusnya tidak perlu ada, menjadi “diada-adakan” melalui jabatan wamen. Itu tadi, karena kemungkinan guna mengakomodir kepentingan parpol (koalisi) pendukung, semisal karena dinilai berjasa kepada presiden.

Selamat menghemat biaya melalui peniadaan jabatan wamen dan menjadi negara/pemerintahan yang efisien dan efektif menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur.(analisadaily.com) 

 

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…